Karena agama adalah keterbukaan yang total terhadap yang akan datang, sementara yang akan datang itu tidak dapat diantisipasi, maka agama selalu rentan baik terhadap kebaikan maupun terhadap keburukan.
Kekerasan sebagai salah satu bentuk dari keburukan merupakan satu konsekuensi yang melekat pada agama sebagai keterbukaan total (2002:56-57). Itulah tesis dasar ateisme yang semestinya menjadi alasan utama bertumbuhnya kekristenan.
Ketiga, sama seperti Derrida yang mengatakan bahwa relasi dengan Tuhan adalah relasi tanpa relasi, bagi Badiou, tugas filsafat adalah melihat hubungan yang bukan hubungan.
Apa maksudnya?
Badiou menjawab bahwa selama ini, orang menyamakan filsafat dengan kritik, mengatakan apa yang buruk, apa itu penderitaan, atau apa yang salah. Dengan demikian tugas filsafat pun menjadi negatif. Padahal, hakikat intervensi filosofis adalah afirmasi.
Mengapa?
Sebab jika Anda campur tangan dengan situasi paradoks, atau hubungan yang bukan hubungan, Anda harus mengusulkan pemikiran baru dan mengafirmasi bahwa ada cara pandang alternatif untuk memikirkan situasi paradoks itu (Badiou, 2018:95-96).
Contohnya: ketika berhadapan dengan peristiwa di mana seorang perempuan membunuh bayinya sendiri, dan dengan demikian tindakan dianggap tidak manusiawi, di situlah letak panggilan filsafat. Alih-alih berhasrat memecahkan soal, filsafat mesti menyodorkan rumusan pertanyaan baru, alternatif-alternatif berpikir lain di luar kerangka "kemanusiaan", apalagi HAM!
Jika filsafat terlalu melekatkan diri pada kemanusiaan, ia mengecilkan dirinya, menindas dirinya; karena ia justru melestarikan, menyebarkan dan mengkonsolidasikan model mapan kemanusiaan (Badiou, 2018:88).
Bacaan:
iek, Slavoj. 2005. Neighbors and Other Monsters: A Plea for Ethical Violence", dalam Slavoj iek Eric L. Santer, Kenneth Reinhard (eds.), The Neighbor: Three Inquiries in Political Theology. Chicago and London: The University of Chicago Press.