Puisi: Logosentrisme Serentak Representasi Kenyataan
Banyak sastrawan menggunakan karyanya bukan sekedar bentuk ekspresif dari jiwa melainkan cerminan masyarakat, alat perjuangan sosial, aspirator kaum tertindas (lihat contoh puisi-puisi Rendra) juga mengenai realisme, naturalisme, dan realisme sosialis (Faruk, 2010: 45). Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra juga tidak lagi mengacu pada intensi penulis sebagai produsennya, tidak lagi diarahkan pada orang atau kelompok tertentu melainkan mengambang bebas yang dapat terarah dan mengacu pada kemungkinan apa saja dalam ruang dan waktu.
Apa lagi yang bisa ditahan? beberapa kata
bersikeras menerobos batas kenyataan-
setelah mencapai seberang, masikah bermakna,
bagimu, segala yang ingin kusampaikan?
(Dalam sajak 'Empat Seuntai V').
Mengutip John Macionis, bahasa sebagai sistematisasi dari simbol-simbol dengan arti-arti standard dengannya setiap anggota masyarakat dapat berkomunikasi (Raho, 2008: 61) sesungguhnya menegaskan kemanusiaan manuisa sebagai makhluk yang menggandrungi serta menerjemahkan simbol-simbol (animal symbolicum).
Jadi, untuk melihat budaya sebuah kelompok sosial, kita cukup melihat transaksi pertukaran tanda dengan memperhatikan sistem tanda yang ada dan bagaimana para anggotanya menggunakan sistem tanda tersebut sebagaimana oleh Umberto Eco bahwa, "humanity and society exist only when communicative and significative relationships are established" (Eco, 1979: 22).
Bahasa sebuah puisi sebenarnya merupakan pengorganisasian simbol dan tanda atau dapat dikatakan sealur dengan logosentrisme. Yang perlu mendapat perhatian lebih yakni proses sistematisasi pemaknaan atau significationatas aneka simbol dan tanda tersebut sebagai sebuah 'kenyataan yang terselubung/realitas simbolis'. Secara singkat dapat dikatakan bahwa puisi merupakan bentuk bahasa dalam simbol yang paling lugas dan dalam guna membahasakan kenyataan tertentu.
Ruangan yang ada dalam sepatah kata