Selanjutnya adalah kesadaran transisi kritis, yang menurut Freire merupakan jenis kesadaran tingkat tinggi. Ditandai dengan kematangan masyarakat untuk menafsirkan masalah. Mereka berargumentasi dengan prinsip kausalitas, menguji setiap penemuan orang, menanggapi informasi yang berkembang dengan sikap keterbukaan dan siap untuk melaksanakan pembaharuan. Masyarakat yang lebih banyak mempraktekkan dialog daripada polemik-polemik yang tidak berujung pangkal, mereka siap menerima apa yang dipandang benar. Kesadaran semacam ini menurut Freire merupakan dasar dan cikal bakal tumbuhnya sifat-sifat demokrasi sejati.
Nadiem mengemukakan bahwa 'Merdeka Belajar' adalah kemerdekaan bepikir yang didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa siswi. Namun, apakah konsep ini mengacu kepada Pendidikan Pembebasan ala Freire? Mungkin kita tidak akan menyetujui hal ini dengan terburu-buru. Saya pikir, relevansinya belum tentu dekat, namun ada peluang pengembangan ke depan bagi konsep 'Merdeka Belajar', untuk lebih filosofis atau coba lebih menengok kepada filsafat-filsafat pendidikan yang telah dikembangkan secara keilmuan oleh para filsuf pendidikan.
Namun diluar masalah itu, konsep masyarakat transitif kritis ini juga sekaligus secara sosial bisa kita jadikan bahan evaluasi, jangan-jangan dalam masyarakat kita masih ada yang belum menjadi masyarakat yang kritis. Masih berminat dengan keterangan-keterangan gosip dan tidak rasional, argumentasinya rapuh, mempraktekkan polemik, konflik dan pertentangan satu sama lain dan belum siap menerima apa yang dipandang benar. Dan solusi untuk mengubah ini adalah melalui dunia pendidikan baik formal maupun non formal.
Kedua, Teori Banking Education dan Metode Pendidikan Berkelanjutan
Freire juga mengkritik pendidikan yang disebutnya dengan 'banking education'. pendidikan akhirnya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana para murid adalah 'bank' dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi. Tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan 'mengisi tabungan', yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.
Freire menulis '... The teacher is of course an artist, but being an artist does not mean that he or she can make the profile, can shape the studens. What the educator does in teaching is to make it possible for the students to become themselves'. Yakni bahwa pendidik bukan 'membentuk' anak didik, namun memfasilitasi dan mendorong mereka untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep ini saya pikir masih memiliki relevansi (baik itu disengaja atau tidak) dengan apa yang Nadiem sebut dengan : '... tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing'.
Untuk mengembangkan bakat ini, tentu kita harus berhati-hati melihat posisi tumbuh kembang anak. Teori tentang tumbuh kembang ini bisa kita pelajari salah satunya dari konsep metode pendidikan berkelanjutan yang digagas oleh JJ Rousseau (dalam bukunya yang berjudul mile ou de l'Education/ Emile, atau tentang pendidikan, tahun 1762), yakni melalui tahap-tahapnya secara alamiah, dimana setiap proses dalam tahapan pendidikan perlu disesuaikan secara hati-hati dengan kebutuhan perkembangan setiap individu.
Pada masa kanak-kanak, cukuplah dibatasi pada pengetahuan sensitif, yang bertujuan untuk mendidik anak-anak agar dapat menggunakan indera-inderanya dengan baik. Anak harus diperlakukan sebagai anak-anak bukan sebagai orang dewasa. Barulah pada usia 15 tahun anak diberikan pendidikan akal budi. Pendidikan akal budi ini lebih bersifat merangsang kemampuan yang sebenarnya sudah ada dalam diri anak namun belum dibangkitkannya.
Pada tahap selanjutnya, yaitu ketika anak-anak kira-kira berusia 18 tahun, kesadaran akan nilai-nilai manusiawi dengan sendirinya akan melahirkan kesadaran akan Tuhan. Atas keyakinan ini Rousseau berpendapat agar pendidikan agama pun tidak diberikan pada usia dini, namun diberikan setelah usia 18 tahun, meskipun teori ini akhirnya menimbulkan kontroversi.
Ketiga, Teori Pendidikan Hadap Masalah dan Learning by Doing
Pendidikan, menurut Freire mestinya adalah Hadap Masalah, atau yang disebutnya dengan istilah Problem Posing Education. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Mungkin contohnya antara lain jika kita di Indonesia, realitas kita adalah alam tropis dan bahari, maka semestinya kita melihat potensi itu dan mengembangkannya sesuai realitas yang kita punya, tidak harus mencontoh negara lain yang punya realitas alam berbeda. Atau jika realitas masyarakat kita belum rasional, maka kita juga mesti berusaha memperbaiki hal itu.