Tema blog: Pentingnya Merawat Kerukunan Beragama pada Era Media Sosial
Kebosanan adalah kejahatan paling besar kedua di dunia. Menjadi membosankan adalah kejahatan terbesar pertamanya. - Jean Baudrillard.
Membaca epigram Jean Baudrillard di atas rasanya cocok untuk menggambarkan kehidupan bermedia sosial kita. Kegiatan bermedsos kita tidak melulu karena kebutuhan, melainkan pelarian kehidupan nyata yang membosankan. Generasi sekarang tidak lepas dari pengguna jejaring sosial. Wajar saja generasi kita hari ini disebut generasi gadget. Tak hanya untuk berkomunikasi, belajar pun kita membutuhkan media sosial, entah itu belajar bahasa Inggris, belajar menjahit, termasuk memperdalam ilmu agama.
Konsekuensinya penghuni galaksi simulakra menganggap apa yang ditulis di Internet sudah pasti benar. Banyak hal yang sebetulnya sepele menjadi masalah besar hanya karena diumbar di media sosial. Konon pembakaran vihara di Tanjung Balai pun dipicu oleh provokasi di Facebook.
Simulasi-Simulakra dan Teknologi
Kebenaran adalah apa yang harus ditertawakan. - Jean Baudrillard.
Selamat datang di Galaksi Simulakra!
Inilah galaksi di mana pengguna media sosial biasa bersitegang terhadap berita yang beredar. Simulasi adalah penciptaan model kenyataan tanpa asal-usul realitas. Sedangkan simulakra adalah ruang di mana mekanisme simulasi berlangsung. Seperti film Spiderman,Spiderman adalah tokoh imajiner yang diberi realitas nyata di kota besar di Amerika Serikat. Kota besar ini adalah realitas nyata yang dialihkodekan. Penokohan Spiderman merupakan simulasi realitas. Simulakra itu tidak berbahaya selama itu adalah hiburan. Namun jika yang dijadikan simulakra adalah informasi, jelas itu adalah fitnah karena simulakra tak akan bisa menggantikan realita. Jika informasi dijadikan simulakra, akan menghasilkan hiperrealitas informasi. Hiperrealitas informasi adalah perekayasaan informasi. Hakikat informasi (seharusnya) adalah kebenaran. Kebenaran tidak bisa ditambahi atau dikurangi. Realitas yang berlebihan inilah yang membuat realitas menjadi sebaliknya, yaitu kebohongan. Inilah yang sering kita jumpai di kampung virtual alias dunia maya.
Dalam galaksi simulakra, kepalsuan berbaur dengan keaslian, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, dusta bersenyawa dengan kebenaran. Inilah alasan mengapa dalam galaksi simulakra, kebenaran adalah apa yang harus ditertawakan. Keadaan dari hiperrealitas ini membuat masyarakat modern ini menjadi berlebihan dalam pola mengkonsumsi sesuatu yang tidak jelas esensinya. Sama halnya dengan mengkonsumsi informasi yang belum jelas kebenarannya. Malangnya, informasi ini seringkali menimbulkan bentrokan sengit yang memicu perpecahan. Hiperrealitas yang kita terima sebagai kebenaran membuat kita bersitegang. Kebenaran kini ditentukan oleh siapa yang paling populer, paling ngotot, paling banyak jempol, dan paling provokatif.
Perkembangan teknologi juga ikut andil dalam mengaburkan jarak antara yang abstrak dan yang konkret. Jika kita tidak memahami untuk apa teknologi ada, maka kita akan menciptakan simulasi bagi orang lain dan menjelma menjadi manusia hiperrealitas. Manusia hiperrealitas inilah yang menjadi budak teknologi. Mereka adalah penentu kebenaran sebuah informasi yang belum diverifikasi tanpa mengindahkan etika dan moral.
Keliyanan dalam Media Sosial
Bullock (1990:617) dalam Piliang (2015:122) mendefinisikan "liyan" (other) sebagai sebuah konsep yang berbeda dengan "lain" (distinct). Konsep "lain" menyiratkan perbedaan sedangkan konsep "liyan" menyiratkan perbedaan dalam bingkai ko-eksistensi. Dalam dunia maya, liyan dan lain tidak begitu konkret karena penghuni dunia maya adalah penduduk yang "tampak" nyata. Namun, kohesi sosial dalam masyarakat simulakra ini bisa pudar karena pemahaman mengenai ko-eksistensi yang didorong oleh meningkatnya sentimen egosentrisme yang melihat umweltsebagai titik pusat dunia. Young (1999:71) dalam Piliang (2015:123) menjabarkan umweltsebagai ruang inti normalitas yang dicapai yang melaluinya individu atau kelompok membangun dunia sekitarnya. Inilah area di mana orang merasa aman dan awas. Kondisi ini menyebabkan ketertutupan dari dialog yang melihat eksterioritas sebagai lawan sehingga menimbulkan perasaan terancam. Perasaan terancam inilah yang menyebabkan eksklusivitas kelompok yang sebenarnya bersumber dari rasa tidak percaya diri.
Media sosial, selain untuk berkomunikasi, juga sebagai wadah untuk curhat dan ngeksis. Curhat yang tidak tepat di media sosial bisa menyebabkan ancaman pengusiran. Tentunya kita masih ingat dengan kasus mahasiswi Fakultas Hukum UGM yang curhat di media sosial dan berujung pada pengusirannya dari Yogyakarta. Begitu pula dengan keinginan untuk ngeksis. Demi eksistensi diri, tak jarang pengguna media sosial asal berceloteh hanya demi Like alias ingin dianggap hebat. Banyak orang yang mendadak jadi populer dari medsos sehingga dinobatkan menjadi selebriti Twitter, selebriti Facebook, dsb.
Jika diperhatikan lebih saksama, sejatinya mereka adalah orang-orang yang belum melek media sosial dan tidak percaya diri. Mereka mencari validasi di media sosial sehingga dapat dipastikan akan berbeda karakter jika berhadapan langsung. Kurangnya kepercayaan diri menimbulkan dua sikap, yaitu sikap mengadopsi secara mentah informasi baru yang jadi trending topic tanpa menyaringnya terlebih dahulu agar dianggap kekinian dan penolakan mentah-mentah terhadap pandangan lain yang pada titik ekstrim menghasilkan terorisme. Sikap kurang percaya diri ini yang membuat kita mudah emosi dengan informasi "panas" yang beredar di Internet tanpa melaui pembacaan teks berita yang mendalam mengenai mengapa dan bagaimana berita itu dihadirkan. Kita mudah terprovokasi dengan twit kawan yang memojokkan pihak tertentu. Tentunya berita online ikut memberikan andil dalam menjaga kerukunan agama di media sosial. Judul seringkali dibuat heboh demi pundi-pundi iklan dan rating website.
Meskipun perdamaian bukan kondisi faktual yang kita terima begitu saja, perdamaian sebetulnya bukan hal yang sulit didapat di jagad imajiner yang rawan benturan. Bagaimana bisa hidup tenang di galaksi simulakra, di tengah lalu lintas beranda yang mengerikan nan penuh fitnah murahan??
1. Berselancar layaknya pengembara
Hidup ini singkat, begitu pula dengan kehidupan di dunia maya yang semu. Jadilah pengembara yangabai terhadap informasi yang tidak diperlukan dan berpikir dengan kepala dingin kala menanggapi informasi yang beredar. Semua yang kita lihat belum tentu benar.
2. Empati
Medsos mendorong kita mengembangkan relasi sosial yang lebih kompleks. Informasi yang simpang siur seringkali menimbulkan kesalahpahaman sehingga dibutuhan kemampuan kita dalam mendefinisikan situasi liyan. Kemampuan inilah yang disebut dengan berempati.
3. Besarkan budaya aksara
Memelihara budaya aksara akan memperkaya sifat kemanusiaan kita. Masyarakat kita yang belum berbudaya aksara tinggi, sudah dirayu untuk lepas dari kebiasaan literasi. Membaca merupakan prasyarat menulis dan menulis membutuhkan argumentasi untuk menopang ide agar rasional. Dalam menulis dibutuhkan penyampai gagasan, yaitu bahasa. Kemampuan berbahasa dilihat dari keteraturan berbahasa yang pada gilirannya menunjukkan kemampuan pengendalian diri. Jika hanya terus bergantung pada budaya visual dan tidak terlatih untuk berpikir rasional, maka akan timbul budaya otot dan kekerasan.
4. Ingat Asal-usul Peradaban
Sebagai pengguna media sosial dan warga Indonesia, kita harus melihat sejarah bahwa Indonesia sendiri merupakan hasil persilangan budaya sehingga dapat timbul sikap saling menghargai satu sama lain. Misalnya, ilmu kedokteran merupakan salah satu sumbangan peradaban Islam. Teknologi pengobatan tersebut dapat berkembang karena ada kepercayaan terhadap agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan karya Ibn Sina yang berjudul al-Qanun fi at-Tibb (Buku Pegangan Ilmu Pengobatan) yang telah menjadi pondasi bagi ilmu kedokteran di Eropa hingga ratusan tahun.
Medsos sebagai berkah atau musibah bagi toleransi dan keberagaman berada pada kita sebagai penghuni jagad imajiner. Mampukah kita menahan diri ketika berkomunikasi viral yang berdenyut di jari kita?
Daftar Pustaka:
Akhiles, Edi. 2015. Merayakan Matinya Kebenaran. Jawa Pos, 12 Juli.
Baudrillard, Jean. 2001. Galaksi Simulacra: Esai-esai Jean Baudrillard. (Terj. Galuh E. Akoso dan Ninik Rochani Sjams). Yogyakarta: LKiS.
KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda. 2010. Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Jakarta: Gramedia.
Mauludi, Sahrul. 2015. Pengantar Editor untuk Sahrul Mauludi (ed.) dalam Penyerbukan Silang Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Piliang, Yasraf Amir. 2015. "Dialogisme Silang-Budaya: Melintasi Batas-batas Kebudayaan" dalam Penyerbukan Silang Antarbudaya: Membangun Manusia Indonesia. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2010. "Dialog Menuju Perdamaian Abadi" kata sambutan untuk Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda. Jakarta: Gramedia.
The Wahid Institute. 2010. "Memilih Dialog Sebagai Jalan Peradaban Membangun" pengantar editor untukDialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. KH Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda. Jakarta: Gramedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H