(Dalam Sajak 'Kami Bertiga')
Rivalitas Antara Kajian Antopologis dan Kegelisahan Struktural
Antopologi menaruh minat yang tinggi terhadap manusia sebagai yang menentukan eksistensi dunia sejak Rene Descartes dengan Cogito Ergo Sumnya mendominasi ranah filsafat. Selanjutnya evolusionisme Darwinisme sosial yang menghakim manusia sebagai yang tidak berhak dalam mengatasi alam, tetapi menjadi bagian terkecil darinya.
Dapat dipastikan bahwa era postmdernisme menaruh minat yang lebih pada struktur sebagai yang membentuk manusia sejak Ferdinand de Saussure dalam buku Cours de Linguistique generaleyang kemudian dikritik oleh Derrida. Bagi strukturalisme Claude Levi Strauss lewat ide produktifnya tentang neostrukturalisme, poststrukturalisme dan postmodernisme, menegaskan prioritas bahasa sebagai perekonstruksian struktur yang tidak kelihatan dengan mencoba menemukan hubungan ekuivalensi formal, isomorfisme, dan aturan-aturan transformasi yang terjadi di antara tingkatan kode yang berbeda. Berdasarkan teori di atas, hemat saya sungguh tepat jika Goldman percaya bahwa adanya homologi antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sebab keduanya berorientasi dan bertolak dari aktivitas strukturisasi yang sama (Faruk, 2010: 64).
Hampir semua penyair Indonesia merespon kegelisahan tersebut terkait terkontaminasinya struktur oleh kepentingan politik. Sebut saja Chairil Anwar dalam catatannya menulis: Jika bedil disimpan...(Chairil Anwar, "Catetan Th. 1946") mengingatkan kita bahwa sistem adalah subyek atas otonomi struktural. Sepintas dapat dipastikan bahwa aksi komunikatif bahasa akan mencapai konsensus dalam perspektif ideal Habermas adalah naif dan terlalu optimistis di Indonesia. Naif karena saya tidak yakin-seraya mengasah pena dan menulis, seraya menggunakan bahasa-dengan sendirinya kita melakukan aksi komunikatif ke arah konsensus.Â
Justru sebaliknya kata dan bahasa itulah yang menggunakan kita, seperti dalam sajaknya Subagio Sastrowardoyo: : Kita takut kepada momok karena kata/Kita cinta kepada bumi karena kata/Kita percaya kepada Tuhan karena kata/Nasib terperangkap dalam kata. Dengan kata lain, dalam bahasa, kita terbelah. Kita hanya mengulangi sebuah sebutan praduga historis, yang usang, bahkan yang telah mati. Maka berbahaya jika struktur demokrasi Indonesia dikerahkan untuk merumuskan "kebenaran antropologis" sebagai sebuah nilai baru. Dengan demikian, harus kita akui bahwa aksi komunikatif yang baik bukanlah bahasa yang terang benderang, tetapi bahasa yang terbentuk karena perang, krisis, konflik, dan kemiskinan dalam hidup.
Sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya
bisa mereka pahami berdua.
(Dalam Sajak 'Sepasang Sepatu Tua')
Minat dunia sastra terhadap analisis wacana atau selaras dengan Hermeneutikanya Grademmer merupakan hal yang mengesankan. Sapardji djoko Damono mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap karya sastra seperti yang dilakukan Wolf dalam Hermeneutic Philosophy Irony and the Sociology of Art yakni sosiologi yang mempermasalahkan status sosial serta ideologi sebagai penghasil karya sastra, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya sastra sendiri, dan sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra (Damono, 1978: 33).
Keprihatinan sosial yang memuncak dalam kritik berbagai sastrawan dan budayawan kontemporer terhadap Balai Pustaka dan juga lambaga-lembaga yang dimeterai sebagai pemegang sah pemberi kriteria berkualitas tidaknya sebuah karya sastra merupakan contoh yang menarik untuk disimak. Proses pemiskinan sastra tersebut telah berlangsung sejak masa Orde Lama hingga sekarang baik secara simulacrum maupun sejati. Sebut saja Badan Sensor Film (BSF) maupun Departemen Penerangan (Deppen) yang sama-sama antidemokrasi.