Tidak hanya AS yang berusaha memperkuat influence mereka dengan negara-negara di kawasan. Cina pun melakukan hal yang sama, pada 2022. Cina telah menandatangani kerjasama pertahanan terbaru dengan negara Kepulauan Solomon. Perjanjian kerjasama keamanan di antara kedua negara tersebut, akan memungkinan Cina untuk dapat memposisikan armda angkatan bersenjata nya di wilayah kepulauan Solomon, suatu tindakan yang menjadi alarm bagi Australia.Â
Karena kapal-kapal milik Angkatan Laut Cina bisa bersandar di negara tersebut untuk melakukan re-suplai pasokan logistik. Kemudian baru-baru ini, tepatnya pada September 2023, Cina melakukan pendekatan dengan negara Papua Nugini dan menawarkan proposal kerjasama keamanan di antara kedua negara.Â
Kehadiran banyak aliansi militer di wilayah Asia Tenggara, menjadi alarm bagi pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Pasalnya, Indonesia berbatasan langsung dengan sejumlah negara anggota yang tergabung dalam aliansi-aliansi tersebut. Belum lagi ditambah dengan kemungkinan apabila terjadi konflik terbuka di wilayah LCS yang melibatkan Cina, AS, serta negara-negara aliansi pertahanan yang ada di sekitar LCS, maka dampak dari konflik tersebut akan besar dan tentu menjadi ancaman tidak hanya bagi Indonesia namun juga ancaman keamanan navigasi dan jalur pelayaran di sekitar perairan Indonesia, dikarenakan posisi geografisnya, yang tidak hanya dekat, namun juga menguntungkan sekaligus bernilai strategis bagi banyak pihak.
"Pekerjaan Rumah" Pertahanan IndonesiaÂ
Konflik bersenjata yang melibatkan Rusia dan Ukraina sejak Februari 2022, serta konflik militer di Nagorno-Karabakh yang melibatkan Armenia & Azerbaijan di 2023, serta situasi konflik di Timur Tengah yang saat ini masih berlangsung panas, menjadi bukti bahwa saat ini peperangan konvensional dan konflik militer masih menjadi suatu hal yang sangat relevan hingga saat ini, dan dapat terjadi kapan saja.Â
Perang yang terjadi di belahan dunia lain seperti di Eropa, berdampak terhadap kenaikan harga bahan pangan di Indonesia. Kondisi konflik di Timur Tengah, berdampak terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak yang berdampak terhadap banyak negara, gangguan yang terjadi di jalur perdagangan internasional seperti apa yang terjadi di Laut Merah akibat serangan kelompok Houthi terhadap kapal-kapal komersial, menimbulkan gangguan terhadap keamanan jalur pelayaran, perdagangan dan rantai pasok global. Biaya produksi dan biaya operasional membengkak akibat dampak yang ditimbulkan dari adanya ancaman keamanan di wilayah tersebut.
Kondisi konflik bersenjata antar negara di berbagai belahan dunia ini, semestinya menjadi "wake up alarm" bagi Indonesia. Sebagai salah satu negara terbesar dengan kondisi geografis yang bernilai amat strategis, mewajibkan negara ini untuk bisa mengamankan kepentingan nasional serta keutuhan wilayahnya dari berbagai ancaman baik secara domestik maupun eksternal.Â
Karena, apabila terjadi konflik bersenjata antar negara-negara besar di kawasan yang berbatasan langsung dengan Indonesia, seperti di Laut Natuna Utara, maka dampak kerugiannya akan dapat sangat dirasakan oleh Indonesia itu sendiri.Â
Indonesia memiliki segudang pekerjaan rumah untuk membangun postur pertahanannya. Kondisi ini tidak terlepas dari masih banyaknya, alat utama sistem senjata (Alutsista) yang dimiliki oleh Indonesia, berusia sangat tua dan selayaknya diganti dengan yang lebih modern, berteknologi canggih serta memiliki kapabilitas untuk menjawab tantangan perang masa depan.Â
Anggaran Pertahanan Terbatas
"Ambisi" Indonesia untuk melakukan modernisasi alutsistanya melalui program pemenuhan Minimum Essential Force (MEF) menemui sejumlah hambatan. Utamanya terkait dengan keterbatasan anggaran yang ada. Terjadinya pandemi COVID-19 pada 2020, menyebabkan adanya relokasi anggaran sejumlah kementerian termasuk Kementerian Pertahanan selama 2 tahun. Â