Kami terdiam. Membayangkan harus meninggalkan rumah kami yang di Bekasi. Rumah yang rela bapak saya datangi demi melihat kemajuan pembangunannya. Mengingat sudah berapa rupiah yang kami keluarkan agar kami bisa menempatinya. Ah membayangkannya dan mengingatnya saja saya sedih rasanya.
Tidak berapa lama kami masuk kembali masuk ke rumah kontrakan, bapak mertua memanggil suami saya karena barang-barang kami yang di Bekasi ternyata sudah dalam perjalanan menuju rumah kontrakan yang  akan kami tempati. Ternyata seniat itu mertua saya ingin agar anaknya tidak jauh-jauh dari matanya. Sampai ia menyewa mobil box untuk membawa barang-barang milik kami.
Rumah kontrakan mertua memang ada 5 pintu. Â Entah ia menyuruh yang sebelah mana yang harus dikosongkan agar bisa kami tempati.Â
"Kalau saran Abeh, rumah yang di Bekasi kalian over credit saja. Uangnya untuk merenovasi kontrakan. Tiga pintu ini boleh kalian tempati. Mau tingkat atau apa terserah kalian". Kata bapak mertua saya lagi.
Saya terdiam mendengarnya.  Membayangkan rumah yang sudah dua tahun cicilannya berjalan, mengingat untuk mendapatkannya butuh effort karena saya harus menabung untuk uang  mukanya, dan bolak-balik ke bank demi pengajuannya, belum lagi mengingat sudah berapa rupiah yang  telah dikeluarkan untuk merenovasinya, belum lagi bapak dan ibu saya yang harus bolak-balik mengontrol tukang. Saya merasa mertua saya saat itu jahat sekali. Itu kan rumah atas nama saya (walaupun cicilannya suami yang membayar, hehe), seenaknya ia menyuruh saya menjualnyaÂ
Saya benar-benar bingung saat itu. Saya tidak tahu harus bilang apa pada ibu dan bapak saya.
"Nggak apa-apa sayang, berarti abeh sudah memberikan kontrakan ini pada kita. Harusnya kita bersyukur". Kata suami saya dengan entengnya. "kalau disatukan, kontrakan ini kan lebih besar dari pada rumah kita yang di Bekasi". Katanya lagi.
Kalau boleh memilih, saya lebih senang  tinggal di rumah kami sendiri dari pada rumah pemberian mertua saya. Rumah yang uang mukanya saya miliki dari hasil menabung. Saat itu saya benar-benar bingung.Â
"Kalau kita tinggal disini, aku kerjanya kan dekat sayang". Kata suami saya.Â
"Terus aku yang jauh". Kata saya pelan.Â
Suami saya diam. Terus saya berpikir. Selama berpacaran dengannya, saya merasa memang saya yang lebih mandiri ketimbang suami saya. Terlebih selepas kecelakaan yang  menimpa suami saya pada masa awal-awal berpacaran. Alhamdulillah fisiknya memang tidak ada perubahan, namun sepertinya ia jadi lebih cepat kelelahan. Mungkin itu juga yang membuat mertua saya ngotot kalau kami tidak boleh pindah dari rumahnya. Takut anaknya kenapa-kenapa kalau jauh dari pandangannya.