Mundurlah Atas Nama Kea- Dilan
Sebuah kritik kocak muncul di media menyuarakan sentilan rasa keadilan yang kalah yang muncul pada medio 2017 silam, gambar kritik dari Indonesia Coruption Watch (ICW) yang dibuat agar menarik perhatian.
Dilakukan menggunakan parodi film Dilan, sebuah film remaja yang populer di tanah air, sepertinya hampir mirip dengan situasi saat ini, ketika Ketua MK Anwar Usman dipersoalkan karena putusannya yang kemudian membuat keponakannya, Gibran Rakabumin Raka bisa melenggang ke posisi cawapres.
Lewat postingan instagram, divisualkan ketua MK ketika itu sedang berhadapan dengan sosok Dilan sedang naik motor jadul. Kemudian, dibubuhi caption 'Mundurlah atas nama keaDilan'. Yang lebih menarik, ICW juga menulis status ‘nyelekit’ khas rayuan gombal Dilan, dengan kalimat ’Mundur saja. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja’.
Ada-ada saja. Tapi bedanya kali ini Dilan-nya terus bisa tetap ngebut dengan motornya, tapi intinya bahwa keadilan itu kini makin murah harganya. Jika dulu harus dibeli dalam kemasan besar, kini telah dijual dalam versi sachetan--cuma seribuan!.
Kondisi Mahkamah Konstitusi (MK), dengan kerja luar biasanya sejak dua dasawarsa lalu, ternyata menjadi sia-sia kehilangan kepercayaannya karena ulag segelintir orang di dalamnya. Ibarat kemarau panjang dua dasawarsa, pada akhirnya pupus hanya oleh hujan sehari--atas kelahiran Putusan No 90/PUU XXI/2023 yang penuh kontroversi.
Dan sama sekali tidak mengubah keinginan para elite, yang telah berkehendak dengan keras kepala untuk maju. Politik memang makin menunjukkan ke-bebalannya.
Meskipun begitu panjang daftar kontroversinya, namun Jimly Asshiddiqie saja yang ditunjuk sebagai Ketua Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengatakan jika ia merasa tidak yakin.
Apakah hasil keputusan pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunan Keputusan 90 oleh Mahkamah Konstisusi (MK) jika terbukti akan bisa mempengaruhi keputusan maju mundurnya Gibran Rakabuming Raka dalam pencalonann sebagai cawapres. Badai politiknya lebih kencang berhembus daripada keinginan banyak orang untuk keadilan.
Dua pekan setelah pemeriksaan selesai diketok, MKMK hanya bekerja tidak kurang dari seminggu meskipun diberi waktu bekerja hingga 30 hari berdasarkan peraturan.
Barangkali jika itu terjadi, sementara tanggal 8 November 2023 adalah tenggat waktu pengusulan bakal pasangan capres-cawapres pengganti ke KPU RI. Maka putusan MKMK itu akan menjadi blunder belaka.
Bukan tidak mungkin akan ada gugatan baru untuk MKMK. Namun dengan pemeriksaan cepat, dan keputusan mendahului masa tenggat setidaknya akan menunjukkan bahwa MKMK tidak berpihak kepada salah satu pasangan capres-cawapres. Tapi apakah itu akan ada gunanya?.
Memang yang selama ini menjadi salah satu pertanyaan besar adalah, apakah lembaga MKMK dapat membatalkan peraturan MK?. Seandainya nantinya memang terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunananya.
Jangan-jangan rasa percaya diri ketua KPU sehingga sampai harus menyurati para Ketum Parpol terkait keputusan 90 mengindikasikan bahwa apapun keputusan MKMK tidak akan membuat keputusan MK bergeming.
Dan karena semangat itu pula artinya bahwa keputusan yang sarat dengan kepentingan itu memang tidak akan tergoyahkan. Lantas apakah keberadaan MKMK menjadi signifikan mangatasi kemelut atau lagi-lagi hanya menjadi formalitas?.
Jimly mengakui bahwa hal itu menjadi problem yang mestinya harus dijawab oleh MKMK. Meski menurutnya jika harus membatalkan keputusan MK merupakan sebuah langkah yang dilematis dan dianggap langkah sangat berani jika memang benar dilakukan. Itu artinya bahwa Jimly sendiri mengkuatirkan adanya konsekuensi-konsekuensi politisnya daripada sekedar urusan konstitusi.
Apakah jika memang terbukti gagal, independensi dan netralitas MKMK memang patut dipertanyakan sejak awal?. Mengapa MKMK mendadak dibentuk dan apakah kehadirannya bisa mewakili rasa keadilan publik?.
Meskipun tidak yakin tentang hal itu, Jimly mengatakan, " Harus dibuktikan, dari kami ebrtiga saya tidak tahu berapa yang sudah yakin, tapi saya belum begitu yakin soal itu". Jadi?.
Menurutnya bukti yang dimaksud dan dianggap masih meragukan adalah penjelasan salah satu pelapor Denny Indrayana yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM pada sidang pemeriksaan. Denny menganggap putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan putusan Nomor 90 tentang batas usia maksimum yang kontroversial tersebut.
Namun putusan MKMK bisa menajdi dasar untuk sidang pembahasan ulang putusan nomor 90 dengan asumsi ketua MK Anwar Usaman dijatuhi dengan putusan pelanggaran etik terlebih dahulu.
Akhirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tak mengubah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres. Meskipun memutuskan Ketua MK, Anwar Usman tetap ditetapkan bersalah dan melanggar etik hingga harus diberhentikan.
"Bahwa meskipun kewenangan Majelis Kehormatan menjangkau dan mencakup segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tidak terdapat kewenangan Majelis Kehormatan untuk melakukan penilaian hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi," kata Wahiduddin dalam sidang, di Gedung MK, Jakpus, Selasa (7/11/2023),
MKMK tak bisa mengubahnya lantaran itu malah akan melampaui kewenangan dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap Mahkamah Konstitusi.
Jadi sejak awal sudah jelas bahwa ini hanya soal mengulur waktu. Toh dengan dugaan tanggal 8 sebagai tenggat terakhir yang disediakan KPU untuk batas akhir soal usualan daftar capres-cawapres pengganti publik bisa menduga-duga akan seperti apa endingnya.
Makanya baik Prabowo-Gibran-Jokowi bahkan KPU seolah cuek bebek tidak peduli, toh semuanya akan baik-baik saja. Jadi semua keputusan untuk memilih dan dipilih akhirnya diserahkan kepada rakyat sekalian, mana yang lebih baik akan jadi pemimpin kita kedepan.
Jalan Panjang MKMK Selama Dua Dasawarsa
"Rakyatlah yang membuat konstitusi, dan rakyat pula yang mengubahnya. Konstitusi merupakan penjelmaan kehendak rakyat, dan hanya berlaku atas kehendak rakyat". John Marshall, 1755-1835
Soepomo akhirnya angkat bicara, ketika Muhammad Yamin yang tampil di forum sidang penyusunan UUD 1945 itu membeberkan gagasannya agar Balai Agung--nama lain dari Mahkamah Konstitusi ketika itu, diberi wewenang "membanding" undang-undang atas UUD 1945 (constitutional review).
Dua alasan diajukan Soepomo membantahnya. Pertama, menurutnya Indonesia tak menganut sistem pemisahan kekuasaan murni alias separation of power, seperti gagasan trias politikanya Montesquieu. Jadi tidaklah boleh sebuah kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan membentuk undang-undang.
Kedua, karena belum banyak para sarjana hukum yang paham teori pengujian undang-undang. Sedari awal memang tak ada aturan soal ide constitutional review dalam UUD 1945 kita, sampai kemudian terjadi perubahan.
Jauh setelahnya di tahun 2002, the second founding parents yang terlibat dalam proses perubahan kedua UUD 1945 akhirnya bersepakat, bahwa kita butuh mekanisme constitutional review yang dilakukan oleh "lembaga yudisial terpisah", agar produk-produk hukum tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi.
Tentu saja ini langsung menjadi upaya hukum baru untuk melindungi dan mengembalikan hak-hak konstitusional warga negara (constitutional citizen's rights) yang mungkin diabaikan, terancam dan bahkan terenggut akibat adanya undang-undang yang inkonstitusional.
Constitutional Review yang ditunggu
Angin segar perkembangan cita-cita demokrasi dan konstitusionalisme Indonesia punya babak baru saat perubahan sistem politik dan kekuasaan negara paska amandemen UUD 1945 itu dilakukan.
Pertanda paling krusialnya, bergesernya kekuasaan supremasi parlemen (parliament supremacy) menjadi supremasi konstitusi (constitutional supremacy). Dari kedaulatan rakyat (people's sovereignty) yang sebelumnya dikuasai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), langsung beralih ke tangan rakyat.
Penguatan mekanisme kontrol saling jaga dan menyeimbangkan (checks and balances mechanism) antar cabang kekuasaan negara juga menjadi agenda utama dalam proses amandemen UUD 1945.
Dan salah satu lembaga negara utama (main state organ) atas prakarsa hasil amandemen UUD 1945 agar ada mekanisme checks and balances adalah "lahirnya" Mahkamah Konstitusi (MK).
MK lantas jadi lembaga yang didaulat bisa mengatasi dan mengelola perkara-perkara yang punya relasi dengan urusan konstitusionalitas penyelenggaraan dan praktik ketatanegaraan serta politik di Indonesia.
Dengan kewenangan itulah, MK diposisikan bisa mengawal nilai-nilai konstitusi dan demokrasi, Pertama, pengawal konstitusi (the guardian of constitution); Kedua, penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution); Ketiga, pengawal demokrasi (the guardian of democracy); Keempat pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the protector of citizen's constitutional rights); dan Kelima, pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).
Sebagai dampaknya, sejak pembentukan pada 13 Agustus 2003, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) setidaknya telah mengadili 384 perkara.
Perinciannya, 228 perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (revewing laws against the constitution), 11 perkara sengketa kewenangan lembaga negara (dispute over the authorities of state institutions), dan perselisihan hasil pemilihan umum (disputes of the general election results).
Sejumlah 45 perkara Pemilu 2004 terdiri dari 274 kasus dan 71 perkara Pemilu 2009 yang terdiri dari 657 kasus, serta 27 perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah (disputes of the head regional election results).
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Pilar Demokrasi Putusan MK
Saat membuka laman berisi laporan annual MK, kita seperti membaca sebuah suguhan jejak peristiwa "sejarah" pencarian kebenaran dan keadilan konstitualisme di Indonesia. Tak cuma up date, tapi catatan itu mewakili sebuah situasi dan kondisi sesuai waktu yang tepat.
Isinya catatan tentang pencarian keadilan-sejatinya hak yang dimiliki setiap orang-sebagai individu, juga sebagai homo economicus yang berbaur dalam hidup sosial kemasyarakatan.
Jika catatan itu dikalibrasi, bisa menjadi sebuah "bacaan" kaleidoskop yang merangkum banyak peristiwa sebagai jembatan penghubung pembelajaran, kontemplasi, evaluasi catatan keberhasilan dan perbaikan yang bisa kita lakukan.
Putusan-putusan MK itu menjadi catatan menarik, (landmark decisions) bagian dari rangkai sejarah kerja-kerja luar biasa MK, melindungi hak konstitusional (constitutional rights) dan hak asasi manusia (human rights) yang sangat penting bagi tumbuh dan tegaknya demokrasi.
Pertama, Mengembalikan Hak-Hak Politik bagi Mantan Anggota PKI
Dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK membatalkan Pasal 60 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPR, yang berbunyi, "bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya".
Alasan utamanya, MK menilai bahwa ketentuan tersebut merupakan pengingkaran terhadap hak asasi warga negara atau diskriminasi atas dasar keyakinan politik, sebagai esensi yang dijamin oleh Pasal 27 dan Pasal 28D Ayat (1), Ayat (3), serta Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Tak boleh ada diskriminasi atas nama SARA, etnik, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Sesuai pula dengan Article 21 Universal Declration of Human Rights (UDHR) dan Article 23 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Kedua, Menghapus Ketentuan Penghinaan terhadap Kepala Negara
MK mengeluarkan Putusan Nomor 013- 022/PUU-IV/2006 bertanggal 6 Desember 2006, setelah debat yang tajam di dalam ruang persidangan dan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dengan perbedaan tipis 5:4 untuk membatalkan Pasal 134, Pasal 136 Bis, dan Pasal 137 KUHP yang terkait dengan ketentuan pidana atas penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden.
Paska amandemen ketiga UUD 1945, konsep kedaulatan (sovereignty) telah berpindah dari parlemen kepada rakyat. Dan, karena Presiden dan Wakil Presiden juga dipilih langsung oleh rakyat, maka harus bertanggung jawab kepada rakyat.
Keduanya tidak bisa diberikan privilege hukum secara diskriminatif berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Jika terjadi dianggap secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945
Ketiga, Mencabut Pasal Penebar Kebencian kepada Pemerintah
Pada tanggal 17 Juli 2007, MK mencabut Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP terkait dengan ketentuan pidana apabila seseorang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan Pemerintahan, karena bertentangan dengan Pasal 28 dan Pasal 28E Ayat (2) serta Ayat (3) UUD 1945. Keputusan yang disepakati seluruh Hakim Konstitusi.
Pertimbangan hukum utamanya, pertama, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan menurut selera penguasa karena kualifikasi tindak pidananya adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan.
Kedua, Pasal tersebut dianggap tidak rasional, karena seorang warga negara dari sebuah negara merdeka dan berdaulat tidak mungkin memusuhi negara dan pemerintahannya sendiri, kecuali makar yang ada aturannya tersendiri.
Ketiga, aturan tersebut sebenarnya ditujukan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan kala masih bernama Hindia
Belanda. Keempat, konsep rancangan KUHP Baru, deliknya telah berubah dari delik formil menjadi delik materiil, sebagai bentuk pembaharuan politik.
Keempat, Membuka Calon Independen untuk Maju dalam Pemilukada
Keputusan ini menjadi putusan yang direspon luas oleh publik. Pasalnya karena Putusan Nomor 5/PUU-V/2007 bertanggal 23 Juli 2007 yang membuka peluang bagi calon perseorangan untuk berkompetisi dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
MK menilai bahwa sebagian frasa pada Pasal 56 ayat (2), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) serta ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bertentangan dengan UUD 1945, sebab ketentuan tersebut hanya memberi kesempatan kepada partai politik atau gabungan partai politik dan menutup hak konstitusional calon perseorangan dalam Pemilukada.
Dalam kasus adanya ketentuan dalam UU Pemerintahan Aceh yang memberikan kesempatan bagi calon perseorangan dalam Pemilukada, namun dalam UU Pemda yang lain tidak tersedia, sehingga muncullah dualisme dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 tersebut.
Kelima, Menjamin Perlakuan yang Sama bagi Partai Politik Peserta Pemilu
Putusan Nomor 12/PUU-VI/2008, MK membatalkan Pasal 316 huruf d UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU 10/2008) terkait dengan persyaratan keikutsertaan partai politik dalam Pemilu 2009.
MK menilai, ketentuan pasal tersebut memberikan perlakuan yang tidak sama dan menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) terhadap sesama parpol peserta Pemilu 2004 yang tidak mememenuhi ketentuan Pasal 315 UU 10/2008.
Dengan demikian, para Pemohon yang terdiri dari beberapa partai politik peserta Pemilu 2004 punya landasan hukum ikut kembali dalam Pemilu 2009.
Keenam, Mengubah Sistem Keterpilihan Nomor Urut menjadi Suara Terbanyak
Dalam Putusan Nomor 22-24/PUU-VI/2008 bertanggal 23 Desember 2008, di satu sisi MK telah memperkuat alas hukum atas Pasal 55 ayat (2) UU 10/2008 terkait penentuan bakal calon perempuan, dan di sisi lain mencabut Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU 10/2008 terkait sistem keterpilihan calon anggota legislatif berdasarkan nomor urut caleg yang ditetapkan oleh partai politik.
Ketentuan tersebut bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat dan dikualifisir bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Merupakan bentuk pelanggaran jika kehendak rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif, dan dilanggar dengan sistem keterpilihan berdasar nomor urut.
Ketujuh, Menghapuskan Sanksi Pers dan Pelarangan Survey, Quick Count, serta News dalam UU Pemilu
Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi bagi pers yang diatur dalam Pasal 98 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta Pasal 99 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2008 dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui Putusan Nomor 32/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Februari 2009.
Alasannya, ketentuan tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum, ketidakadilan, dan bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD 1945.
Dasar pertimbangannya, pertama, pasal-pasal tersebut dapat menimbulkan tafsir bahwa lembaga yang dapat menjatuhkan sanksi bersifat alternatif, yaitu KPI atau Dewan Pers yang memungkinkan jenis sanksi yang dijatuhkan juga berbeda;
Kedua, rumusan ketentuan tersebut juga mencampuradukkan kedudukan dan kewenangan KPI dan Dewan Pers dengan kewenangan KPU dalam menjatuhkan sanksi kepada pelaksana kampanye Pemilu;
Ketiga, penjatuhan sanksi bagi lembaga penyiaran seharusnya tidak dilakukan oleh KPI, melainkan oleh Pemerintah (Menkominfo) setelah memenuhi due process of law, sedangkan terhadap media massa cetak tidak mungkin dijatuhkan sanksi pencabutan karena UU 40/1999 tidak lagi mengenal lembaga perizinan penerbitan media massa cetak, sehingga merupakan norma yang tidak diperlukan lagi karena kehilangan kekuatan hukum dan raison d’être-nya.
Kedelapan, Menjembatani Pemilih Pilpres Bermodal KTP atau Paspor
Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 bertanggal 6 Juli 2009 yang menerobos kebuntuan hukum UU Pilpres terkait dengan permasalahan calon pemilih yang tidak terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Merujuk Putusan Nomor011-017/PUU-I/2003 bertanggal 24 Februari 2004, MK menegaskan bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional, sehingga pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara.
Kesembilan, Menyelamatkan Suara Pemilih dalam Pemilu Legislatif
Peran Mahkamah Konstitusi dalam mengawal demokrasi tentu tidak bisa dilepaskan dari penanganan proses sengketa hasil pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Salah satu kewenangan MK menangani sengketa Perselishan Hasil Pemilihan Umum (PHPU).
Perbedaan pemikiran saat menyikapi keputusan, bahkan menurut beberapa Hakim Konstitusi justru bisa ”menyehatkan” iklim akademis di ranah demokrasi dan konstitusi apabila dilakukan dalam cara-cara dan koridor yang tepat.
SEBAIKNYA KALIAN TAU!
Awalnya disebut "Balai Agung". Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).
Pada akhirnya orang akan menilai bahwa MK akhirnya juga bernasib sama dengan banyak lembaga pemerintah lainnya, dikebiri oleh kepentingan dan tidak lagi punya netralitas sebagai lembaga yang diharapkan akan bisa menjadi penjaga gerbang keadilan. Setelah sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digoyang, kali ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang diruntuhkan. Apalagi yang tersisa?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H