Mohon tunggu...
sam
sam Mohon Tunggu... Lainnya - peace and harmony enthusiast

just an ordinary student (a learner) | peace and harmony enthusiast I blog (often in English) too on https://sustainableharmony.wixsite.com/blog

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Interpretasi Resureksi dan Reinkarnasi dalam Dialog Semantik

21 Mei 2020   09:49 Diperbarui: 21 Mei 2020   12:12 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: miraclewijaya.com

Peringatan Kenaikan Yesus Kristus atau Kenaikan Isa Almasih, diselebrasi empat puluh hari sejak Hari Paskah, yang menandakan kesimpulan setelah resureksi-Nya dan kenaikan-Nya ke surga Allah. Kamis ini, 21 Mei 2020, memperingati sebuah kejadian yang terlampau jauh pada abad kesatu Masehi.

Kenaikan Yesus termasuk salah satu dari lima tonggak utama kehidupan Yesus menurut Perjanjian Baru dalam Alkitab (pembaptisan -- transfigurasi -- penyaliban -- kebangkitan -- kenaikan) yang telah coba banyak diulas oleh para sejarawan, budayawan, dan agamawan. Kebanyakan informasi mengenai kehidupan Yesus berkisah seambang periode kelahiran hingga resureksi. 

Sementara prosesi dan pasca kenaikan-Nya ke surga, atau yang juga lantas dikatakan 'duduk di sebelah kanan Allah' (misalnya dalam Roma 8:34, Kolose 3:1, dan beberapa surat lainnya) malahan tidak banyak dibahas ataupun dinarasikan dalam tulisan. Sehingga tentu saja muncul pertanyaan sesederhana 'apakah Yesus masih disana?' atau 'apakah Ia masih tetap hidup?' Sementara yang umumnya diketahui umat, presensi surga lekat dengan kematian, atau bahkan, adalah tempat yang hanya dapat dicapai setelah melalui kematian.

Meminjam sudut pandang dari Abdulla Galadari (2012), kematian mempunyai dua ragam, kematian raga dan kematian jiwa -dan, keduanya pun tidak semerta-merta terpisah. Banyak skriptur yang mengatakan bahwa meski tubuh bergerak, namun jiwa mungkin saja mati, atau sebaliknya. Sementara dalam agama samawi misalnya, ada pandangan bahwa manusia hanya hidup satu kali dan merupakan bekal untuk pengadilan di kehidupan setelahnya di alam akhirat untuk menentukan tempat terakhir -surga, atau neraka.

Belum dulu berbicara tentang reinkarnasi atau resureksi, adanya konsepsi kehidupan pasca kematian itulah yang justru memunculkan banyak pertanyaan, diskusi serta perdebatan mengenai kehidupan pasca kematian dalam tradisi keagamaan dan kepercayaan. Namun paling tidak, terdapat kesamaan dari banyaknya variasi pertanyaan dan perdebatan tersebut. Jones & Eliade (2005) menarik kesimpulan bahwa 'meski terdapat variasi konsepsi mengenai kehidupan pasca kematian, kepercayaan bahwa manusia akan tetap memiliki eksistensi -entah dalam bentuk apa- setelah mengalami kematian, adalah sebuah fenomena yang universal.'

Resureksi, mungkin lebih familiar dalam kepercayaan yang meyakini satu Tuhan yang menciptakan seluruh semesta, seperti Kristen, Yahudi, Islam, dan Zoroastrianism. Namun resureksi lebih dikenal lagi dalam Kristen dari kisah kebangkitan Yesus. Meski tidak lagi bisa melihat Yesus, tidak lantas mengurangi keimanan umat Kristiani akan eksistensi, kasih, dan janji-Nya "Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada' (Yohanes 14:3). 

Janji lainnya juga berulang kali disebut dalam Alkitab, ialah bahwa 'Ia akan datang lagi pada kedua kalinya, bukan untuk menyelesaikan persoalan dosa, tetapi untuk menyelamatkan orang-orang yang menantikan kedatangan-Nya (Ibrani 9:28). Pernyataan dalam Alkitab tersebut menjadi penanda bahwa Yesus tetap hidup setelah resureksi dan kenaikan-Nya ke surga Allah. Kisah ini juga terdapat dalam agama Islam, yakni kisah Nabi Isa.

Kisah resureksi menurut Gary R Habermas (1989), sebetulnya juga banyak tersimpul dalam sejarah agama-agama yang lain, hanya saja tidak cukup terekspos atau tidak dipercayai sebagai fenomena supernatural yang bersejarah -disebabkan kurangnya data dan perbedaan interpretasi. Beberapa cerita resureksi dalam sejarah keagamaan lain terpaut pada kisah Rabbi Judah I pada tahun 200 Masehi; Kabir, seorang tokoh agama yang menggabungkan ajaran Hindu dan Islam pada abad ke-15; Sabbatai Sevi, seorang tokoh agama Yahudi pada abad ke-17; Lahiri Mahasaya, seorang tokoh agama Hindu yang meninggal tahun 1895; dan Sri Yukteswar, seorang tokoh guru Hindu yang telah wafat pada 1936. Masing-masing kisah pun memiliki perbedaan interpretasi, pemahaman, bahkan perdebatan internalnya sendiri.

Dalam Kekristenan sendiri, interpretasi resureksi yang mencakup kebangkitan raga setelah kematian juga menjadi dialog yang cukup hangat. Agama Katolik secara umum mempercayai resureksi lekat dengan kebangkitan raga dan jiwa. Sementara Protestan, beranggapan bahwa kehidupan pasca kematian merujuk pada kelangsungan ruh atau jiwanya saja, tidak termasuk jasad.

Selain itu, menurut Gary, dan meminjam pandangan dari Robert Price, peristiwa resureksi di era Roman lebih dikenal dengan apotheosis -peristiwa kebangkitan kembali, termasuk kenaikan ke surga dan divinisasi- atau dimana sosok rabbi, nabi, guru, atau mesias muncul kembali di hadapan pengikutnya setelah kematian mereka. Pada era Roman, peristiwa apotheosis seringkali disertai penampakan komet atau bintang yang dipercaya merupakan perwujudan jiwa para pemimpin mereka, termasuk dalam kisah Julius Caesar yang diceritakan Suetonius bahwa 'sebuah komet muncul sekitar satu jam sebelum matahari terbenam, dan bersinar terus menerus selama tujuh hari berturut-turut. Itu adalah penanda jiwa Caesar yang telah naik ke surga; dan bintang yang kini berada di atas kepala kita ialah wujud keilahiannya.' Simbolisasi komet atau bintang sebagai wujud divinasi juga terdapat dalam catatan sejarah Kaisar Klaudius dan Vespasian, serta Augustus Caesar.

Selain resureksi, reinkarnasi juga merupakan falsafah kehidupan pasca kematian yang seringkali dikaji dalam sejarah tradisi keagamaan. Menurut Abdulla (2012) bahkan, resureksi dan reinkarnasi cenderung saling berkontradiksi. Secara logis, keduanya mungkin pelik dipahami dan tampak tidak masuk akal, atau hanya salah satu yang mungkin benar -keduanya tidak bisa secara bersamaan ada. Seperti halnya resureksi yang disamakan dengan apotheosis, reinkarnasi juga memiliki banyak sebutan lain seperti metempsychosis atau metensomatosis (transmigrasi atau perpindahan dari satu tubuh ke tubuh yang lain), palingenesis (kelahiran kembali), dan gilgul (roda) dalam bahasa Ibrani.

Secara umum, reinkarnasi berarti kelahiran kembali -baik dalam interpretasi perpindahan jiwa (menurut Hindu) atau transmigrasi karma (menurut Buddhism). Dalam Hindu Bhagavad-Gita, Krishna pernah mengatakan pada Arjuna untuk tidak menangisi kematian seorang teman, sebab kematian bukanlah akhir dalam lingkaran reinkarnasi. 

Sementara dalam hukum Karma, atma seseorang dipercaya membawa Karma yang ia terima dari perilaku dan perbuatan selama kehidupannya di dunia. Jiwa yang ber-reinkarnasi akan dilahirkan kembali dalam raga baru yang sesuai dengan Karmanya. Namun begitu, Buddhism tidak semerta-merta meyakini jiwa sebagai hal yang kekal karena adanya doktrin anatta (no-self/ tiada-aku). Selain itu, meskipun konsep reinkarnasi secara umum lebih dikenal dalam ajaran Hindu dan Buddha, reinkarnasi sebetulnya juga terdapat dalam sejarah dan tradisi keagamaan lain termasuk misalnya Yahudi (Kabbalah), Kristen (Gnostik), dan Islam (Isma'ili).

Agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, dan Islam pada umumnya menganggap hidup hanya satu kali dan adalah sebuah bekal untuk kehidupan setelah kematian. Sebab meyakini setelah satu kali hidup hanya ada kematian, agama Abrahamik memiliki lebih banyak kemungkinan atau kelekatan dengan resureksi, pun sebagaimana yang tertulis dalam literatur keagamaannya. Sementara reinkarnasi dalam literatur keagamaan Abrahamik tidak dapat ditemui -kemungkinan terbesarnya ialah kepercayaan reinkarnasi muncul dan dibawa dari pandangan kepercayaan lain atau golongan tertentu saja.

Pada agama Yahudi, menurut Gershom Scholem (1987), doktrin 'perpindahan jiwa' baru muncul pada abad kedua dan seterusnya yang dapat ditemui dalam beberapa tradisi atau kelompok Gnostik dan Maniisme yang mungkin pernah berhubungan dengan orang-orang Yahudi. Menurutnya juga, kepercayaan reinkarnasi masih ada hingga saat ini di beberapa kelompok gereja kekristenan. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Gaster (1908) yang mengatakan bahwa tidak mungkin doktrin metempsychosis berasal dari agama Yahudi, sebab diskursus ini baru menjadi familier sekitar abad ke-9 dan ke-10. Lebih lanjut menurut Maritano (2014), doktrin metempsychosis mungkin diterima dan dipercaya dalam Kristen heterodoks dan penganut esoterisme Yahudi.

Reinkarnasi dalam Kristen juga terdapat dalam kelompok Gnostik yang memiliki tradisi kepercayaan akan spiritualisme dalam kekristenan -tidak secara eksplisit atau literal mengenai resureksi. Salah satu kelompok Gnostik yang percaya akan reinkarnasi misalnya, terdapat dalam 'Wahyu Paul' yang menjabarkan perjalanan Paul ke surga -dikatakan bahwa pada surga keempat, Paul melihat sebuah jiwa 'dari tanah kematian' yang dibawa oleh para malaikat dan tengah dihakimi oleh para saksi, lalu sebagai hukumannya jiwa tersebut direinkarnasi ke dalam tubuh yang sudah disiapkan untuknya (Van den Broek, 2013).

Sementara Islam, sama halnya seperti Kristen, juga mempercayai doktrin resureksi atau kebangkitan -dikatakan bahwa manusia akan dibangkitkan kembali di hari akhir untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di dunia. Meski begitu, reinkarnasi atau tanasukh juga terdapat dalam masa-masa awal sejarah keislaman (Edward Rehatsek, 1880). Rehatsek beranggapan bahwa doktrin reinkarnasi mungkin dibawa oleh para pedagang dari India dan Yunani ke jazirah Arab, namun setelahnya dilarang setelah munculnya Islam di kawasan tersebut. Akan tetapi, doktrin reinkarnasi tetap berkembang dalam kelompok masyarakat Islam melalui budaya Persia.

Secara lebih spesifik, interpretasi reinkarnasi dalam agama Abrahamik lebih mungkin diindikasi melalui kajian hermeneutik yang melihat resureksi mungkin digunakan sebagai kiasan saja untuk reinkarnasi (Meysami Azad, 2017). Di samping bahwa minimnya literatur yang menjelaskan reinkarnasi dari sudut pandang keagamaan Abrahamik. Lebih lanjut lagi, perkembangan jaman pun juga membawa perubahan paradigma dalam agama yang lebih terbuka -baik terbuka lagi dengan ajaran-ajaran tradisional, neoterik, maupun dengan ajaran agama-agama dan kepercayaan berbeda.

Namun bagaimanapun, diskusi atau dialog secara lebih lanjut mengenai resureksi dan reinkarnasi, atau kehidupan pasca kematian menjadi bermakna sebab dapat memberikan nilai atau pandangan akan banyak hal terkait kehidupan. Misalnya, memaknai kehidupan manusia sebagai makhluk fisik maupun makhluk spiritual, memahami human nature, tujuan manusia, keadilan Tuhan, hingga bagaimana manusia bertanggungjawab dalam hidup dan beretika dalam kehidupan. 

Diskusi mengenai falsafah kehidupan pasca kematian tidak hanya menyoal jasmani ataupun ruh secara terpisah-pisah. Menurut filsuf Peter Geach, dialog mengenai kehidupan pasca kematian juga melibatkan penyatuan kembali jiwa 'ke dalam raga, seolah merekonstitusi sebuah persona dari orang yang sudah tiada' sebab hanya melalui perbincangan ini, kita dapat memaknai nilai kehidupan; melanjutkan hidup; ataupun menjalani kehidupan sekali lagi.

Ada pula pandangan menarik dalam diskusi kehidupan pasca kematian ini yang menyimpulkan bahwa resureksi adalah peristiwa yang menandakan terputusnya lingkaran reinkarnasi (Abdulla Galadari, 2012). Menurutnya, kematian dan kehidupan dalam agama Abrahamik berbicara tentang jiwa atau ruh -yang ketika jasadnya mati, jiwa akan tetap berada di tanah kematian, mengalami penghakiman dan penyiksaan berulang-ulang hingga akhirnya beresureksi dan menjalani kehidupan di tempat akhirnya. 

Sementara dalam ajaran seperti Hindu dan Buddha, kematian berbicara tentang raga -yang memungkinkan jiwa tetap hidup dan berpindah raga untuk memulai kehidupan baru. Namun ada kesamaan pandangan dalam kepercayaan-kepercayaan ini, yakni bahwa kehidupan (atau dunia) adalah sebuah ilusi sebab manusia tidak bisa melihat kebenaran di baliknya.

Oleh karenanya, pesan yang tertanam dalam peristiwa penyaliban Yesus di Golgotha, dan pengorbanan hewan dalam Islam misalnya, sebetulnya adalah simbol membinasakan diri (ego) yang menjadi sumber kesukaran manusia untuk melihat kebenaran. Kematian ego inilah yang menandakan terputusnya roda Samsara (reinkarnasi) dan siklus penderitaan. 

Penyaliban Yesus Kristus di Golgotha juga merupakan gambaran peristiwa terputusnya roda Samsara melalui ketulusan pengorbanan dengan menyalibkan ego dan meyerahkan diri kepada kehendak Tuhan. Sebagaimana umat Kristiani percaya bahwa jiwa manusia mewarisi dosa Adam, maka dengan penyaliban ego itulah, jiwa dapat beresureksi ke dalam raga (Abdulla Galadari, 2012).

--Sedikit Glosarium
Carl Gustav Jung membagi tingkat jiwa manusia berdasarkan kedalaman kesadaran seseorang, termasuk di antaranya: ego, persona, dan diri (self).
*Ego: adalah pusat kesadaran yang juga berperan penting dalam menentukan persepsi, perasaan, pikiran, dan ingatan.
*Persona: adalah sisi kepribadian yang mencerminkan gambaran yang ingin ditunjukkan manusia kepada dunia.
*Diri (self): adalah kesadaran atau persepsi kepribadian seseorang tentang dirinya sendiri.

Selamat memperingati Kenaikan Yesus Kristus / Isa Almasih
21 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun