Mohon tunggu...
Hanter Oriko Siregar
Hanter Oriko Siregar Mohon Tunggu... Penulis - Advokat/Legal Consultant

Tiada yang benar-benar saya ketahui, tapi segala sesuatu dapat saya pahami dengan belajar dan sepanjang hidup adalah pelajaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Di Balik Indahnya Nama Pendidikan, Tersembunyi Korupsi sebagai Hasil Produksi

21 Februari 2019   17:54 Diperbarui: 21 Februari 2019   19:56 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak seharusnya saya menulis hal ini. Penulis tahu bahwa setiap permasalahan harus terlebih dahulu diselesaikan di ruang internal baru boleh melangkah ke eksternal. Begitu juga dengan permasalahan yang ada di kampus harus terlebih dulu diselesaikan dalam ruang lingkup Biro Rektor/Yayasan. Baru boleh mengajukannya kejenjang yang lebih tinggi. Begitulah prosedur yang seharusnya.

Namun terkadang jauh lebih baik diam, ketika apa yang kita suarakan, mereka bersikap tuli.  Dan ketika mulut tak mampu menembus ruang hati para penguasa, maka lewat tulisan pun akan penulis coba untuk menembus sisi kebaikan hatinya. Biarkan tulisan ini menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Jika dengan suara, telinga sudah tuli, maka tidak salah lewat tulisan.

Penulis akan meng-awali dan berkata; bahwa negara yang super amburadul tidak lepas dari sebuah pendidikan yang buruk dan maraknya suatu korupsi tidak lepas dari pengaruh pendidikan yang telah beralih fungsi sebagai lahan bisnis.

Kampus yang seharusnya tempat untuk mendidik setiap orang menjadi pribadi yang bertanggungjawab tapi justru mendidik mahasiswa menjadi pembohong, bahkan secara tidak langsung mendidik mahasiswa untuk membudidayakan tindakan korupsi.

Lewat kebijakan yang dibuat oleh pihak kampus di mana cenderung nepotisme, dan juga pungli. Salah satu contoh Kuliah Kerja Usaha yang dimasukkan dalam program Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM), akan tetapi mahasiswa masih dibebankan biaya meski LPPM telah memperoleh anggaran dari Yayasan. Juga beasiswa yang tidak transparan hingga kerap terjadi nepotisme.

Begitu juga setiap mahasiswa yang mau wisuda, wajib untuk memberikan sumbangan dana buku senilai 200 ribu rupiah akan tetapi tidak ada regulasi yang jelas terkait dana yang telah di sumbangkan---ditambah perpustakaan juga sangat jarang dibuka. Dan lebih disayangkan lagi dimana perkataan seorang pimpinan fakultas (Dekan) mengatakan bahwa perpustakaan itu didirikan hanya untuk meningkatkan akreditasi.

Bayangkan, perkataan semacam itu harus terlontar dari mulut seorang pemimpin, dan itu semakin menyakinkan betapa bobroknya pendidikan khususnya di negara Indonesia. Terbukti dalam pidato presiden Jokowi terhadap Ristekdikti bahwa hanya tiga Pendidikan Tinggi yang masuk ke lima ratus besar.

Dalam inti pidato Jokowi tersebut, menekankan agar Ristekdikti supaya lebih tanggap terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kebanyakan kampus seperti kebijakan yang menyesatkan banyak kaum mahasiswa.

Dalam pidatonya, Jokowi nampak marah, bahkan mengancam bahwa ia akan segera membuat suatu kebijakan jika Ristekdikti tidak open terhadap masalah-masalah yang ada ditengah-tengah kampus.

Berbicara buruknya pendidikan, tentu masih banyak ditemukan khususnya dalam lingkungan kampus, ada banyak terdapat kejanggalan, kecurangan, manipulasi, dan lain sebagainya.

Salah satu permasalahan yang paling umum, yaitu banyak dosen yang tidak profesional, (maaf kata) sudah tidak layak lagi dalam memberikan pengajaran terkait usia sudah tidak mendukung.

Dosen juga masih ada ditemukan dalam perguruan tinggi swasta yang merangkap 2 atau 3 jabatan sekaligus--- jelas dari segi kesiapan akan banyak waktu yang molor.

Kampus juga yang notabene tidak lepas dari organisasi kemahasiswaan seperti BEM fakultas tidak luput dari permainan bisnis semata. Setiap mahasiswa di kutip uang sebanyak 20 ribu rupiah---setiap mau ujian MIT ataupun UAS. Akan tetapi Laporan Pertanggungjawaban (LP) tidak pernah jelas kemana arah tujuannya.

Lucunya, dosen yang mengambil bagian dari tugas maupun wewenang dari bendahara BEM dan bahkan BEM yang terpilih tidak kunjung juga dilantik. Oleh karena itu kebijakan semacam ini patut dipertanyakan? Mengingat pemungutan uang yang tidak jelas kemana arah tujuannya merupakan sebuah tindakan pungli.

Dari segi yang berbeda juga, Dosen sering kali mengandalkan kekuasaannya untuk memperoleh uang masuk. Contoh menjual Diktat dengan harga yang tidak terjangkau, tanpa menyesuaikan kualitas buku dengan harga yang diterapkan. Dan apabila tidak dibeli ataupun tidak dibayar, maka nilai yang menjadi ancamannya.

Begitu juga dengan Skripsi yang identik sebagai tugas akhir, juga ikut serta sebagai proyek bagi sebagian dosen. Hal ini dikenal dengan istilah catering skripsi.

Sementara dalam ketentuan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, jelas ditentukan fungsi dan tujuan pendidikan tinggi.

Mengingat UU tersebut dibuat bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian sistem pendidikan nasional---memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan perberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang, diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menghasilkan orang-orang intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela kebenaran untuk kepentingan bangsa. Hal inilah yang menjadi dasar hingga dibentuknya Perguruan Tinggi dalam negeri ini.

Tapi faktanya yang terjadi dalam praktek sangatlah menyimpang dari amanat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berkaca dari segala ketimpangan yang terdapat dalam kampus, hal ini menjadi mustahil menerapkan pendidikan yang sesuai amanat UU tersebut, bisa dikatakan itu hanyalah sebatas mimpi belaka.

Bahkan sebagian mahasiswa ditekan dan dipermalukan karena persoalan terlambat dalam pembayaran uang kuliah. Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi kalangan mahasiswa yang tidak mampu.

Ketidakmampuan mereka menjadi alat paling ampuh untuk membungkam mulut para mahasiswa---agar tidak mengkritisi segala kebijakan yang dibuat oleh pihak kampus. Artinya, daya nalar kritis mereka sengaja dimatikan.

Padahal, jika berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ayat (1) Pendidikan diselenggarahkan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak (diskriminatif) dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Ayat (4) Pendidikan diselenggarahkan dengan memberikan keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

Terlebih lagi Indonesia sebagai negara hukum menjamin, terutama telah diatur dalam ketentuan Pasal 31 (1) UUD tahun 1945: "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan."

Berdasarkan pasal tersebut, maka pemerintah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya alam dalam penyelenggaraan pendidikan.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab V pasal 12 (1.c), menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.

Pasal 12 (1.d), menyebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya.

Selain itu, di dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di dalam Pasal 76 ayat (2), juga jelas mengamanahkan tentang pemenuhan hak asasi mahasiswa yaitu:

* Beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;
* Bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau
* Pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan

Merujuk dari ketentuan UUD tahun 1945 dan juga berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang telah dijabarkan di atas, maka pihak kampus wajib memberikan dispensasi bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar dengan tepat waktu.

Jadi penulis harap kepada pemerintah agar menegur/menindak tegas setiap universitas Pendidikan Tinggi, baik itu negeri maupun swasta, sesuai amanah yang diatur oleh UU apabila ada kebijakan yang diterapkan oleh pihak universitas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sebab masih ada ditemukan pimpinan Kampus/fakultas yang melakukan kecurangan, manipulasi data, dan formalitas belaka---dalam arti perbuatan wmelawan hukum dibeberapa Universitas.

Misalnya, mengangkat seorang dosen yang telah pensiun meski telah terbukti tidak profesional lagi dalam memberikan pengajaran sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang. Membiarkan dosen yang jarang maduk tanpa ada kebijakan lain. Maka untuk itu perlu kiranya hukum ditegakkan, terutama dalam dunia pendidikan tinggi.

Mengingat bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan juga merupakan salah satu negara dengan perguruan Pendidikan Tinggi paling banyak di dunia. Akan tetapi, sampai saat ini, pendidikan Indonesia belum mampu mengharumkan bangsa ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun