"Alisha," jawabnya membiarkan tanganku menggantung diudara.Â
"Bukunya bagus?" tanyaku iseng.Â
"Kalau ndak bagus, ndak bakal best seller," jawabnya klasik. Aku tersenyum menyadari kebodohanku. Tiba-tiba gawai Alisha bergetar.Â
"Alisha masih di kereta, Mas. Nanti kalau sampai Gubeng Alisha kabari atau Alisha naik ojek saja. Mas Na nggak usah jemput. Alisha bukan anak kecil lagi, Mas. Oke. Oke. Nanti, Alisha kabari." Kulihat Alisha memasukkan gawainya ke dalam tas.Â
"Sudah punya pacar?" Entah mengapa aku tergelitik untuk bertanya.Â
"Kakak. Diminta ibu menjemput. Ibu selalu begitu," ucapnya dengan nada tak suka.Â
"Namanya orang tua pasti khawatir. Apalagi anaknya semanis Mbak," ucapku jail. Â Di luar dugaannku, Alisha menatapku tak suka.Â
"Kenal sama penulis buku itu?" tanyaku mengalihkan pertanyaan.Â
"Ini?" Alisha balik bertanya sambil mengacungkan buku di tangannya. Aku hanya mengangguk.Â
"Ini salah satu buku yang telah ditulis ibu. Setiap kata rasanya mak nyeess di hati. Setiap aku merasa sendiri, aku selalu baca ini." Alisha mendekap bukunya erat.Â
"Ibu?" tanyaku. Alisha mengangguk.