Poin kedua, konteks dimana narasi itu (diupayakan) berkembang. Oke, pada bagian ini, kita semua sadar bahwa konteks Indonesia saat ini sudah mulai memanas, terutama dalam ruang politik baik di elit maupun di masyarakat dalam menghadapi Pilpres 2019.Â
Rivalitas baik yang sehat maupun tidak sehat, dalam ruang diskusi maupun debat, cukup banyak menarik perhatian publik, sehingga segala detail yang muncul dalam ruang rivalitas ini menjadi konsumsi publik sehari-hari, bahkan bencana yang terjadi di beberapa daerah pun tidak luput dari rivalitas politik ini.Â
Di dalam ruang yang semakin memanas itu, narasi tentang "penganiayaan" kemudian muncul sebagai salah satu senjata yang kuat untuk menyerang pihak yang menjadi rival "korban", yaitu pihak pemerintah. Masalahnya ialah, narasi yang muncul ini bisa dikatakan menjadi kurang berhasil, sebab ada pihak ketiga, yaitu pihak yang memilih abstain dengan kondisi politik saat ini.Â
Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain latar belakang sang "korban", kebosanan masyarakat dengan perdebatan politik yang tiada akhir, atau bahkan (dugaan saya yang paling kuat) ialah mereka memilih menaruh perhatiannya pada bencana yang sedang terjadi saat ini. Pada sisi ini, narasi yang berkembang itu kemudian ter-counter dengan sendirinya, tanpa harus ada counter narasi dari pihak sebelah.
Lebih dalam lagi, pada poin terakhir, yaitu paradigma personal dan komunitas dimana narasi (diupayakan) berkembang, kegagalan narasi "play victim" Ratna Sarumpaet semakin terlihat gagal. Harus diperhatikan bahwa dalam konteks saat ini, upaya mengembangkan narasi tidak bisa dijalankan dengan membuat suatu isu besar secara tiba-tiba tanpa membuat isu-isu kecil lebih dulu memanas.Â
Jika diumpamakan, untuk membuat suatu kebakaran besar, bahan bakar harus ditempatkan pada sisi yang bisa mendukung kebakaran tersebut. Pada bagian ini, kesalahan terbesar Ratna Sarumpaet ialah tidak melihat bahwa banyak orang telah antipasti terhadap dirinya, baik secara personal maupun kelompok dimana dia berafiliasi. Lebih lanjut lagi, agensi setiap orang yang memiliki kompetensi untuk meng-counter argumen tersebut, baik unuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain juga tidak bisa disepelekan.Â
Contohnya bisa dilihat ketika Tompi, seorang public figure yang notabene juga seorang dokter, dapat dikatakan berhasil meng-counter argumen "penganiayaan" itu dengan alasan yang logis dan bisa diterima banyak orang. Dalam analisa saya, di sinilah puncak kegagalan hoaks yang disebar, bahwa masih banyak orang yang mampu melawan narasi tersebut dengan basis ilmu atau  pun pengalaman pribadi, dan kemudian disebarluaskan dalam upaya melawan hoaks tersebut.
Akhirnya....
Pada akhirnya, kita harus legowo menerima "pernyataan kalah" dari pihak yang menyearkan narasi, bahwa dia telah gagal menyebar berita hoaks untuk menggiring opini public, tetapi kebohongan public ialah kejahatan yang tercantum dalam UU KUHP di negara Indonesia tercinta ini..Â
Kekalahan ini disebabkan banyak faktor, tetapi yang menjadi catatan dari tulisan ini ialah bahwa narasi atau hoaks bisa saja berhasil, jika keempat pendekatan diatas saling mendukung satu dan yang lain. Untungnya, masyarakat kita semakin dewasa dalam berpolitik, atau bisa jadi malah semakin abstain dengan politik, siapa yang tahu? Saya hanya berargumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H