Tidak seharusnya saya menulis hal ini. Penulis tahu bahwa setiap permasalahan harus terlebih dahulu diselesaikan di ruang internal baru boleh melangkah ke eksternal. Begitu juga dengan permasalahan yang ada di kampus harus terlebih dulu diselesaikan dalam ruang lingkup Biro Rektor/Yayasan. Baru boleh mengajukannya kejenjang yang lebih tinggi. Begitulah prosedur yang seharusnya.
Namun terkadang jauh lebih baik diam, ketika apa yang kita suarakan, mereka bersikap tuli. Â Dan ketika mulut tak mampu menembus ruang hati para penguasa, maka lewat tulisan pun akan penulis coba untuk menembus sisi kebaikan hatinya. Biarkan tulisan ini menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Jika dengan suara, telinga sudah tuli, maka tidak salah lewat tulisan.
Penulis akan meng-awali dan berkata; bahwa negara yang super amburadul tidak lepas dari sebuah pendidikan yang buruk dan maraknya suatu korupsi tidak lepas dari pengaruh pendidikan yang telah beralih fungsi sebagai lahan bisnis.
Kampus yang seharusnya tempat untuk mendidik setiap orang menjadi pribadi yang bertanggungjawab tapi justru mendidik mahasiswa menjadi pembohong, bahkan secara tidak langsung mendidik mahasiswa untuk membudidayakan tindakan korupsi.
Lewat kebijakan yang dibuat oleh pihak kampus di mana cenderung nepotisme, dan juga pungli. Salah satu contoh Kuliah Kerja Usaha yang dimasukkan dalam program Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM), akan tetapi mahasiswa masih dibebankan biaya meski LPPM telah memperoleh anggaran dari Yayasan. Juga beasiswa yang tidak transparan hingga kerap terjadi nepotisme.
Begitu juga setiap mahasiswa yang mau wisuda, wajib untuk memberikan sumbangan dana buku senilai 200 ribu rupiah akan tetapi tidak ada regulasi yang jelas terkait dana yang telah di sumbangkan---ditambah perpustakaan juga sangat jarang dibuka. Dan lebih disayangkan lagi dimana perkataan seorang pimpinan fakultas (Dekan) mengatakan bahwa perpustakaan itu didirikan hanya untuk meningkatkan akreditasi.
Bayangkan, perkataan semacam itu harus terlontar dari mulut seorang pemimpin, dan itu semakin menyakinkan betapa bobroknya pendidikan khususnya di negara Indonesia. Terbukti dalam pidato presiden Jokowi terhadap Ristekdikti bahwa hanya tiga Pendidikan Tinggi yang masuk ke lima ratus besar.
Dalam inti pidato Jokowi tersebut, menekankan agar Ristekdikti supaya lebih tanggap terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kebanyakan kampus seperti kebijakan yang menyesatkan banyak kaum mahasiswa.
Dalam pidatonya, Jokowi nampak marah, bahkan mengancam bahwa ia akan segera membuat suatu kebijakan jika Ristekdikti tidak open terhadap masalah-masalah yang ada ditengah-tengah kampus.
Berbicara buruknya pendidikan, tentu masih banyak ditemukan khususnya dalam lingkungan kampus, ada banyak terdapat kejanggalan, kecurangan, manipulasi, dan lain sebagainya.
Salah satu permasalahan yang paling umum, yaitu banyak dosen yang tidak profesional, (maaf kata) sudah tidak layak lagi dalam memberikan pengajaran terkait usia sudah tidak mendukung.