Kumatikan kompor, menjeda aktifitas masak, dan menghadap wajah-wajah mungilku.
“Maaf,” hanya itu yang bisa kuucapkan kemudian menenggelamkan mereka dalam pelukanku.
“Kalian boleh ketemu ayah tapi untuk sementara ibu tidak bisa menemani. Pasti sulit tapi kalian akan terbiasa. Ayah dan ibu menyayangi kalian.”
“Kalau begitu kami tidak usah ketemu ayah. Gak seru jalan-jalan tanpa ibu.” ucap si sulung.
Kuurai pelukanku. Sambil tersenyum aku berkata,”Sok tahu. Kan belum dicoba.”
“Sana bilang sama ayah. Jangan sampai ayah berpikir ibu melarang kalian bertemu.”
“Tapi… . “
“Tidak ada tapi… . Ibu baik-baik saja.”
“Oke.” Mereka berdua mengangkat tangan membuat bulatan dengan jari telunjuk dan ibu jari. Sesaat kemudian, terdengar racau suka mereka bercengkrama dengan orang yang membuat mereka hadir di dunia.
Aku tersenyum, kembali menghadap kompor, melanjutkan yang tertunda sambil menekan rasa yang entah bagaimana lukisannya. Semua tak sama lagi. Harus bisa mendikte tanpa merasa terabaikan. Tawa memanipulasi rasa seolah baik-baik saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H