Mohon tunggu...
Hanik Mardiyah
Hanik Mardiyah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah cara mudah untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasa Itu....

29 Februari 2024   19:42 Diperbarui: 29 Februari 2024   20:34 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awan tak selalu hujan seperti tawa tak selalu mewakili bahagia. Tawa memanipulasi rasa seolah baik-baik saja. Bukan tanpa alasan aku bertahan di sekolah ini. Mungkin, orang lain menganggapku tak punya muka tapi aku berlalu saja. Apapun tentangku hanya aku yang tahu. Mereka yang mencibir ku belum tentu bisa memainkan peranku. 

Ku tutup lembar terakhir file word di layar laptopku. Beberapa saat kemudian indikator laptopku perlahan menghilang. Meski usang, aku enggan menukarnya. Dia telah sangat kuat bertahan dengan ku. Mungkin ini tidak adil untuknya dan untukku tapi bagaimana lagi, aku masih sayang. 

Langit tidak baik-baik saja. Awan berarak mencari posisi untuk runtuh ke bumi. Aku harus segera tiba di rumah. Namun, Tuhan berkata lain. Aku terjebak di parkiran yang lengang tanpa jas hujan. Hanya satu pilihan, menunggu hujan reda. 

Ku dekap erat tas usang yang ku suka karena hanya itu yang ku punya. Aku tak akan menggantikannya selama ia masih bisa melindungi segala perlengkapanku. Mungkin aku jahat karena tidak memberinya waktu istirahat. Aku terlalu menyayanginya. Aku membawanya ke mana saja. Aku terlanjur nyaman memakainya. 

Gerimis mengusir derasnya hujan. Ku ulurkan tanganku untuk mengukur kebasahan bila aku menembusnya. Pertimbangan ku hanya satu, tas dan isinya. Bukan tubuhku yang tidak berisi bahkan terkesan kurang gizi. 

Dua puluh menit telah berlalu. Aku mulai resah. Aku harus segera pulang. Ku lepas jaket dan memakainya lagi. Kupastikan tas dan isinya terlindung di dalamnya. Erat menempel pada tubuhku seperti kamu yang melepas rindu pada kekasihmu. 

Kudorong pintu yang tak erat menyatu. Sunyi. Tangan-tangan mungil milikku belum pulang mengaji. Sepertinya mereka berangkat sebelum hujan, payung bergantung manis di tempatnya. Detak jarum di dinding menyisakan waktu 30 menit sebelum waktunya pulang mengaji. Masih ada waktu untuk membersihkan diri. 

Perlahan ku letakkan tas kesayanganku. Sepertinya, dia sangat bahagia setelah menahan napas dalam jaket penuh aroma pengapku. Aku tersenyum. Perlahan kuusap permukaannya yang telah memudar. “Terima kasih,” gumamku manis. Ku pastikan laptop dan perlengkapan lainnya aman dari percikan air. 

Tiga puluh menit telah bergeser. Secepat mungkin ku basuh aroma lengket pada tubuhku. Hanya sepuluh menit. Ya… cukup segitu saja agar aku sempat memasukkan nasi ke dalam panci dan segera menanaknya. Aku tak punya magic com seperti para ibu pada umumnya. Setelah sekian drama magic com, akun memutuskan menanak nasi manual. 

Aku menghela nafas lega. Ku raih payung segera. Hujan masih berpelukan erat. Ku angkat kain panjangku agak tinggi agar tidak terpercik air hujan. Tumpukan cucian di keranjang menghadiahkan melodrama tak berkesudahan. Matahari jadi puteri malu, main petak umpet bikin pakaian awet nangkring di jemuran tak peduli panjangnya antrian. 

Dari seberang jalan ku lihat dua gadis kecilku berdiri di teras masjid yang sudah lengang. Aku melambaikan tangan kemudian menghampiri mereka. Kami berdesakan di bawah payung, menapaki trotoar basah perlahan. Kain panjang yang sedianya tidak masuk bak cucian tak bisa kupertahankan  lagi, basah di sana sini. 

“Ibu lama jemputnya,” si bungsu merajuk. 

“Iya. Maaf,” ucapku sambil memamerkan gigi ku yang tak putih. 

“Kalian langsung ganti baju,”perintahku sambil berlalu ke dapur. 

“Ibu, ayah telepon. Boleh diterima, Bu” teriak mereka bersamaan. 

“Boleh,”  teriakku. 

“Ibu ayah minta ketemu. Boleh?,” pertanyaan yang sudah kuduga lirih di belakangmu. 

“Kapan?” tanyaku tertahan. 

“Minggu besok. Ayah mau main ke sini,” ucap si bungsu semangat. 

“Jangan di rumah. Minta ayah jalan-jalan.” Ucapku memutuskan. 

“Kenapa, Bu?”

“Bisa timbul fitnah. Ibu dan ayah sudah bercerai. Tidak bisa seperti dulu lagi. Ayah datang untuk kalian, bukan ibu.” Tanpa sadar, aku berbicara terlalu panjang. 

Kumatikan kompor, menjeda aktifitas masak, dan menghadap wajah-wajah mungilku. 

“Maaf,” hanya itu yang bisa kuucapkan kemudian menenggelamkan mereka dalam pelukanku. 

“Kalian boleh ketemu ayah tapi untuk sementara ibu tidak bisa menemani. Pasti sulit tapi kalian akan terbiasa. Ayah dan ibu menyayangi kalian.”

“Kalau begitu kami tidak usah ketemu ayah. Gak seru jalan-jalan tanpa ibu.” ucap si sulung. 

Kuurai pelukanku. Sambil tersenyum aku berkata,”Sok tahu. Kan belum dicoba.”

“Sana bilang sama ayah. Jangan sampai ayah berpikir ibu melarang kalian bertemu.”

“Tapi… . “ 

“Tidak ada tapi… . Ibu baik-baik saja.”

“Oke.” Mereka berdua mengangkat tangan membuat bulatan dengan jari telunjuk dan ibu jari. Sesaat kemudian, terdengar racau suka mereka bercengkrama dengan orang yang membuat mereka hadir di dunia. 

Aku tersenyum, kembali menghadap kompor, melanjutkan yang tertunda sambil menekan rasa yang entah bagaimana lukisannya. Semua tak sama lagi. Harus bisa mendikte tanpa merasa terabaikan. Tawa memanipulasi rasa seolah baik-baik saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun