Tiba-tiba nama Tolikara jadi keren dan beken. Â Kabupaten yang 'hanya' berpenduduk 54 ribua-an menjadi sorotan seantero Indonesia. Media sosial gaduh, bahkan wakil-wakil rakyat di Senayan ikut bernyanyi. Â Mungkin di kabupaten ini internet sudah demikan cepat dan WIFI 24 jam sehingga semua berita jadi begitu cepat disebarkan. Â Ataukah ada the invisible hands yang memang secara sistematis membuat kisruh Tolikara menajadi headline lebaran tahun ini? Â Semuanya adalah mungkin.
Ketika tetua Kompasiana, Pepih Nugraha, mengeluarkan istilah Noise dan Voice saya mendapatkan pecerahan yang cukup dalam dari istilah ini. Â Media sosial yang dulunya cuma dipandang sebagai Noise (kegaduhan) pelan tapi pasti mulai mendapatkan tempat menjadi Voice (suara yang diperhitungkan).
Mana versi Tolikara yang benar, semua media memiliki versinya masing-masing. Â Begitu susahnya mencari Voice dari dari kisah ini. Versi yang di 'goreng' adalah pembakaran mesjid. Â Konotasi dari pembakaran mesjid adalah isu SARA dan langsung ini menjadi 'meme' (ide yang ditularkan). Â Dan polemik ini langsung di 'cut' dengan permintaan maaf dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), bahkan oleh Jokowi. Â Dan ini efektif untuk menghentikan provokasi, tapi tidak menjawab kebutuhan untuk mendapatkan Voice dan bukan cuma Noise.
***
Dari Facebook, seorang teman SMA yang sekarang melayani di gereja di Papua saya mendapatkan kepastian bahwa Presiden GIDI, Dorman Wambikmbo bisa dipercaya.  Sebab itu bagi saya pernyataan Dorman di SuaraPapua.com patut diperhitungkan sebagai Voice lebih dari media yang lain.  Voice ini yang sementara saya pegang, dan mengangap yang lain sebagai Noise dan terus melihat perkembangan. Â
"Jadi saya mau tegaskan tidak benar masyarakat Tolikara, atau warga gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap Mushola (seperti pemberitaan berbagai media massa di tingkat nasional), namun hanya beberapa kios yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar Musolah karena dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios/rumah milik warga Papua maupun non-Papua, sehingga dengan cepat melebar dan terbakar."
(Dorman Wambikmbo, Presiden Sinode GIDI) - Sumber
Perkembangan selanjutnya seperti berikut :
Kompas - Staf Khusus Presiden Salahkan Pemkab dan Polisi Soal Insiden Tolikara
Detik - Â Â Soal Tolikara, Jimly: Kalau Tidak Paham, Pejabat itu Lebih Baik Diam
Merdeka - Jimly Asshidqie yakin insiden di Tolikara bukan konflik Agama
Tempo  -  Komnas HAM: Polisi Keliru Tangani Rusuh Tolikara
Terlihat bahwa media mainstream pun akhirnya berangsur-angsur harus menyesuaikan dengan Voice dan tidak terikut memprovokasi dengan ide "pembakaran mesjid". Â
***
Apapun yang menjadi fakta kebenaran, nasi sudah menjadi bubur. Â Satu gereja di Solo sudah ikut di massa karena peristiwa ini. Provokator jelas ada, baik memanfaatkan konflik horisontal yang terjadi di Tolikara ataupun ikut menjadi otak dibelakang Tolikara sendiri. Â Disini media harus tegus sebagai tiang kebenaran dan me-NYUARAKAN fakta bukan - meng-GADUHKANnya.
Doa dan salam untuk teman-teman di Tolikara dan Papua, apapun agamanya.  Papua, pulau kaya yang dicinta Tuhan menjadi tempat rebuatan banyak kepentingan.  Mari kita doakan dan terus kawal supaya hanya kebenaran yang disuarakan dari Tolikara.  Ini waktunya Papua.
Pendekar Solo
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H