Isu populer dari dunia pendidikan Indonesia hari-hari ini mungkin antara lain adalah isu mafia pendidikan, kisruh tentang zonasi dan isu konsep pendidikan yang diajukan oleh Nadiem Makarim (Mendikbud baru). Isu tentang mafia pendidikan bukanlah barang baru. Mafia pendidikan biasanya merujuk kepada mereka yang 'bermain' dalam praktis pendidikan. Misalnya ada kecurigaan munculnya praktek 'uang pelicin' untuk kenaikan jabatan, jual beli soal, jual beli kursi siswa baru, korupsi anggaran untuk pelatihan dan sebagainya. Keberadaan mafia pendidikan tentu mesti dicari buktinya secara riil.
Akhir-akhir ini juga muncul kisruh tentang pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Jakarta, hingga ada demonstrasi yang menuntut adanya evaluasi terhadap PPDB di Jakarta, karena menurut peserta demo pelaksanaan PPDB di Jakarta menyimpang dari Permendikbud No.44 Tahun 2019. Sehingga banyak yang gagal masuk sekolah hanya dikarenakan faktor usia. Namun kasus ini sudah mulai coba dicarikan solusi dengan menambah kuota jalur zonasi bina rw, yakni dengan menambah kuota kelas dari 36 menjadi 40 siswa.
Jika kedua isu tersebut lebih banyak berisi tentang hal yang terkait dengan 'manejemen keuangan pendidikan' dan 'manajemen pengelolaan kelas', atau bisa kita katakan lebih bersifat teknis, isu yang satu ini lebih bersifat essensi. Isu ini adalah munculnya ide untuk 'memperbaharui' arah pendidikan. Isu ini muncul dari Nadiem Makariem (Mendikbud), yang mencoba mengusung konsep yang disebutnya dengan istilah 'Merdeka Belajar'.
Merdeka belajar menurutnya adalah kemerdekaan berpikir yang harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkanya pada siswa-siswi. Pada tahun-tahun mendatang, sistem pengajaran akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi diluar kelas. Bukan hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi. Tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat.
Dengan melihat isu-isu tersebut diatas, terutama diskusi tentang konsep'Merdeka Belajar' dan nanti mungkin kita akan 'menarik' isu-isu lain yang terkait untuk juga dibahas, kita akan coba melakukan analisa, dengan belajar kepada teori-teori yang dikembangkan oleh para filsuf yang concern dengan dunia pendidikan. Mungkin kita bisa menemukan pararel-pararel atau relevansi antara fenomena pendidikan kita dengan teori mereka atau mungkin justru kita bisa menemukan essensi dari teori-teori tersebut dan mungkin bisa menjadi 'perspektif baru' terhadap arah pendidikan kita.
Pertama, Teori Kesadaran Transitif Kritis
Teori ini dikembangkan oleh Paulo Freire, seorang filsuf asal Brasil yang terkenal dengan beberapa karyanya yang fokus di dunia pendidikan. Konsep dasar pendidikan menurut Freire adalah bahwa manusia mestinya dilatih untuk menjadi subyek, mampu menganalisa permasalahan secara komprehensip dan menentukan keputusan secara mandiri tanpa dipengaruhi pihak lain.
Manusia, dalam pandangan Freire dikatakan tidak utuh lagi bila ia kehilangan kemampuan untuk memilih, bila pilihannya adalah pilihan orang lain dan keputusan-keputusan yang diambilnya merupakan keputusan yang ditentukan 'pihak luar'. Freire menyebut gejala ini sebagai tanda atau gejala dehumanisasi.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh Freire adalah teori tentang kualitas kesadaran masyarakat. Menurutnya ada 3 jenis manusia dan atau masyarakat berdasarkan tingkat kesadarannya, yakni : kesadaran semi intransitif, kesadaran transitif naif dan kesadaran transitif kritis.Â
Kesadaran semi intransitif merupakan kesadaran yang berada pada keadaan dimana masyarakat tidak dapat memahami masalah-masalah yang berada diluar lingkungan atau kebutuhan biologisnya. Lingkungan persepsinya terbatas, manusia 'asyik'dengan dirinya sendiri. Jenis kesadaran ini mesti diperbaiki dengan upaya meningkatkan kemampuan berdialog masyarakat, tidak saja dengan sesamanya, tetapi juga dengan dunia, sehingga mereka bisa menjadi transitif.
Berikutnya adalah kesadaran transitif naif, dimana kondisi manusia mulai terbuka. Kesadaran pada tingkat ini ditandai oleh adanya penyederhanaan masalah-masalah yang ada dan penyederhanaan ini masih terkesan berlebihan dan naif. Pada tingkat kesadaran seperti ini tidak tampak adanya minat untuk menyelidiki. Ciri-ciri yang dapat diidentifikasi pada manusia dan atau masyarakat seperti ini adalah lebih berminat pada keterangan-keterangan yang bersifat ganjil, gosip dan tidak rasional. Argumentasinya rapuh, mengedepankan emosi, mempraktekkan polemik, konflik dan pertentangan satu sama lain.
Selanjutnya adalah kesadaran transisi kritis, yang menurut Freire merupakan jenis kesadaran tingkat tinggi. Ditandai dengan kematangan masyarakat untuk menafsirkan masalah. Mereka berargumentasi dengan prinsip kausalitas, menguji setiap penemuan orang, menanggapi informasi yang berkembang dengan sikap keterbukaan dan siap untuk melaksanakan pembaharuan. Masyarakat yang lebih banyak mempraktekkan dialog daripada polemik-polemik yang tidak berujung pangkal, mereka siap menerima apa yang dipandang benar. Kesadaran semacam ini menurut Freire merupakan dasar dan cikal bakal tumbuhnya sifat-sifat demokrasi sejati.
Nadiem mengemukakan bahwa 'Merdeka Belajar' adalah kemerdekaan bepikir yang didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa siswi. Namun, apakah konsep ini mengacu kepada Pendidikan Pembebasan ala Freire? Mungkin kita tidak akan menyetujui hal ini dengan terburu-buru. Saya pikir, relevansinya belum tentu dekat, namun ada peluang pengembangan ke depan bagi konsep 'Merdeka Belajar', untuk lebih filosofis atau coba lebih menengok kepada filsafat-filsafat pendidikan yang telah dikembangkan secara keilmuan oleh para filsuf pendidikan.
Namun diluar masalah itu, konsep masyarakat transitif kritis ini juga sekaligus secara sosial bisa kita jadikan bahan evaluasi, jangan-jangan dalam masyarakat kita masih ada yang belum menjadi masyarakat yang kritis. Masih berminat dengan keterangan-keterangan gosip dan tidak rasional, argumentasinya rapuh, mempraktekkan polemik, konflik dan pertentangan satu sama lain dan belum siap menerima apa yang dipandang benar. Dan solusi untuk mengubah ini adalah melalui dunia pendidikan baik formal maupun non formal.
Kedua, Teori Banking Education dan Metode Pendidikan Berkelanjutan
Freire juga mengkritik pendidikan yang disebutnya dengan 'banking education'. pendidikan akhirnya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana para murid adalah 'bank' dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi. Tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan 'mengisi tabungan', yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.
Freire menulis '... The teacher is of course an artist, but being an artist does not mean that he or she can make the profile, can shape the studens. What the educator does in teaching is to make it possible for the students to become themselves'. Yakni bahwa pendidik bukan 'membentuk' anak didik, namun memfasilitasi dan mendorong mereka untuk menjadi dirinya sendiri. Konsep ini saya pikir masih memiliki relevansi (baik itu disengaja atau tidak) dengan apa yang Nadiem sebut dengan : '... tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing'.
Untuk mengembangkan bakat ini, tentu kita harus berhati-hati melihat posisi tumbuh kembang anak. Teori tentang tumbuh kembang ini bisa kita pelajari salah satunya dari konsep metode pendidikan berkelanjutan yang digagas oleh JJ Rousseau (dalam bukunya yang berjudul mile ou de l'Education/ Emile, atau tentang pendidikan, tahun 1762), yakni melalui tahap-tahapnya secara alamiah, dimana setiap proses dalam tahapan pendidikan perlu disesuaikan secara hati-hati dengan kebutuhan perkembangan setiap individu.
Pada masa kanak-kanak, cukuplah dibatasi pada pengetahuan sensitif, yang bertujuan untuk mendidik anak-anak agar dapat menggunakan indera-inderanya dengan baik. Anak harus diperlakukan sebagai anak-anak bukan sebagai orang dewasa. Barulah pada usia 15 tahun anak diberikan pendidikan akal budi. Pendidikan akal budi ini lebih bersifat merangsang kemampuan yang sebenarnya sudah ada dalam diri anak namun belum dibangkitkannya.
Pada tahap selanjutnya, yaitu ketika anak-anak kira-kira berusia 18 tahun, kesadaran akan nilai-nilai manusiawi dengan sendirinya akan melahirkan kesadaran akan Tuhan. Atas keyakinan ini Rousseau berpendapat agar pendidikan agama pun tidak diberikan pada usia dini, namun diberikan setelah usia 18 tahun, meskipun teori ini akhirnya menimbulkan kontroversi.
Ketiga, Teori Pendidikan Hadap Masalah dan Learning by Doing
Pendidikan, menurut Freire mestinya adalah Hadap Masalah, atau yang disebutnya dengan istilah Problem Posing Education. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Mungkin contohnya antara lain jika kita di Indonesia, realitas kita adalah alam tropis dan bahari, maka semestinya kita melihat potensi itu dan mengembangkannya sesuai realitas yang kita punya, tidak harus mencontoh negara lain yang punya realitas alam berbeda. Atau jika realitas masyarakat kita belum rasional, maka kita juga mesti berusaha memperbaiki hal itu.
Konsep 'Problem Posing Education' Freire ini hampir mirip dengan konsep 'Problem Solving Method' yang digagas oleh John Dewey. Dalam metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang dan anak diberi kebebasan sepenuhnya untuk memecahkan masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya.
Selain itu, Dewey juga mengembangkan metode 'Learning by Doing'. Metode ini adalah pendekatan langsung untuk belajar, yang berarti siwa harus berinteraksi dengan lingkungan mereka untuk beradaptasi dan belajar. Metode ini  diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat.
Beberapa konsep yang diuraikan diatas, saya pikir bisa kita katakan pararel dengan 'visi' Nadiem Makarim tentang konsep 'Merdeka Belajar' bisa juga tidak. Namun yang jelas, gagasan untuk mencoba mencari arah pendidikan yang lebih filsafati di Indonesia itu adalah gejala yang baik dan perlu disempurnakan terus untuk masa yang akan datang.
Konsep-konsep dari para filsuf pendidikan diatas mungkin bisa menjadi pelengkap atau 'menyempurnakan' konsep dan arah pendidikan di Indonesia. Karena konsep-konsep tersebut saya pikir masih relevan dengan kebutuhan dunia pendidikan dan pengembangan sosial budaya di Indonesia hari-hari ini. Ibaratkan dunia pendidikan sebagai sebuah bangunan, maka filsafat-filsafat tentang pendidikan itu adalah pondasinya.
Maka kita mesti memperkuat pondasi tersebut, supaya bangunan pendidikan kita dapat berdiri tegak dan bermanfaat. Namun mematangkan filosofi pendidikan bukan berarti mengenyampingkan hal-hal teknis, tentang pengelolaan sekolah dan manajemen keuangan pendidikan misalnya, semuanya mesti berjalan seiring.
Tentu pemikiran filsafat yang disampaikan diatas tidak harus diterima mentah-mentah, namun mesti dikritisi dan dikaji kembali untuk mendapatkan konsep-konsep pendidikan yang paling tepat untuk Indonesia, terutama oleh pihak-pihak yang berwenang.
Dengan filsafat pendidikan yang matang, diharapkan pendidikan kita akan semakin maju. Selain itu filosofi pendidikan juga ibaratkan suatu arah, yang akan menentukan kemana perjalanan pendidikan kita akan menuju, semoga menuju arah yang lebih baik serta jangan sampai salah arah dan menyebabkan kualitas manusia Indonesia menjadi 'mundur' dan mengalami'dehumanisasi'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H