Mohon tunggu...
Heznie Wulandari
Heznie Wulandari Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Heznie Wulandari, S.Pd || Guru biasa yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apa Iya Orang Betawi Tidak Bisa Hidup Jauh dari Orang tuanya?

5 Februari 2024   10:19 Diperbarui: 5 Februari 2024   10:54 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai anak yang terlahir dari keluarga sederhana, saya sadar betul akan kondisi orang tua saya dan tidak mengharapkan harta apa apapun dari mereka. Pun tempat tinggal, saya bertekad kalau diberikan rezeki, saya ingin memiliki rumah hasil kristalisasi keringat saya sendiri. Makanya ketika saya sudah bekerja saya menabung untuk uang muka rumah untuk saya tinggali nanti ketika sudah menikah. 

Beruntung saya memiliki orang tua yang  sangat mendukung  keinginan saya tersebut. Dan seperti berjodoh, Saat itu saya dimudahkan dalam mengambil KPR bersubsidi di Bekasi, dekat dengan orang tua saya. Mengapa saya mengambil KPR, karena ibu saya berpesan, bila sudah menikah jangan tinggal dengan orang tua atau mertua. 

Singkat cerita, saya berpacaran dengan salah satu lelaki yang mendukung keinginan saya dalam memiliki rumah, makanya ketika saya minta ia untuk ikut andil dalam cicilannya, ia setuju saja.  

Setelah berpacaran selama empat tahun,  menikahlah saya dengannya. Sambil menunggu rumah kami di renovasi (karena akan kami tempati) saya tinggal sementara dirumah ibu saya. kurang lebih saya tinggal di rumah ibu selama dua minggu, minggu berikutnya di rumah mertua. 

Karena saya dan suami saya bekerja, bapaklah yang setia memantau pekerjaan para tukang. Walaupun jarak rumah bapak dan rumah kami lumayan jauh.  Saking bapak dan ibu yang rajin menyambangi rumah, tetangga perumahan justru lebih kenal bapak dan ibu ketimbang saya dan suami.

Tepat sebulan renovasi pembangunan rumah, akhirnya saya dan suami berniat pindah. Seperti kebanyakan orang pindahan pada umumnya, tentu saya mengajak para tetangga untuk ikut mendoakan kami agar kami betah di rumah baru kami. 

Saat itu kami mengundang tetangga dan teman masa kecil saya, sedangkan suami mengundang tetangga dan kerabat terdekat yang jumlahnya lumayan banyak. Kebanyakan dari mereka bilang ikut bangga, kami yang  baru menikah sudah memiliki rumah (walaupun masih menyicil, hehehe) 

Dari banyaknya yang tamu yang datang  dan mendoakan kami, saat itu saya melihat bapak mertua saya mondar-mandir berkeliling rumah, sepertinya ada yang sedang bapak mertua saya pikirkan.

"Kenapa, Beh?". Tanya saya pada mertua saya. Kami memanggilnya Abeh, karena memang asli betawi. Ibunya merupakan keturunan habib. 

"Nama daerahnya apa sih ini, Eni?".  Mertua saya bertanya balik.

"Oh, ini Babelan, Beh". Kata saya. "Jauh ya, Beh?". Tanya saya. Karena memang jarak Jakarta-Babelan lumayan jauh saat itu. Karena belum ada jalan tol.

Bapak mertua saya diam. Pikiran saya langsung tidak enak saat itu. Sepertinya bapak mertua saya tidak rela jika anak pertamanya itu harus tinggal jauh-jauh darinya. Tapi saya buang pikiran itu. 

Sebelum pindah kerumah baru kami, saya dan suami sudah membicarakan estimasi perjalanan suami ke kantornya. Karena lumayan jauh, sehabis subuh suami saya sudah harus berangkat, karena Bekasi-Jakarta itu macet sekali pada jam-jam kerja.  Suami saya mengiyakan. Dan ia tidak keberatan akan hal itu. 

Hari pertama dan kedua kami menempati rumah kami, suami saya pulang telat. Katanya sambil menunggu jalanan tidak macet, suami mampir ke rumah orang tuanya. Begitupun sampai hari kelima. Saya dibuat khawatir karena suami saya pulang selalu malam. Mengingat ia pernah mengalami kecelakaan hebat, motornya pun motor besar (motor suami Kawasaki Ninja R saat itu) pikiran saya langsung  kemana-mana. Takut suami kenapa-kenapa. 

"Tadi ketiduran dirumah ibu". Begitu alasan suami saya ketika sampai rumah.

Hari ketujuh, tepatnya satu minggu saya menempati rumah baru, saya masih ingat hari itu hari selasa, suami saya tidak pulang  ke rumah kami. Suami menelepon saya mengeluh sakit, dan ia memilih tidur di rumah orang tuanya. 

Keesokan harinya, saya menyusul suami saya ke rumah mertua. Dan benar saja, ternyata suami saya sakit gejala typus. Karena masih gejala, suami saya diizinkan untuk berobat jalan.

Saat itu, karena suami saya sudah pindah rumah. Kamar kami yang berada di rumah mertua tentu sudah ditempati oleh adik ipar, akhirnya saat itu saya merawat suami saya di rumah kontrakan milik mertua saya yang memang bersebelahan dengan rumahnya dengan beralaskan karpet dan bedcover saja, karena semua barang-barang ada di rumah kami.

"Eni, Hasyim sakit karena kecapekan itu". Kata bapak mertua saya. "Sewaktu masih tinggal disini, Hasyim bisa berangkat kerja dengan santai. Tidak grabag grubug seperti sekarang".  Katanya lagi.

Saya tidak mengerti grabag grubug yang dimaksud bapak mertua saya. Yang saya tahu ini hanya soal jarak. Jarak rumah kami dengan tempat kerja suami saja yang jauh. Dan itu hal lumrah, banyak juga kok tetangga perumahan kami yang tempat kerjanya lebih jauh. "Ini hanya soal waktu, Beh. Anakmu itu belum terbiasa. Nanti juga terbiasa,kok". Jawab saya. Tapi dalam hati.

Dari nada bicaranya sepertinya mertua saya menyalahkan sakit yang diderita anaknya karena ulah saya. Karena kemauan saya yang ingin pindah dari rumahnya. Tapi memang seharusnya seperti itu 'kan? bila anak sudah menikah hal yang wajar ketika anak memiliki rumah dan pindah. Hidup mandiri dengan keluarga kecilnya 

Saat itu saya hanya diam. 

"Untuk sementara, kalian tinggal disini saja". Kata mertua saya lagi. 

Saya memandangi rumah kontrakan yang kami tempati saat itu. Jauh sekali dengan rumah kami yang di Bekasi. Rumah kami, walaupun kecil, tapi sangat nyaman untuk ditempati. Karena ada beberapa bagian rumah yang memang saya request sendiri pada tukang. Ahh.. Saya membayangkan akan bicara apa pada bapak dan ibu saya nanti ketika tahu kami disuruhnya tinggal disini sementara.

"Tapi semua barang-barang kami disana, Beh". Kata saya.

"Ambil saja yang penting-penting". 

Keesokan harinya, ketika suami sudah agak membaik kesehatannya, saya kembali bekerja. Setiap pulang  dari bekerja saya mampir kerumah kami yang di perumahan untuk mengambil baju milik saya dan suami. Saya pun mampir ke rumah orang tua saya. Untungnya orang tua saya adalah orang tua yang sangat pengertian. 

"Nggak apa-apa, ikuti suamimu". Kata ibu saat saya izin tinggal sementara di kontrakan milik mertua. "Nanti titip-titip rumah sama tetangga ya,Ni. Kalau disananya lama". Kata ibu lagi mengingatkan rumah kami yang di Bekasi.

Setelah dua minggu dirumah kontrakan, keesokan harinya. Saat itu hari Sabtu, saya dan suami sepakat akan kembali ke rumah kami yang di Bekasi. Kami pun izin pamit ke rumah mertua saya.

"Mau ngapain sih kesana?". Kata mertua saya dingin.

"Pulang, Beh. Kan Hasyim sudah sehat". Kata saya

"Sudah Abeh putuskan, kalian tinggal di rumah  kontrakan saja". Kata bapak mertua saya.  "Abeh sudah bilang sama yang mengontrak untuk mengosongkan barang, agar kalian bisa tinggal disitu". Kata Bapak mertua saya lagi.

Kami terdiam. Membayangkan harus meninggalkan rumah kami yang di Bekasi. Rumah yang rela bapak saya datangi demi melihat kemajuan pembangunannya. Mengingat sudah berapa rupiah yang kami keluarkan agar kami bisa menempatinya. Ah membayangkannya dan mengingatnya saja saya sedih rasanya.

Tidak berapa lama kami masuk kembali masuk ke rumah kontrakan, bapak mertua memanggil suami saya karena barang-barang kami yang di Bekasi ternyata sudah dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang  akan kami tempati. Ternyata seniat itu mertua saya ingin agar anaknya tidak jauh-jauh dari matanya. Sampai ia menyewa mobil box untuk membawa barang-barang milik kami.

Rumah kontrakan mertua memang ada 5 pintu.  Entah ia menyuruh yang sebelah mana yang harus dikosongkan agar bisa kami tempati. 

"Kalau saran Abeh, rumah yang di Bekasi kalian over credit saja. Uangnya untuk merenovasi kontrakan. Tiga pintu ini boleh kalian tempati. Mau tingkat atau apa terserah kalian". Kata bapak mertua saya lagi.

Saya terdiam mendengarnya.  Membayangkan rumah yang sudah dua tahun cicilannya berjalan, mengingat untuk mendapatkannya butuh effort karena saya harus menabung untuk uang  mukanya, dan bolak-balik ke bank demi pengajuannya, belum lagi mengingat sudah berapa rupiah yang  telah dikeluarkan untuk merenovasinya, belum lagi bapak dan ibu saya yang harus bolak-balik mengontrol tukang. Saya merasa mertua saya saat itu jahat sekali. Itu kan rumah atas nama saya (walaupun cicilannya suami yang membayar, hehe), seenaknya ia menyuruh saya menjualnya 

Saya benar-benar bingung saat itu. Saya tidak tahu harus bilang apa pada ibu dan bapak saya.

"Nggak apa-apa sayang, berarti abeh sudah memberikan kontrakan ini pada kita. Harusnya kita bersyukur". Kata suami saya dengan entengnya. "kalau disatukan, kontrakan ini kan lebih besar dari pada rumah kita yang di Bekasi". Katanya lagi.

Kalau boleh memilih, saya lebih senang  tinggal di rumah kami sendiri dari pada rumah pemberian mertua saya. Rumah yang uang mukanya saya miliki dari hasil menabung. Saat itu saya benar-benar bingung. 

"Kalau kita tinggal disini, aku kerjanya kan dekat sayang". Kata suami saya. 

"Terus aku yang jauh". Kata saya pelan. 

Suami saya diam. Terus saya berpikir. Selama berpacaran dengannya, saya merasa memang saya yang lebih mandiri ketimbang suami saya. Terlebih selepas kecelakaan yang  menimpa suami saya pada masa awal-awal berpacaran. Alhamdulillah fisiknya memang tidak ada perubahan, namun sepertinya ia jadi lebih cepat kelelahan. Mungkin itu juga yang membuat mertua saya ngotot kalau kami tidak boleh pindah dari rumahnya. Takut anaknya kenapa-kenapa kalau jauh dari pandangannya.

Dalam sebuah hubungan, tentu harus ada yang mengalah. Dan akhirnya saya yang  harus mengalah saat itu. Setelah berdiskusi dengan kedua orang tua saya, akhirnya bapak dan ibu menyerahkan keputusan rumah pada saya. 

"Ya nggak apa-apa. Istri memang  harus menurut pada suami". Kata bapak saat itu.

Akhirnya saat itu kami melakukan alih kredit rumah kami pada atasan suami saya. Harganya sepadan dengan uang yang telah kami keluarkan. Uang muka, cicilan, dan renovasi. Saat itu pembayaranny dicicil selama tiga kali. Prosesnya belum sampai pada notaris, karena belum pelunasan pada pihak bank. Dari uang hasil alih kredit rumah kami yang di Bekasi, kami gunakan untuk merenovasi rumah yang sekarang kami tempati ini. 

Entah harus senang atau sedih. Tapi kalau sedang  berdua dengan suami saya kadang menertawakan kejadian tersebut. Sebenarnya kami agak malu, sudah pamitan dengan keluarga dan tetangga, seminggu kemudian balik kandang, hehe..

"Orang Betawi mah nggak bisa jauh dari emaknya". Saya pernah mendengar kalimat sarkasme seperti itu. Walaupun tidak semua orang betawi ya. Mungkin suami saya adalah salah satu dari orang betawi yang memang tidak bisa jauh dari orang tuanya. Atau memang karena suami saya adalah anak kesayangan, karena adik ipar saya ternyata di izinkan kok tinggal berjauhan dari mereka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun