Memang yang selama ini menjadi salah satu pertanyaan besar adalah, apakah lembaga MKMK dapat membatalkan peraturan MK?. Seandainya nantinya memang terbukti ada pelanggaran etik dan konflik kepentingan dalam penyusunananya.
Jangan-jangan rasa percaya diri ketua KPU sehingga sampai harus menyurati para Ketum Parpol terkait keputusan 90 mengindikasikan bahwa apapun keputusan MKMK tidak akan membuat keputusan MK bergeming.
Dan karena semangat itu pula artinya bahwa keputusan yang sarat dengan kepentingan itu memang tidak akan tergoyahkan. Lantas apakah keberadaan MKMK menjadi signifikan mangatasi kemelut atau lagi-lagi hanya menjadi formalitas?.
Jimly mengakui bahwa hal itu menjadi problem yang mestinya harus dijawab oleh MKMK. Meski menurutnya jika harus membatalkan keputusan MK merupakan sebuah langkah yang dilematis dan dianggap langkah sangat berani jika memang benar dilakukan. Itu artinya bahwa Jimly sendiri mengkuatirkan adanya konsekuensi-konsekuensi politisnya daripada sekedar urusan konstitusi.
Apakah jika memang terbukti gagal, independensi dan netralitas MKMK memang patut dipertanyakan sejak awal?. Mengapa MKMK mendadak dibentuk dan  apakah kehadirannya bisa mewakili rasa keadilan publik?.
Meskipun tidak yakin tentang hal itu, Jimly mengatakan, " Harus dibuktikan, dari kami ebrtiga saya tidak tahu berapa yang sudah yakin, tapi saya belum begitu yakin soal itu". Jadi?.
Menurutnya bukti yang dimaksud dan dianggap masih meragukan adalah penjelasan salah satu pelapor Denny Indrayana yang juga mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Â pada sidang pemeriksaan. Denny menganggap putusan etik MKMK mungkin tidak dapat langsung membatalkan putusan Nomor 90 tentang batas usia maksimum yang kontroversial tersebut.Â
Namun putusan MKMK bisa menajdi dasar untuk sidang pembahasan ulang putusan nomor 90 dengan asumsi ketua MK Anwar Usaman dijatuhi dengan putusan pelanggaran etik terlebih dahulu.
Akhirnya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan untuk menjatuhkan sanksi memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada Selasa (07/11), setelah terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim MK terkait putusan kasus batas usia calon presiden.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tak mengubah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat usia capres-cawapres. Meskipun memutuskan Ketua MK, Anwar Usman tetap ditetapkan bersalah dan melanggar etik hingga harus diberhentikan.
"Bahwa meskipun kewenangan Majelis Kehormatan menjangkau dan mencakup segala upaya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat serta Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tidak terdapat kewenangan Majelis Kehormatan untuk melakukan penilaian hukum terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi, terlebih lagi turut mempersoalkan perihal keabsahan atau ketidakabsahan suatu Putusan Mahkamah Konstitusi," kata Wahiduddin dalam sidang, di Gedung MK, Jakpus, Selasa (7/11/2023),
MKMK tak bisa mengubahnya lantaran itu malah akan melampaui kewenangan dengan mendudukkan Majelis Kehormatan seakan memiliki superioritas legal tertentu terhadap Mahkamah Konstitusi.Â
Jadi sejak awal sudah jelas bahwa ini hanya soal mengulur waktu. Toh dengan dugaan tanggal 8 sebagai tenggat terakhir yang disediakan KPU untuk batas akhir soal usualan daftar capres-cawapres pengganti publik bisa menduga-duga akan seperti apa endingnya.
Makanya baik Prabowo-Gibran-Jokowi bahkan KPU seolah cuek bebek tidak peduli, toh semuanya akan baik-baik saja. Jadi semua keputusan untuk memilih dan dipilih akhirnya diserahkan kepada rakyat sekalian, mana yang lebih baik akan jadi pemimpin kita kedepan.
Jalan Panjang MKMK Selama Dua Dasawarsa
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!