Bahkan beliau memeriksa hingga baris belakang. Salah satu temanku mengatakan beliau menderita syndrom perfeksionis.Â
Kekhasan Bu Lyn itu terjawab saat aku magang di salah satu perusahaan. Di sana aku lihat rambu-rambu yang harus dipatuhi semua karyawan. Semua mesin produksi tertata rapi pada tempatnya sesuai batas-batas yang ada. Bu Lyn, bukan guru mata pelajaran produktif namun Bu Lyn menyiapkan kebutuhan kami untuk menghadapi hidup.Â
Seperti apa Bu Lyn sekarang? Apakah beliau masih mengajar? Apakah beliau senang bila mendapat kabar aku telah diterima bekerja di sebuah perusahaan suku cadang ternama di Indonesia? Aku harus bertemu beliau.Â
Gadis berhijab di sebelahku menggeliat, mencari posisi duduk lebih nyaman. Sebuah buku jatuh di pangkuannya, tepat di sebelah kakiku. Ku raih buku itu. Sebuah buku dengan sampul berwarna hijau dengan kombinasi biru. Ekor mataku menangkap sebuah nama "Arlyn Aditya". Kubaca bio narasinya.
"Salah satu impian terbesar saya adalah menerbitkan buku dan best seller." Kalimat itu tiba-tiba mengiang di telingaku. Ku amati sampul dan kutemukan logo best seller. Mataku mengembun. Semakin besar keinginanku untuk bertemu dengan Bu Lyn.
Gadis berhijab di sampingku mengerjap kemudian membenarkan posisi duduknya.Â
"Turun di mana, Mbak?" tanyaku sambil menyerahkan bukunya. "Tadi, jatuh," tambahku."
"Terima kasih," jawabnya singkat.Â
"Turun di mana?" kuulangi pertanyaanku.Â
"Gubeng," jawabnya pendek sambil menatapku curiga.Â
"Saya juga turun di Gubeng. Nama saya Aryo. Mbak?" ucapku memperkenalkan diri.Â