Mohon tunggu...
Al-Hanaan
Al-Hanaan Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Freelance writer Linguist Music addict Calligrapher Photographer www.zoetmeisje.doodlekit.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antar Anak ke Sekolah, Antar Anak ke Gerbang Masa Depannya

31 Juli 2016   20:15 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:43 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potensi anak yang hanya dilihat dari nilai merupaka cermin kemampuan menghapal. Akhirnya, sekolah hanya bisa menciptakan bebek-bebek dogmatis yang hanya bisa membebek. Ditambah lagi teknologi informasi yang memungkinkan anak mendapat informasi di luar sekolah, sehingga ilmu belajar menjadi lebih penting daripada apa yang dipelajari itu sendiri. Metode hapalan menjadi usang, dan kita butuh lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik.

Kebanyakan dari orangtua mengukur kecerdasan anak dari angka di sekolah sedangkan kecerdasan jamak yang mengatakan bahwa setiap anak punya potensi unggulnya masing-masing. Lalu mengapa hari ini ditemukan anak yang tampaknya kurang menonjol? Inilah peran guru sebagai pendidik untuk mengembangkan kemampuan dasar yang masih tertidur (potential dorman gen) (Edy, 2013:138). Pendidik adalah guru kreatif yang membentuk manusia yang mengenali potensi unggul dan mengajarkan perencanaan karir. Perencanaan karir inilah yang merupakan muara dari pertanyaan "Apa cita-citamu?".

Jika guru sudah mengajarkan demikian, pertanyaan "Apa cita-citamu?" sudah bukan lagi pertanyaan basa basi. Alasan mengapa sekolah seperti perlombaan tanpa tujuan adalah karena selama ini anak tidak pernah diajak untuk mewujudkan keinginan dan harapannya. Mengingat sekolah tidak mempunyai tujuan yang jelas, sekolah hanya sekadar memberi laporan angka yang tidak jelas hubungannya dengan kesuksesan anak. Anak tidak diberi laporan mengenai kekuatan dan kelemahan anak, juga informasi yang sesuai dengan anak kita. Sekolah pada umumnya hanya berorientasi pada soal ujian dan kemampuan menjawab soal, bukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir anak. Jika anak tak tahu apa yang ia inginkan, ia juga tidak akan tahu apa yang akan ia lakukan setelah lulus. Sekolah yang tidak melakukan perencanaan terhadap tujuan pendidikan, namun sekadar menekankan kelulusan hanya akan menciptakan perlombaan yang muaranya tidak ke mana-mana (race to nowhere).

Untuk mengetahui potensi unggul anak, ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan, yaitu: Apa yang seru di sekolah? Apa pelajaran favoritmu Siapa temanmu yang asyik?

Tiga pertanyaan di atas penting untuk mengukur kemampuan dan etos belajar anak. Jika anak menemukan hal yang seru di sekolah, artinya ia ada keterlibatan (engagement) anak dalam belajar formal yang akan berdampak besar pada prestasi akademiknya di sekolah. Hari pertama bersekolah merupakan titik awal yang menantang (atau tidak) buat anak untuk belajar. Jika hari pertama saja sudah membosankan, bagaimana kemudian?

Pelajaran favorit anak di hari pertama sekolah digunakan untuk menggali dua hal, yaitu apa yang menjadi minatnya dan siapa gurunya. Bisa jadi anak tertarik pada pelajaran karena ia tertarik dengan cara gurunya mengajar. Sedangkan pelajaran favorit anak bisa jadi petunjuk mengenai potensi unggul yang harus dikembangkan. Dengan demikian, orangtua dan guru bisa bekerjasama untuk mewujudkan mimpinya. Pilihan yang dipaksakan hanya menuai kegagalan sedangkan pilihan yang sukarela berujung pada kesadaran untuk keluar dari zona nyaman.

Teman merupakan elemen penting dalam kegiatan belajar di sekolah. Hari pertama sekolah merupakan kesempatan untuk menjalin persahabatan. Apakah anak kita mudah bergaul dan bagaimana teman-temannya? Apakah teman-temannya saling memuji atau saling pamer? Walau bagaimanapun, karakter anak dibentuk oleh lingkungan pergaulannya karena akhlak dibentuk melalui proses yang menjadi rutinitas.

Sekolah sejatinya adalah tempat pembinaan mental dan karakter siswa. Ilmu pengetahuan hanya akan hidup jika ditanam dalam jiwa yang siap dengan tantangan. Jika jiwa belum siap ditanami ilmu pengetahuan, ia hanya akan menjadi tahu. Namun, jika jiwa sudah siap ditanami ilmu pengetahuan, ia sudah layak disebut bisa.

Keberhasilan akademik anak di sekolah, tidak hanya bergantung pada guru saja, melainkan kekompakan dan kerjasama antara pihak guru dan orangtua, maupun sesama orangtua. Bagaimana mengetahui jika pembelajaran sesuai dengan fitrah penciptaan anak? Ada beberapa pertanyaan yang harus dijawab oleh anak sebagai peserta didik. Apakah anak selalu antusias untuk bangun ke sekolah? Apakah ia tidak mengeluh sakit perut dan pusing (gejala psikosomatis) ketika ingin ke sekolah? Apakah tetap antusias setelah pulang sekolah? Jika jawabannya ya, maka itulah sekolah yang tepat.

Bagaimana dengan sekolah anak kita? Sudahkah anak menemukan sekolah yang tepat?

Daftar Pustaka:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun