Ratna Sarumpaet, Konstruksi Realitas dan Hoaks yang Gagal : Melihat Kembali Narasi "Play Victim" Ratna Sarumpaet Dalam Teori "The Construction Of Belief"
Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia kembali dikagetkan dengan berita simpang-siur mengenai Ratna Sarumpaet yang diduga mengalami kekerasan fisik oleh beberapa orang. Berita ini menjadi sangat viral, dan bahkan mampu menyedot perhatian masyarakat yang masih berduka dengan kejadian bencana gempa di Palu, Donggala dan sekitarnya.Â
Tidak hanya itu, berita ini seakan menjadi salah satu berita yang paling mempengaruhi peta dan iklim politik Indonesia saat ini, menjelang Pilpres 2019. Mengapa tidak, ditengah situasi rivalitas yang "kurang sehat" antara dua kubu capres/cawapres Indonesia saat ini, berita kekerasan fisik seakan kembali memperkeruh suasana politik yang memang sudah keruh sejak awal.Â
Menariknya, disaat isu mengenai kekerasan fisik ini baru mulai memanas, pengakuan dari "korban/tersangka" mengenai berita palsu yang katanya "atas bisikan setan" tersebut akhirnya terkuak. Tidak ada penganiayaan atau apapun itu, hanya operasi plastik. Situasi perlahan mereda, namun ada hal menarik disini, bahwa ternyata kegagalan hoaks bukan hanya datang dari masyarakat yang tidak menerima hoaks tersebut, tetapi juga dari pihak yang menciptakan hoaks itu sendiri. Kok bisa? Mari kita ulas sama-sama.
Narasi "Play Victim" dalam konteks "the Construction of Belief" (Bar-Tal, 2000)
Bermain narasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tidak bisa dibedakan dengan bermain judi, ya sama-sama penuh resiko. Tak ada yang bisa memprediksi apakah narasi itu akan mengutungkan atau malah merugikan sang pembuat narasi.Â
Jika kita mengidentifikasi hoaks sebagai narasi (dan memang hoaks adalah "narasi palsu") berarti bermain hoaks juga sama seperti bermain judi, dengan presentasi keberhasilan tergantung banyak hal yang mempengaruhi.Â
Menurut Teori Daniel bar-Tal (2000), ada empat hal penting yang mempengaruhi berhasil tidaknya narasi berkembang dan kemudian terkonstruksi menjadi "keyakinan" (belief) dalam masyarakat. Pertama ialah konten narasi, kedua ialah konteks masyarakat dimana narasi itu (diupayakan) berkembang, ketiga ialah paradigma personal dan terakhir ialah paradigma kelompok secara umum.
Poin pertama, konten dari narasi itu sendiri. Kita tahu Bersama bahwa apa yang Ratna Sarumpaet narasikan ialah sesuatu yang biasa disebut dengan "play victim" bahwa ia diserang oleh oknum tertentu.Â
Dalam konteks Indonesia secara umum, narasi "play victim" dapat dikatakan cukup berhasil dalam menggiring opini publik. Contohnya ialah ketika narasi bahwa Ahok telah "menista" agama Islam, opini mayoritas umat Islam dengan cepat terkonstruksi menjadi sebuah keyakinan bahwa Ahok memang menista agama Islam.Â
Dalam kasus Ratna Sarumpaet, sebenarnya cukup berhasil dalam kaitannya dengan aspek psikologi masyarakat Indonesia pada umumnya, bahwa memukul wanita ialah suatu tindakan tidak terpuji, dan kita telah belajar itu sejak masa kanak-kanak. Sederhananya, aspek pertama dalam konstruksi "keyakinan" masyarakat telah cukup berhasil menggiring opini publik.
Poin kedua, konteks dimana narasi itu (diupayakan) berkembang. Oke, pada bagian ini, kita semua sadar bahwa konteks Indonesia saat ini sudah mulai memanas, terutama dalam ruang politik baik di elit maupun di masyarakat dalam menghadapi Pilpres 2019.Â
Rivalitas baik yang sehat maupun tidak sehat, dalam ruang diskusi maupun debat, cukup banyak menarik perhatian publik, sehingga segala detail yang muncul dalam ruang rivalitas ini menjadi konsumsi publik sehari-hari, bahkan bencana yang terjadi di beberapa daerah pun tidak luput dari rivalitas politik ini.Â
Di dalam ruang yang semakin memanas itu, narasi tentang "penganiayaan" kemudian muncul sebagai salah satu senjata yang kuat untuk menyerang pihak yang menjadi rival "korban", yaitu pihak pemerintah. Masalahnya ialah, narasi yang muncul ini bisa dikatakan menjadi kurang berhasil, sebab ada pihak ketiga, yaitu pihak yang memilih abstain dengan kondisi politik saat ini.Â
Hal ini juga bisa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain latar belakang sang "korban", kebosanan masyarakat dengan perdebatan politik yang tiada akhir, atau bahkan (dugaan saya yang paling kuat) ialah mereka memilih menaruh perhatiannya pada bencana yang sedang terjadi saat ini. Pada sisi ini, narasi yang berkembang itu kemudian ter-counter dengan sendirinya, tanpa harus ada counter narasi dari pihak sebelah.
Lebih dalam lagi, pada poin terakhir, yaitu paradigma personal dan komunitas dimana narasi (diupayakan) berkembang, kegagalan narasi "play victim" Ratna Sarumpaet semakin terlihat gagal. Harus diperhatikan bahwa dalam konteks saat ini, upaya mengembangkan narasi tidak bisa dijalankan dengan membuat suatu isu besar secara tiba-tiba tanpa membuat isu-isu kecil lebih dulu memanas.Â
Jika diumpamakan, untuk membuat suatu kebakaran besar, bahan bakar harus ditempatkan pada sisi yang bisa mendukung kebakaran tersebut. Pada bagian ini, kesalahan terbesar Ratna Sarumpaet ialah tidak melihat bahwa banyak orang telah antipasti terhadap dirinya, baik secara personal maupun kelompok dimana dia berafiliasi. Lebih lanjut lagi, agensi setiap orang yang memiliki kompetensi untuk meng-counter argumen tersebut, baik unuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain juga tidak bisa disepelekan.Â
Contohnya bisa dilihat ketika Tompi, seorang public figure yang notabene juga seorang dokter, dapat dikatakan berhasil meng-counter argumen "penganiayaan" itu dengan alasan yang logis dan bisa diterima banyak orang. Dalam analisa saya, di sinilah puncak kegagalan hoaks yang disebar, bahwa masih banyak orang yang mampu melawan narasi tersebut dengan basis ilmu atau  pun pengalaman pribadi, dan kemudian disebarluaskan dalam upaya melawan hoaks tersebut.
Akhirnya....
Pada akhirnya, kita harus legowo menerima "pernyataan kalah" dari pihak yang menyearkan narasi, bahwa dia telah gagal menyebar berita hoaks untuk menggiring opini public, tetapi kebohongan public ialah kejahatan yang tercantum dalam UU KUHP di negara Indonesia tercinta ini..Â
Kekalahan ini disebabkan banyak faktor, tetapi yang menjadi catatan dari tulisan ini ialah bahwa narasi atau hoaks bisa saja berhasil, jika keempat pendekatan diatas saling mendukung satu dan yang lain. Untungnya, masyarakat kita semakin dewasa dalam berpolitik, atau bisa jadi malah semakin abstain dengan politik, siapa yang tahu? Saya hanya berargumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H