Mohon tunggu...
Al-Hanaan
Al-Hanaan Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Freelance writer Linguist Music addict Calligrapher Photographer www.zoetmeisje.doodlekit.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yuk, Ciptakan Perdamaian di Jagad Imajiner Komunikasi

14 September 2016   23:09 Diperbarui: 16 September 2016   06:21 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bullock (1990:617) dalam Piliang (2015:122) mendefinisikan "liyan" (other) sebagai sebuah konsep yang berbeda dengan "lain" (distinct). Konsep "lain" menyiratkan perbedaan sedangkan konsep "liyan" menyiratkan perbedaan dalam bingkai ko-eksistensi. Dalam dunia maya, liyan dan lain tidak begitu konkret karena penghuni dunia maya adalah penduduk yang "tampak" nyata. Namun, kohesi sosial dalam masyarakat simulakra ini bisa pudar karena pemahaman mengenai ko-eksistensi yang didorong oleh meningkatnya sentimen egosentrisme yang melihat umweltsebagai titik pusat dunia. Young (1999:71) dalam Piliang (2015:123) menjabarkan umweltsebagai ruang inti normalitas yang dicapai yang melaluinya individu atau kelompok membangun dunia sekitarnya. Inilah area di mana orang merasa aman dan awas. Kondisi ini menyebabkan ketertutupan dari dialog yang melihat eksterioritas sebagai lawan sehingga menimbulkan perasaan terancam. Perasaan terancam inilah yang menyebabkan eksklusivitas kelompok yang sebenarnya bersumber dari rasa tidak percaya diri.

Media sosial, selain untuk berkomunikasi, juga sebagai wadah untuk curhat dan ngeksis. Curhat yang tidak tepat di media sosial bisa menyebabkan ancaman pengusiran. Tentunya kita masih ingat dengan kasus mahasiswi Fakultas Hukum UGM yang curhat di media sosial dan berujung pada pengusirannya dari Yogyakarta. Begitu pula dengan keinginan untuk ngeksis. Demi eksistensi diri, tak jarang pengguna media sosial asal berceloteh hanya demi Like alias ingin dianggap hebat. Banyak orang yang mendadak jadi populer dari medsos sehingga dinobatkan menjadi selebriti Twitter, selebriti Facebook, dsb.

Jika diperhatikan lebih saksama, sejatinya mereka adalah orang-orang yang belum melek media sosial dan tidak percaya diri. Mereka mencari validasi di media sosial sehingga dapat dipastikan akan berbeda karakter jika berhadapan langsung. Kurangnya kepercayaan diri menimbulkan dua sikap, yaitu sikap mengadopsi secara mentah informasi baru yang jadi trending topic tanpa menyaringnya terlebih dahulu agar dianggap kekinian dan penolakan mentah-mentah terhadap pandangan lain yang pada titik ekstrim menghasilkan terorisme. Sikap kurang percaya diri ini yang membuat kita mudah emosi dengan informasi "panas" yang beredar di Internet tanpa melaui pembacaan teks berita yang mendalam mengenai mengapa dan bagaimana berita itu dihadirkan. Kita mudah terprovokasi dengan twit kawan yang memojokkan pihak tertentu. Tentunya berita online ikut memberikan andil dalam menjaga kerukunan agama di media sosial. Judul seringkali dibuat heboh demi pundi-pundi iklan dan rating website.

Sumber: Status Facebook Wenda Koiman, 2 April 2016 (https://www.facebook.com/pemalu.pendiam.1?fref=ts )
Sumber: Status Facebook Wenda Koiman, 2 April 2016 (https://www.facebook.com/pemalu.pendiam.1?fref=ts )
Aturan Main Untuk Penghuni Galaksi Simulakra

Meskipun perdamaian bukan kondisi faktual yang kita terima begitu saja, perdamaian sebetulnya bukan hal yang sulit didapat di jagad imajiner yang rawan benturan. Bagaimana bisa hidup tenang di galaksi simulakra, di tengah lalu lintas beranda yang mengerikan nan penuh fitnah murahan??

1. Berselancar layaknya pengembara

Hidup ini singkat, begitu pula dengan kehidupan di dunia maya yang semu. Jadilah pengembara yangabai terhadap informasi yang tidak diperlukan dan berpikir dengan kepala dingin kala menanggapi informasi yang beredar. Semua yang kita lihat belum tentu benar.

2. Empati

Medsos mendorong kita mengembangkan relasi sosial yang lebih kompleks. Informasi yang simpang siur seringkali menimbulkan kesalahpahaman sehingga dibutuhan kemampuan kita dalam mendefinisikan situasi liyan. Kemampuan inilah yang disebut dengan berempati.

3. Besarkan budaya aksara

Memelihara budaya aksara akan memperkaya sifat kemanusiaan kita. Masyarakat kita yang belum berbudaya aksara tinggi, sudah dirayu untuk lepas dari kebiasaan literasi. Membaca merupakan prasyarat menulis dan menulis membutuhkan argumentasi untuk menopang ide agar rasional. Dalam menulis dibutuhkan penyampai gagasan, yaitu bahasa. Kemampuan berbahasa dilihat dari keteraturan berbahasa yang pada gilirannya menunjukkan kemampuan pengendalian diri. Jika hanya terus bergantung pada budaya visual dan tidak terlatih untuk berpikir rasional, maka akan timbul budaya otot dan kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun