Mohon tunggu...
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kisruh Laut China Selatan dan Pentingnya Reformulasi Kedaulatan

14 Mei 2024   22:28 Diperbarui: 15 Mei 2024   08:06 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketegangan di kawasan LCS perlu diletakan dalam dua benturan pendekatan di mana AS cenderung menggunakan pendekatan konflik dengan turunan menciptakan krisis permanen (permanent crisis). Sementara itu, secara umum China lebih mengutamakan pendekatan perundingan yang damai meskipun cenderung dinamis dan dengan tensi yang cukup alot. Hal ini selaras dengan argumen Letjen (Purn) Agus Widjojo yang mengatakan bahwa China mengerahkan coast guard, alih-alih angkatan laut, sebagai senjata psikologis untuk mengirimkan pesan yakni pertama, menekankan bahwa LCS merupakan wilayahnya dan kedua China tidak bermaksud untuk perang (republika.co.id, 19 Maret 2024). 

Berhadapan dengan dua hal ini, dalam konteks Indonesia, analisis diarahkan kepada dua jenis kepentingan yakni kepentingan nasional (national interest) dan kepentingan ASEAN. Indonesia sendiri belum terlibat secara langsung dalam ketegagang aktual sementara pada tahun 2023, ASEAN dan China sepakat untuk menyelesaikan perundingan pedoman tata perilaku (COC) di LCS dalam tiga tahun.

Diawali pada tahun 1949, China mengumumkan sebuah istilah baru, yaitu "nine dash line", yang berisi klaim sepihak atas wilayah teritorial perairan sekitar LCS dan WPS (Laut Filipina Selatan), bahkan selanjutnya China menetapkan "ten-dash line". Klaim ini menimbulkan respon dari berbagai negara yang bersinggungan langsung.

Vietnam misalnya, sering menjadi sasaran intimidasi di LCS karena diakui sebagai Laut Timur oleh Hanoi. Pada April 2022, Hanoi protes Beijing setelah kapal Coast Guard China bertabrakan dan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di Kepulauan Paracel di LCS. Vietnam juga harus membatalkan proyek minyak besar di LCS untuk kedua kalinya pada 2018 menyusul tekanan dari China. Sementara itu, pada tahun 2023, Malaysia menolak "peta standar" edisi terbaru China yang mengklaim hampir seluruh LCS, termasuk wilayah yang terletak di lepas pantai Pulau Borneo (sindonews.com, 12 April 2024)

Kasus Filipina merupakan eksemplar yang menarik dan penting di sini. Naiknya Ferdinand Marcos, Jr ke tampuk kekuasaan menggantikan Rodrigo Duterte (yang terkenal anti-Amerika (thediplomat.com, 1 November 2016) mengubah orientasi politik luar negeri negara itu dari China ke AS dan sekutunya di Asia (Jepang-Korea Selatan). 

Renggangnya hubungan Filipina dengan China juga diperparah melalui pemutusan hubungan dalam projek Belt and Road Initiative (BRI) yang diumumkan oleh Menteri Transportasi Jaime Bautista, Kamis (9/11/2023). Pada 31 Oktober 2023, Filipina mendesak Beijing untuk bertindak secara bertanggungjawab dan mengentikan tindakan agresif dan illegal di LCS. 

Beijing membantah tudingan Filipina bahwa kapal Angkatan Lautnya memasuki perairan dekat Scarborough Shoal di LCS tanpa izin (egindo.com, 1 November 2023). 

Menteri Luar Negeri China Wang Yi menegaskan bahwa negaranya akan membela haknya secara sah di LCS menyusul bentrokan terbaru antara kapal Beijin dan kapal Filipina di LCS. Menlu Yi juga menuding AS memanfaatkan Filipina, sekutunya, sebagai "pion" untuk mengobarkan ketegangan regional (detik.com, 7 Maret 2024). China mendesak Amerika Serikat (AS) agar berhenti memanfaatkan Filipina sebagai pion untuk mendestabilisasi Laut China Selatan. Filipina juga harus menolak untuk dimanipulasi oleh AS.

Keterlibatan Negara Lain

Khusus dalam hubungannya dengan LCS, masuknya bantuan dari Jepang dan Amerika Serikat memberikan leverage stage bagi Ferdinand Marcos. Itu tampak dalam pertemuannya dengan PM Jepang Fumio Kishida (voaindonesia.com, 4 November 2023). 

Baik Filipina maupun Jepang, sekutu terdekat AS di Asia itu sepakat mengambil sikap tegas terhadap perilaku agresif kapal-kapal China terkait sengketa kedaulatan maritim. Itu tampak dalam kesepakatan trilateral (Filipina, AS, Jepang) yang diklaim akan mengubah dinamika LCS dan sekitarnya (tagar.id, 14 April 2024). Jepang memang tidak memiliki sengketa dengan Cina di LCS namun di Laut China Timur.

Merespon pertemuan trilateral, Jubir Kemenlu China Mao Ning menyebut bahwa pernyataan bersama para pemimpin AS, Jepang dan Filipina itu dinilai dapat memicu pembentukan blok tertentu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun