Dosen juga masih ada ditemukan dalam perguruan tinggi swasta yang merangkap 2 atau 3 jabatan sekaligus--- jelas dari segi kesiapan akan banyak waktu yang molor.
Kampus juga yang notabene tidak lepas dari organisasi kemahasiswaan seperti BEM fakultas tidak luput dari permainan bisnis semata. Setiap mahasiswa di kutip uang sebanyak 20 ribu rupiah---setiap mau ujian MIT ataupun UAS. Akan tetapi Laporan Pertanggungjawaban (LP) tidak pernah jelas kemana arah tujuannya.
Lucunya, dosen yang mengambil bagian dari tugas maupun wewenang dari bendahara BEM dan bahkan BEM yang terpilih tidak kunjung juga dilantik. Oleh karena itu kebijakan semacam ini patut dipertanyakan? Mengingat pemungutan uang yang tidak jelas kemana arah tujuannya merupakan sebuah tindakan pungli.
Dari segi yang berbeda juga, Dosen sering kali mengandalkan kekuasaannya untuk memperoleh uang masuk. Contoh menjual Diktat dengan harga yang tidak terjangkau, tanpa menyesuaikan kualitas buku dengan harga yang diterapkan. Dan apabila tidak dibeli ataupun tidak dibayar, maka nilai yang menjadi ancamannya.
Begitu juga dengan Skripsi yang identik sebagai tugas akhir, juga ikut serta sebagai proyek bagi sebagian dosen. Hal ini dikenal dengan istilah catering skripsi.
Sementara dalam ketentuan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, jelas ditentukan fungsi dan tujuan pendidikan tinggi.
Mengingat UU tersebut dibuat bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian sistem pendidikan nasional---memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan perberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.
Meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan orang-orang intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa. Hal inilah yang menjadi dasar hingga dibentuknya Perguruan Tinggi dalam negeri ini.
Tapi faktanya yang terjadi dalam praktek sangatlah menyimpang dari amanat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berkaca dari segala ketimpangan yang terdapat dalam kampus, hal ini menjadi mustahil menerapkan pendidikan yang sesuai amanat UU tersebut, bisa dikatakan itu hanyalah sebatas mimpi belaka.
Bahkan sebagian mahasiswa ditekan dan dipermalukan karena persoalan terlambat dalam pembayaran uang kuliah. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi kalangan mahasiswa yang tidak mampu.
Ketidakmampuan mereka menjadi alat paling ampuh untuk membungkam mulut para mahasiswa---agar tidak mengkritisi segala kebijakan yang dibuat oleh pihak kampus. Artinya, daya nalar kritis mereka sengaja dimatikan.