da yang berasumsi gagasan untuk memilik kementerian kebudayaan itu karena berbagai persoalan terkait rebutan "klaim budaya"--seperti sejumlah polemik saling klaim antara Malaysia dan Indonesia terhdap beberapa warisan kebudayaan, seperti tari piring, tari pendet, tari tor-tor, angklung, batik, alat musik gordang sambilan, hingga kuda lumping.
Jika wacana pemisahan antara Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan terealisasi, apa dampak paling krusial yang akan timbul?. Apakah akan meluruskan banyak masalah seperti klaim budaya tersebut?.
Mengapa sampai ada ide "perceraian institusi itu", apakah mereka sudah dianggap tidak lagi punya komitmen yang sama, atau karena perbedaan prinsip sehingga harus menjalani kehidupannya sendiri-sendiri, atau karena tuntutan kebudayaan yang makin kompleks sehingga harus ditangani secara terpisah?.
Atau ada persoalan genting bahwa selama ini telah terjadi tumpang tindih kewenangan sehingga menciptakan persoalan baru, dan jika Kementerian Kebudayaan lebih mandiri berpotensi lebih memajukan seni tradisional Indonesia, kemajuan budaya Indonesia, termasuk pelestarian bahasa daerah dan budaya lokal?.
Atau ada hal yang lebih krusial lagi, karena wacana ini juga terkait dengan tujuan berkelanjutan dalam pengembangan budaya Indonesia?. Terutama terkait kebijakan dan implementasinya di lapangan, seperti: Ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan implementasinya di tingkat daerah, terutama tidak selarasnya kebijakan dengan nilai dan norma budaya masyarakat.
Demikian juga menyangkut ketidaksesuaian antara kurikulum nasional dan kebutuhan lokal atau budaya. Dimana kurikulum pendidikan, yang tidak mencakup atau menghargai keberagaman budaya lokal.
Persoalannya lainnya juga mencakup kesenjangan akses pendidikan, tidak meratanya akses pendidikan di berbagai wilayah atau kelompok budaya. Serta kurangnya perhatian terhadap pendidikan non-formal yang mungkin lebih sesuai dengan budaya tertentu. Termasuk dalam konteks bahasa dan sastra, tidak memadainya dukungan untuk pengembangan bahasa daerah atau sastra lokal, serta pengabaian pentingnya melestarikan dan mengembangkan bahasa dan budaya daerah.
Termasuk yang tidak bisa diabaikan setelah munculnya berbagai kasus seperti --rebutan kepemilikan hak atas sebuah budaya ikonik, pencuria hak cipta dan hak milik budaya.
Pada dasarnya pendidikan dan budaya merupakan dua aspek penting dalam pembentukan dan perkembangan suatu negara. Keduanya punya dampak besar, termasuk pengaruhnya pada perkembangan sosial, ekonomi, dan identitas nasional.
Sehingga ada pihak yang berpandangan memang sebaiknya Kementerian Kebudayaan berdiri terpisah dari Kementerian Pendidikan, begitu juga yang berkeyakinan akan lebih baik jika keduanya tetap bersatu dalam satu entitas pemerintah. Butuh argumen dan solusi kritis untuk bisa menjelaskan apa urgensinya pemisahan Kementerian Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan.
Alasan Logis Pemisahan
Salah satu pemikiran krusial dalam memisahkan Kementerian Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan adalah memungkinkan fokus yang lebih mendalam pada upaya pemeliharaan, pengembangan, dan promosi budaya. Kementerian Kebudayaan akan bisa lebih efisien mengurus masalah kebudayaan, tanpa harus bersaing dengan prioritas pendidikan.
Kementerian Pendidikan sering melahirkan kebijakan dan program yang mengedepankan hal-hal terkait pendidikan formal, sementara masalah budayanya seringkali justru menjadi hal yang terpinggirkan.
Nah, dengan pemisahan tersebut, persoalan tersebut akan mendapatkan solusinya, Kementerian Kebudayaan akan bisa lebih bebas mengembangkan inisiatif budaya yang lebih terfokus dan menjadi lebih strategis. Alasan yang sangat logis dan masuk akal.
Bahwa Kementerian Kebudayaan juga perlu berperan sebagai wadah advokasi budaya yang lebih kuat. Beberapa persoalan budaya di Indonesia, seperti pelestarian bahasa daerah, seni tradisional, dan warisan budaya, seringkali terpinggirkan dalam program pendidikan formal.
Pemisahan ini akan memungkinkan Kementerian Kebudayaan untuk lebih fokus pada upaya advokasi dan perlindungan budaya, serta memastikan bahwa budaya-budaya lokal dan warisan nasional dihormati dan dipromosikan.
Sedangkan yang pro berkayakinan bahwa perbaikan manajemen adalah solusi, bukan pemisahan institusi. Dan pemisahan justru akan berkonsekuensi pada alokasi dana yang bertambah besar. Satu kementerian akan membuat pemerintahan lebih ramping daripada tambahan satu kementerian yang makin menambah "gendut " institusi dan makin panjang rantai koordinasinya.
Namun jika pilihan telah sampai pada pemisahan, jelas membutuhkan komitmen yang serius agar tidak menjadi masalah baru menjadi semacam formalitas belaka atau menjadi ruang kepentingan politik yang baru.
Siapa yang lantas layak menjadi nakhkodanya--apakah seperti biasa, kriteria menteri terpilih didasarkan pada pilihan atau kebijakan presiden dengan mempertimbangkan sisi politis atas dasar kebutuhan partai-partai penyokongnya, atau memilih sosok dari para cendekia atau ilmuan yang punya kapasitas dalam bidang budaya?.
Dalam kerangka memahami berbagai persoalan budaya hingga ke dalam seluk beluknya, tidak cukup mengandalkan seorang "awam" dari partai yang disokong oleh konsultan yang mahir soal budaya.
Kita membutuhan Menteri dengan pola pikir yang memang dari sananya telah memahami bagaimana detail persoalan budaya, apa yang menjadi masalah utama dan apa hal krusial yang perlu mendapatkan perhatian atau solusi berdasarkan skala prioritasnya.
Sehingga sangat penting memilih individu yang memiliki pemahaman mendalam tentang budaya Indonesia dan memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan tugasnya. Sosok yang cocok untuk peran ini harus memiliki latar belakang dan pengalaman yang relevan dalam bidang budaya.
Mereka juga harus memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk komunitas budaya, seniman, ilmuwan budaya, dan pihak swasta.
Dengan latar belakang dan formalitas yang mungkin penuh basa-basi--jika nantinya yang dipilih demi alasan politis saja, kita kuatir akar persoalan tetap tidak akan menemukan solusi terbaiknya.
Memang sulit untuk menyebut nama, namun berbagai catatan itu penting menjadi dasar pemikiran, siapa yang layak menduduki jabatan baru tersebut.
Akan banyak transisi di dalamnya dalam perubahan baru yang --katakanlah mendadak ini. Karenanya sosok calon Menteri Kebudayaan harus memiliki visi yang jelas tentang bagaimana budaya Indonesia dapat berkembang dan menjadi lebih kuat.
Calonnya harus mampu mengidentifikasi masalah-masalah utama dalam bidang budaya dan merancang solusi yang efektif. Kemampuan kepemimpinan dan kemauan untuk bekerja sama dengan berbagai pihak akan sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai tantangan budaya di Indonesia.
Masalah Krusialnya Apa?
Dalam beberapa kasus serangan atas identitas dan hak kepemilikan seni dan kebudayaan kita, sehingga beberapa ikon budaya dan tradisi di caplok oleh pihak lain, kita seolah tidak berdaya untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan itu.
Bisa jadi benar,karena budaya hanya menjadi bagian dalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kita sehingga fokusnya menjadi terbelah.
Dan ini menjadi salah satu celah yang mudah diterobos dan diintervensi oleh anasir luar yang berkeinginan merebut dengan memanfaatan situasi dan kondisi ini. Perebutan kepemilikan Reog--sebagai salah satu budaya ikonik khas Jawa Timur telah lama menjadi salah satu persoalan yang membuat kita sakit kepala.
Belum lagi lagu "Rasa Sayange" yang diklaim pihak luar sebagai karya dan hak cipta mereka. Itu baru sedikit dari banyak persoalan yang mungkin akan muncul perlahan jika dibiarkan atau kita abai menjaga dan menyelamatkannya.
Persoalan krusial lain yang dikuatirkan dan perlu diatasi oleh Kementerian Kebudayaan juga berkaitan dengan banyak isu penting; Pertama; Pelestarian Bahasa Daerah. Apa pentingnya menyelamatkan sebuah bahasa daerah yang punah--toh tidak ada lagi yang membutuhkan dan menggunakannya?.
Pertanyaan itu sangat logis muncul. Apalagi jika dikaitkan dengan asumsi, semakin banyak bahasa akan semakin menyulitkan komunikasi.
Dalam bukunya berjudul Language Revitalization: an Overview, Leanne Hinton juga kembali menuliskan pertanyaan-pertanyaan itu dan berusaha merumuskan jawabannya.
Salah satu jawabannya adalah terkait persoalan akses terhadap pengetahuan. Ilmu pengetahuan selalu disampaikan lewat bahasa, tertulis ataupun tidak tertulis. Ilmu pengetahuan itu bisa apa saja, bisa tentang gejala alam, tentang sejarah, penemuan, obat-obatan, atau bahkan cerita-cerita kuno.
Punahnya satu bahasa berarti membawa serta semua peradaban yang terkait dengan bahasa itu. Itu artinya, ada pengetahuan yang hilang bersamanya. Alasan lain yang membuat keberagaman bahasa perlu dijaga adalah untuk memperkaya kosa kata bahasa-bahasa itu sendiri.
Ada sebuah penelitian menarik berkaitan dengan garis yang membentuk semacam parit di antara hidung dan mulut kita. Apa sebutannya dalam bahasa kita?. Dalam bahasa kedokteran, sering disebut filtrum, berasal dari Bahasa Latin, Philtrum, dan bahasa Indonesia tidak memiliki kosa kata tersebut.
Namun orang Minang biasa menyebutnya “oreng”. Sehingga kosa kata itu bisa menjelaskan nama misteriusnya, meskipun berasal dari bahasa daerah. Dan jika bahasa Minang punah, maka kita akan kehilangan salah satu kosakata tersebut. Itu sebuah contoh sederhana menjelaskan bagaimana pentingnya sebuah bahasa dipertahankan.
UNESCO mengestimasi, jika tak ada tindakan apa-apa, setengah dari 6.000 bahasa yang dipakai di dunia akan hilang hingga akhir abad ini. Dan upaya revitalisasi bahasa terbukti pernah berhasil di beberapa belahan bumi.
Di Jepang, Bahasa Ainu pernah sangat mendekati kepunahan karena dampak dari diabaikan dan diskriminasi atas kelompok pengguna bahasa ini. Barulah pada tahun 2008, Pemerintah Jepang akhirnya mengakui suku Ainu sebagai masyarakat adat Jepang.
Kasus lainnya dialami oleh Bahasa Kaurna di Australia Selatan, yang sudah dianggap punah dalam periode satu abad. Beruntungnya, bahasa tersebut terdokumentasikan dengan baik, sebagai alat untuk merevitalisasinya kembali.
Seperti pernah terjadi di Switzerland, Bahasa Romansch sempat menghadapi kondisi sulit karena dialeknya yang beragam dan sangat berbeda antara satu sama lain. Ia juga ditinggalkan generasi mudanya yang memilih bekerja di kota-kota berbahasa Jerman. Tahun 1980, Romansch Grischum mendapat status sebagai salah satu bahasa resmi kembali di Switzerland.
Dan di Indonesia yang kaya dengan bahasa lokal, kini tercatat 25 bahasa berstatus hampir punah, sementara 13 bahasa sudah dinyatakan punah. Solusi detailnya dapat dibaca di artikel Menyelamatkan Bahasa Agar Tak Punah
Kedua; Pengembangan Seni Tradisional, karena seni tradisional Indonesia memiliki ragam dan potensi besar, baik dalam hal ekonomi maupun identitas budaya. Kementerian Kebudayaan perlu berinvestasi dalam pengembangan dan promosi seni tradisional agar tetap relevan dan berkelanjutan.
Ketiga; Warisan Budaya, Banyak situs dan lokus warisan budaya Indonesia, seperti candi, arkeologi, dan kerajinan tradisional, perlu dijaga dan dilestarikan. Kementerian Kebudayaan dapat bekerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk melindungi dan mempromosikan warisan ini agar semakin dikenal dan tidak mudah diklaim pihak lain yang melihat peluang jika kita terus mengabaikannya.
Upaya menjaganya juga harus semakin terukur dan berhati-hati. Seringkali dalam peremajaan bangunan atau kota, hal-hal menyangkut situs sangat diabaikan dan hanya dianggap sebagai sebuah bangunan biasa, dan mengabaikan nilai-nilai dan warisan sejarah yang dimilikinya.
Keempat; Kekayaan Intelektual, Kementerian Kebudayaan harus mendukung hak kekayaan intelektual para seniman, penulis, dan budayawan. Ini akan mendorong kreativitas dan inovasi dalam budaya.
Kita tentu ingat dengan konflik lagu kebangsaan Malaysia, yang ternyata jika dirunut berdasarkan lagu ciptaan seorang komponis lagu asal Indonesia--yang kemudian di hadiahkan oleh Soekarno, lantas diadopsi menjadi lagu kebangsaan Mereka. Namun pengakuan itu ternyata menimbulkan konflik di belakang hari, dan hal itu tidak akan terjadi jika kita lebih serius dan hati-hati merawat hak intelektualnya.
Kelima; Edukasi Budaya, Kementerian Kebudayaan dapat berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya budaya dan nilai-nilai budaya Indonesia. Ini dapat dilakukan melalui program-program pendidikan dan kesadaran budaya. Saat ini kita semakin rutin mengekspose kebudayaan kita melalui momentum seremonial, dan hal itu menjadi salah yang patut kita apresiasi.
Keenam; Promosi Budaya Indonesia, Kementerian Kebudayaan perlu aktif dalam mempromosikan budaya Indonesia di tingkat nasional maupun internasional. Ini dapat melibatkan promosi seni, budaya, dan pariwisata. seperti juga bisa kita lihat dalam serial promosi budaya "Wonderful Indonesia" yang sangat luar biasa.
Target yang Terukur
Untuk mendorong capainnya Kementerian Kebudayaan perlu menetapkan target yang jelas dan terukur. Program pelestarian bahasa daerah dapat dilakukan dengan pengembangan lebih intens dalam pelatihan guru dan literasi.
Demikian juga untuk pengembangan seni tradisional, dengan mendorong pertumbuhan seni tradisional melalui dukungan keuangan, promosi, dan kolaborasi dengan seniman.
Mempromosikan kembali para seniman tua yang memiliki warisan seni luar biasa, memberikan penghargaan sebagai bentuk kepedulian dan apresiasi. Ini akan menstimulasi mereka untuk mewariskan seni tua kepada generasi berikutnya.
Dalam kaitan dengan warisan budaya, program yang harus didorong meliputi upaya mempromosikan dan melestarikan warisan budaya dengan mengembangkan museum, pusat dokumentasi, dan program pemeliharaan.
Dulu kasus museum musik Lokananta Indonesia yang terbengkalai pernah menjadi sorotan, dan kemudian di revitalisasi kembali untuk menjaga arsipnya, karena didalamnya menyimpan lagu asli Terang Bulan yang menjadi inspirasi lagu kebangsaan Malaysia.
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Menurut catatan Ayos Purwoaji dan Fakhri Zakaria, dari Rolling Stone, Lokananta menyingkap fakta unik tentang lagu ”Negaraku” yang kini menjadi lagu kebangsaan Malaysia. Lagu itu ternyata berasal dari gubahan lagu ”Terang Bulan” ciptaan Saiful Bahri, yang asli orang Indonesia.
Dalam arsip Lokananta, lagu berdurasi 11 menit 15 detik itu direkam di RRI Jakarta pada 1956 dan dipindahkan ke piringan hitam oleh Lokananta pada 16 Maret 1965. Penyanyinya adalah Orkes Studio Djakarta yang dipimpin oleh Saiful Bahri.
Kementerian kebudayaan harus mendorong penciptaan karya seni dan budaya baru dengan memberikan dukungan hukum dan ekonomi kepada para pencipta terkait masalah kekayaan intelektual, seperti HAKI-Hak Kekakyaan Intelektualnya.
Demikian juga dalam edukasi budaya, dengan meningkatkan kesadaran budaya melalui program-program pendidikan, seminar, dan kampanye publik yang lebih intens. Termasuk dengan promosi budaya Indonesia unutk meningkatkan visibilitas budaya Indonesia di tingkat nasional dan internasional melalui partisipasi aktif dalam festival budaya dan pameran seni.
Dengan pemisahan tersebut, paling tidak beberapa hal yang krusial akan menemukan solusi lebih baik, terutama karena pemisahan tersebut Kementerian Kebudayaan dapat memiliki fokus yang lebih mendalam terhadap pelestarian, pengembangan, dan promosi budaya. Tanpa harus bersaing dengan prioritas pendidikan.
Kementerian Kebudayaan dapat lebih efisien dalam menjalankan tugasnya. Dan memungkinkan Kementerian Kebudayaan untuk menjadi wadah advokasi budaya yang lebih kuat.
Hal ini penting untuk memperjuangkan hak-hak budaya, seperti pelestarian bahasa daerah, seni tradisional, dan warisan budaya. Dan menguatkan diplomasi budaya.
Dan yang tidak kalah penting tentu saja soal pengelolaan anggaran yang kan lebih terarah sumber dayanya untuk mendukung berbagai program budaya dan advokasi pada bidang-bidang yang membutuhkan perhatian lebih intensial karena masalahnya yang semakin krusial untuk mendapatkan penanganan.
Potensi Persoalan Baru yang Buruk
Ini penting menjadi kajian kita, karena dibalik kebijakan baru, paling tidak juga akan menyisakan atau memunculkan persoalan baru yang harus mendapatkan jalan keluarnya.
Kemungkinan terjadinya tumpang tindih wewenang antara Kementerian Kebudayaan dan Kementerian Pendidikan bisa menjadi persoalan. Perlu ada koordinasi yang baik antara keduanya agar tidak ada duplikasi program atau ketidakjelasan dalam tanggung jawab.
Demikian juga soal pengelolaan sumber daya, bagaimanapun pemisahan ini dapat berarti pembagian anggaran dan sumber daya yang lebih rumit antara dua kementerian. Pengelolaan sumber daya perlu dipantau dengan cermat untuk memastikan efisiensi dan efektivitas.
Kementerian Pendidikan harus tetap memiliki peran dalam memasukkan aspek budaya ke dalam kurikulum pendidikan, meskipun Kementerian Kebudayaan terpisah.
Tentu saja ini harus mendapat perhatian kita, agar harapan kita mendapatkan solusi lebih baik dalam soal kebudayaan, tidak terganjal hal-hal teknis dan menjadi bentuk persaingan baru antar kementerian--tapi jika urusannya lebih pada soal politis, rasanya kita harus angkat tangan--paling tidak hanya menjadi pengontrol dari luar. Karena untuk urusan ini ada yang lebih berwenang bersuara agar lebih bisa didengar.
referensi: 1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H