Mohon tunggu...
Hanik Mardiyah
Hanik Mardiyah Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis adalah cara mudah untuk berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Antara Jakarta - Surabaya (1)

26 November 2023   08:00 Diperbarui: 26 November 2023   08:01 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menunggu adalah hal yang paling ku hindari tetapi kadang aku tak punya pilihan. Saat ini, aku, Aryo Singgih Prasetyo harus menunggu kereta api Jayakarta Jakarta - Gubeng. Iseng, jariku menggeser notifikasi google foto. Aku tersenyum melihat foto-foto masa SMK hingga tanganku berhenti pada satu foto. Aku dengan toga berpose di samping perempuan paruh baya. Aku memanggilnya Bu Lyn. Beliau bukan guru idolaku. 

Pada hari itu, ku lihat Bu Lyn yang berdiri agak jauh dari para guru yang sedang berfoto bersama murid-muridnya. Bu Lyn memang berbeda. Bila para ibu guru gemar tampil cantik. Bu Lyn terlihat nyaman dengan tampil apa adanya. Aku mendekati beliau dan meminta salah satu temanku untuk mengambil gambar kami. Beliau mengikuti gaya lucu ku seperti seorang ibu kepada anaknya. Aku tersenyum melihat hasil jepretan temanku. Ku posting salah satunya dengan caption "penuh inspirasi".

Ternyata tidak hanya aku yang mau berfoto dengan beliau. Alhasil, gerombolan kami dibubarkan karena acara hendak dimulai. Tampak jelas dalam ingatanku senyumnya mengembang ikhlas. Senyum yang menahan embun di netra melepas kami semua. 

Peluit kereta api menyentak lamunanku. Tak menunggu lama, aku bergegas masuk gerbong, mencari tempat duduk dan mengambil posisi ternyaman. Butuh waktu 14 jam untuk sampai di kota kelahiranku.

Kereta Jayakarta mulai bergerak. Beberapa penumpang masih lalu lalang mencari bangku mereka. Di sebelahku seorang gadis berhijab bersandar dengan terpejam. Langit temaram jingga. Maghrib telah tiba. Aku bersiap menghadap sang pencipta. Hingga aku selesai, gadis di sebelahku masih terpejam. Ku sentuh lengannya pelan. 

"Sudah maghrib, Mbak. Barangkali mau sholat dulu," ucapku saat melihatnya membuka mata. 

"Makasih, saya lagi haid," jawabnya singkat. 

Aku tersenyum simpul, memasang earphone mengambil posisi ternyaman untuk tulang punggungku. Alunan musik 'Maha Guru' memenuhi gendang telingaku, membawaku pada sosok yang barusan kulihat.

Pagi itu aku tergesa-gesa, beberapa menit lagi bel berbunyi. Namun, langkahku spontan berhenti. Bu Lyn tiba-tiba berhenti dan menunduk tepat di depanku. Sesaat kemudian beliau menghampiri tempat sampah dan kulihat bungkus permen terlepas dari tangan beliau. "Dasar kurang kerjaan," umpat ku dalam hati. 

Namun, umpatan itu spontan terhapus dari benakku setelah mendengar cerita beliau di satu sesi pelajaran. 

"Suatu hari kami, para guru melakukan kunjungan industri ke sebuah perusahaan rekanan sekolah. Salah satu pengawas pabrik menyentil kami dengan kalimatnya yang cukup menohok. Ia mengatakan bahwa para guru hanya perlu membentuk karakter murid-murid. Urusan akademis, bukanlah hal utama di perusahaan mereka. Bukan tanpa alasan ia mengatakan hal itu. Perusahaan tersebut pernah mengalami pembatalan kontrak kerja karena investor yang sedang mengunjungi pabrik mereka melihat bungkus permen tercecer di antara mesin produksi."

Bu Lyn tidak hanya mengingatkan dan menghukum seperti guru-guru pada umumnya melainkan memberi teladan dalam keseharian. 

Bu Lyn bukan guru idolaku. Bahkan aku tidak menyukai mata pelajarannya, Bahasa Indonesia karena aku merasa tidak memiliki bakat tulis menulis. Namun, entah mengapa, kalimat-kalimat beliau begitu melekat dalam benak dan pikiranku. 

"Selesaikan tugas sekolah di sekolah. Tidak baik membawa pekerjaan ke rumah. Istri kalian pasti tidak menyukainya." 

Kalimat macam apa itu? Bahkan saat itu kami masih belasan tahun. Belum terpikir untuk berumah tangga. 

"Apa yang kalian lakukan hari ini, bisa menjadi kebiasaan. Menunda-nunda pekerjaan bukanlah hal yang baik."

Begitulah Bu Lyn memikirkan masa depan kami. Kalimatnya selalu membuat kami tersihir. Seratus persen bahkan seribu persen kata-kata beliau benar.

Kalimat beliau membuatku berjibaku menyelesaikan setiap tugas dari dosen tepat waktu. Bahkan, kadang aku menyelesaikan tugas sebelum waktunya. Aku melakukannya bukan tanpa alasan. 

Aku pernah mengalami kejadian tak terduga, tinta printer ku habis padahal tugas harus dikumpulkan besok. Akhirnya aku terlambat menyerahkan tugas. Karena kecerobohanku itu, aku harus merayu dosen agar mendapatkan nilai lulus. Butuh tenaga ekstra karena tidak ada yang cuma-cuma. Namun, itu lebih baik dari pada mengulangnya.

Suatu hari, beliau mengawali hari dengan membagikan stiky note. Beliau meminta kami untuk menulis akan anggota keluarga yang paling kami sayangi, mengapa kami menyayanginya, dan perbuatan kami yang paling disukainya dan bencinya. Beberapa teman protes termasuk aku tetapi beliau keukeuh.

Bukan tanpa alasan aku menolaknya. Aku bukan dari keluarga yang harmonis. Permintaan Bu Lyn bukan hal yang mudah buatku. Selama ini, aku merasa sendirian. Namun, permintaan Bu Lyn hari itu telah menyadarkan aku, bahwa masih ada ayah dan ibu yang menyayangiku meskipun mereka tak lagi dalam satu ikatan pernikahan. Sejak saat itu aku berusaha berdamai dengan kenyataan. 

Bu Lyn bukan guru idolaku. Beliau yang selalu masuk kelas lebih awal kemudian meminta kami merapikan meja kursi, meluruskan dengan garis batas pada lantai kelas dan meminta kami memenuhi bangku depan. Bangku yang selalu kami hindari. Begitupun ketika pulang, beliau meminta kami menata meja dan kursi sesuai garis batas yang ada.

Bahkan beliau memeriksa hingga baris belakang. Salah satu temanku mengatakan beliau menderita syndrom perfeksionis. 

Kekhasan Bu Lyn itu terjawab saat aku magang di salah satu perusahaan. Di sana aku lihat rambu-rambu yang harus dipatuhi semua karyawan. Semua mesin produksi tertata rapi pada tempatnya sesuai batas-batas yang ada. Bu Lyn, bukan guru mata pelajaran produktif namun Bu Lyn menyiapkan kebutuhan kami untuk menghadapi hidup. 

Seperti apa Bu Lyn sekarang? Apakah beliau masih mengajar? Apakah beliau senang bila mendapat kabar aku telah diterima bekerja di sebuah perusahaan suku cadang ternama di Indonesia? Aku harus bertemu beliau. 

Gadis berhijab di sebelahku menggeliat, mencari posisi duduk lebih nyaman. Sebuah buku jatuh di pangkuannya, tepat di sebelah kakiku. Ku raih buku itu. Sebuah buku dengan sampul berwarna hijau dengan kombinasi biru. Ekor mataku menangkap sebuah nama "Arlyn Aditya". Kubaca bio narasinya.

"Salah satu impian terbesar saya adalah menerbitkan buku dan best seller." Kalimat itu tiba-tiba mengiang di telingaku. Ku amati sampul dan kutemukan logo best seller. Mataku mengembun. Semakin besar keinginanku untuk bertemu dengan Bu Lyn.

Gadis berhijab di sampingku mengerjap kemudian membenarkan posisi duduknya. 

"Turun di mana, Mbak?" tanyaku sambil menyerahkan bukunya. "Tadi, jatuh," tambahku."

"Terima kasih," jawabnya singkat. 

"Turun di mana?" kuulangi pertanyaanku. 

"Gubeng," jawabnya pendek sambil menatapku curiga. 

"Saya juga turun di Gubeng. Nama saya Aryo. Mbak?" ucapku memperkenalkan diri. 

"Alisha," jawabnya membiarkan tanganku menggantung diudara. 

"Bukunya bagus?" tanyaku iseng. 

"Kalau ndak bagus, ndak bakal best seller," jawabnya klasik. Aku tersenyum menyadari kebodohanku. Tiba-tiba gawai Alisha bergetar. 

"Alisha masih di kereta, Mas. Nanti kalau sampai Gubeng Alisha kabari atau Alisha naik ojek saja. Mas Na nggak usah jemput. Alisha bukan anak kecil lagi, Mas. Oke. Oke. Nanti, Alisha kabari." Kulihat Alisha memasukkan gawainya ke dalam tas. 

"Sudah punya pacar?" Entah mengapa aku tergelitik untuk bertanya. 

"Kakak. Diminta ibu menjemput. Ibu selalu begitu," ucapnya dengan nada tak suka. 

"Namanya orang tua pasti khawatir. Apalagi anaknya semanis Mbak," ucapku jail.  Di luar dugaannku, Alisha menatapku tak suka. 

"Kenal sama penulis buku itu?" tanyaku mengalihkan pertanyaan. 

"Ini?" Alisha balik bertanya sambil mengacungkan buku di tangannya. Aku hanya mengangguk. 

"Ini salah satu buku yang telah ditulis ibu. Setiap kata rasanya mak nyeess di hati. Setiap aku merasa sendiri, aku selalu baca ini." Alisha mendekap bukunya erat. 

"Ibu?" tanyaku. Alisha mengangguk.

"Arlyn Aditya, panggilan viralnya Bu Lyn. Mas kenal ibuku?" Aku tak menjawab tetapi menunjukkan foto kami.

"Benar, ini ibu. Mas muridnya ibu?" Aku mengangguk. "Mas, orang Gresik? Setahuku ibu hanya mengajar di satu sekolah swasta saja. Bahkan setelah menyelesaikan S2, ibu menolak jadi dosen," ungkapnya panjang lebar.

"Mau mampir ke rumah? Ibu pasti senang." Tawaran Alisha mengejutkan ku. Begitu mudahnya Allah mewujudkan niat baikku untuk menemui guruku.

"Boleh," jawabku cepat khawatir gadis manis di sebelahku berubah pikiran.

"Wait," ucap Alisha. Ia mengambil gawai di tas kemudian mengarahkan kamera ke arahku dengan aba-aba,"smile." Aku spontan tersenyum. 

"Boleh minta nomer whatsapp?" Aku mengangsur gawaiku. Alisha memindai kode QR yang telah terpampang pada layar gawai. 

"Terima kasih." Tanpa melihatku Alisha berucap. Detik-detik berikutnya ia sibuk dengan gawainya.

Alisha memintaku mengirimkan fotoku dengan Bu Lyn. Sepertinya dia mengabari kakak atau ibunya. Kutarik bibirku melihat jemarinya melompat-lompat lincah di atas gawai dengan aneka hiasan hello kitty. Mengabaikan cowok setampan aku. 

"Mas boleh mampir ke rumah," ucapnya dengan tersenyum lebar. Aku mengernyitkan dahi. Ucapannya memecah perhatianku.

"Biar ibu nggak khawatir lagi," jelasnya. 

"Memang Bu Lyn masih ingat…?"

"Masih. Ibu kenal kok sama Mas Aryo," potong nya. 

Eh… Alisha kok lancar mengucap namaku. Bukannya tadi cuek bebek. Kenapa aku menjadi senang. Aku seperti bujang yang sedang jatuh cinta. Kuusap wajahku sembarangan untuk menetralisir perasaanku.

Sisa perjalanan berlalu dengan cepat. Alisha gadis yang menyenangkan dan supel. Dia bisa mengimbangi hal-hal yang aku bicarakan.

Eh… kenapa aku mikir begitu? Apakah efek dari lama ngejomblo? Bolehkah aku menjadi penjaga putri Bu Lyn? Duuh… bertemu Bu Lyn aja belum. Bisa-bisanya otakku slengean. 

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun