Mohon tunggu...
Heznie Wulandari
Heznie Wulandari Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar

Heznie Wulandari, S.Pd || Guru biasa yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cocoklogi Indigo Dan Mimpi

5 Januari 2024   20:10 Diperbarui: 5 Januari 2024   22:23 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sumber Istock

Saya selalu senang mendengar cerita  apapun tentang almarhum anak saya. Baik tentang ia yang datang ke mimpi abinya, ke mimpi kakek-neneknya.  Atau apapun itu, intinya senang sekali. Seperti pengobat rindu bagi saya. 

Almarhum anak saya meninggal bulan februari tahun 2022. Itu adalah hari dimana titik terendah bagi saya. Tapi saya belum siap untuk menceritakan kejadian yang menyakitkan itu (trauma kehilangan begitu susah dilupakan). Yang ingin saya ceritakan adalah 10 bulan setelah almarhum anak saya meninggal.

Tepatnya 17 Oktober 2022. Ahh itu adalah tanggal kelahiran anak saya, Hanif Fawwaz Hasyim. Dua tahun seharusnya usianya saat itu. Sebagai ibu yang anaknya baru satu (yang kemudian diambil lagi oleh Penciptanya) , ketika hari ulang tahunnya, saya tetap berniat mengenangnya. Saya membuat parcel makanan seperti anak-anak ulang tahun pada umumnya berisi makanan yang almarhum anak saya sukai, dan semua berwarna biru seperti warna kesukaannya (hehe sepertinya ini bisa-bisanya saya saja, mana mungkin anak usia 1,3 tahun sudah mengetahui warna favorit) lalu saya bagikan ke panti asuhan. Saat itu rencananya saya ingin juga bagikan parcel-parcel ini ke anak-anak tetangga dilingkungan saya tinggal. Tapi mengingat akan banyaknya komentar-komentar julid (mungkin hanya perasaan saya saja) akhirnya saya membagikan parcel makanan ke 2 panti asuhan. 

Saya menyisakan 10 parcel untuk teman-teman yang kebetulan mempunyai anak. Alhamdulillahnya mereka mau datang mengambil parcel-parcel itu walaupun rumah kami berjauhan. Sekalian bersilaturahmi, kata mereka. Kami benar-benar menghabiskan waktu sore itu, sekadar mengobrol ringan-ringan demi menghibur saya. 

Tibalah saat maghrib, para lelaki sholat di musholla ditemani suami saya, teman saya satu orang perempuan sholat bersama ketiga anaknya. "Sholat di kamar aja, Bu..". Kata saya, walaupun usianya lebih tua empat tahun saya memanggilnya ibu, karena anaknya sudah banyak hehe..   

"Disini, aja ceu". Kata Bu Ainun. Dia memanggil saya eceu, padahal saya tidak ada darah sunda. "Kamar itu privasi, kita sholat di ruang tamu aja". Katanya lagi.

"Enggak apa-apa. Kayak sama siapa aja, sih". Kata saya. "Emang di kamar ada anakku ya?". Kata saya bercanda. Setahu saya Bu Ainun ini indigo, tapi saya tidak pernah mengobrol apapun perihal 'kelebihannya' ini. Karena saya memang tipe orang yang percaya nggak percaya akan 'kelebihan' orang lain.

"Iya emang ada, ceu..". Katanya. 

Seperti yang saya bilang, saya paling senang mendengar apapun tentang anak saya. Maka ketika Bu Ainun bilang di kamar saya ada 'anak' saya, saya antusias sekali mendengarnya. 

"Ahh yang benar, bu?". Kata saya tidak percaya. Saya menangis saat mendengar 'anak' saya ada di rumah. Karena memang serindu itu pada almarhum.

"Sini..". Bu Ainun mengajak saya ke kamar saya. "Hanif lagi duduk disana. lucu banget". Kata Bu Ainun sambil menunjuk kasur saya. Jadi kasur saya itu kan lumayan tinggi karena memakai dipan,  menurut Bu Ainun 'anak' saya sedang duduk tersenyum  sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung di atas lantai. 

Ahh saya benar-benar menangis saat itu. Membayangkan anak saya dengan kaki mungilnya duduk di atas kasur tempat ia tidur dulu. . Kemudian Bu Ainun menyuruh saya duduk persis dihadapan 'anak' saya.  Saat itu saya sambil menangis, karena kenyataannya saya sedih karena saya tidak melihatnya.

"Ibuk jangan menangis..". Suara Bu Ainun pelan. "Ikhlasin aku..". Katanya lagi. "Aku suruh bilang gitu ceu sama Hanif". Kata Bu Ainun lagi. (saya menceritakan dan menulis ini sambil menangis lho) "Ibuk jangan sedih, 'kan nanti ada adik. Nanti aku yang jagain adik..". Kata Bu Ainun pelan. Melihat saya menangis, Bu Ainun ikut menangis saat itu. "Tapi adik aku beda, gak kayak aku". Kata Bu Ainun, menirukan suara 'anak' saya.

"Aku suruh tanyain ini ceu, abi kenapa marah-marah terus?". Kata Bu Ainun lagi. Abi (ayah, bapak) itu panggilan suami saya. 

"Bunda, sholat dulu..". Kata Zyheir anak Bu Ainun menyadarkan kami kalau ternyata Bu Ainun belum sholat.

Saat itu saya sedang tidak sholat, sambil menunggui Bu Ainun Sholat, saya memikirkan ucapan-ucapan Bu Ainun yang kata-katanya menirukan suara 'anak' saya. Saya sedih sekaligus senang.

"Anakmu dari jam lima sudah ada di kamar, ceu..". Kata Bu Ainun sambil melipat mukena. "Hari ini ulang tahunnya yang ke-2 kan ya?". Katanya lagi. "Dia memang suka pulang ceu, nengokin kamu". Bu Ainun pun menunjukkan tempat anak saya biasa bermain. Dan memang benar, semasa hidupnya pun anak saya bermain di tempat yang Bu Ainun tunjuk. 

"Bu Ainun, tadi bilang katanya anak aku mau punya adik?". Kata saya penasaran.

"Iya ceu, dia bilang gitu". Katanya lagi. "Cewek kali ceu adiknya, 'kan katanya beda sama dia". 

Ahh jujur apapun itu jenis kelaminnya, saat itu saya senang sekali mendegarnya.

"Kata Hanif, abinya kenapa marah-marah terus?". Selidik Bu Ainun.

Saat itu saya merasa suami saya sepertinya biasa saja. Justru kami saling menguatkan saat itu. Kami tidak sedang bertengkar

"Enggak kok Bu, biasa aja kayaknya deh..". Jawab saya.

Lalu saya penasaran bagaimana wajah anak saya saat itu. Karena saya benar-benar rindu. 

"Hanif bersih banget. kulitnya putih, tinggi dia ceu, setinggi Zyheir". Katanya menggambarkan wajah 'anak' saya saat itu.  Zyhier itu anak Bu Ainun yang usianya 6 tahun saat itu. "Ganteng ceu, pakai baju gamis putih kancing emas..". Ujar Bu Ainun. Saat masih hidup memang banyak yang bilang kalau Hanif besarnya nanti tinggi seperti abinya.

Intinya saat itu saya senang sekali. Bahkan ketika mereka sudah pulang saya masih merasa berbunga-bunga karena akhirnya saya bisa sedikit melepas rindu dengan 'anak' saya walaupun tidak bisa melihatnya. 

Sambil terus bertanya-tanya, apa maksud 'anak' saya bilang "Abi kenapa marah-marah terus". Padahal kenyataannya saya dan suami saya memang baik-baik saja. Saya terus memikirkan hal itu sampai akhirnya saya ingat satu hal. 

Semenjak kepergian anak kami, saya memang tidak keluar rumah selama lebih dari 40 hari. Selain orang tua saya yang selalu bolak-balik Bekasi-Jakarta demi menemani dan membawakan saya makanan, ada satu bibi dari suami saya ikut membantu saya beres-beres rumah. Bibi ini hanya bantu-bantu saya saja, namun tidak sampai menginap. Semenjak saya bekerja lagi, si bibi ini kadang sampai malam berada di rumah kami. Maunya suami saya, ketika suami saya sudah pulang dari bekerja, bibi ini pulang juga lah kerumahnya. Suami saya merasa tidak memiliki privasi di rumah, karena si bibi ini selalu berada di depan TV. Karena kesal suami saya selalu melampiaskannya dengan membanting pintu kamar sambil menggerutu tentang kelakuan bibinya tersebut.

Apakah itu yang dilihat 'anak' saya? abinya marah-marah membanting pintu. Kemudian saya sampaikan hal ini kepada suami saya. Awalnya saya tidak ingin begitu memikirkan ucapan-ucapan atau kejadian tersebut. Ingin meng-iyakan, saya takut syirik. Namun ketika ingin menyangkal, kok yang di katakan Bu Ainun benar semua. Saya jarang sekali curhat masalah pribadi saya dengannya, tapi kok seperti pas. Akhirnya suami saya bilang kita aamiin-kan saja. 

Ternyata dua bulan berikutnya saya masih datang bulan, artinya ucapan 'anak' saya yang akan punya adik seperti yang dikatakan Bu Ainun belum terjadi. Sampai waktu itu Januari tahun 2023. Saat itu saya terpaksa harus menumpang dengan teman sesama guru, Pak Randi namanya, guru paling muda di sekolah tempat saya mengajar. Saya menumpang sampai stasiun Kranji karena saya tidak membawa motor. Agar cepat sampai, Pak Randi ambil jalan tikus melewati gang kecil yang banyak anak-anak kecil sedang bermain. 

"Anak aku kalau masih hidup sebesar itu Pak". Kata saya saat itu 

"Iya, Bu.. segitu". Jawab Pak Randi. "Bu Hez ingat nggak, saat Bu Hez curhat sampai nangis tentang anak ibu di lab komputer waktu itu?". Kata Pak Randi. Iya saya ingat, saat itu jam kosong dan saya saya ke ruangan lab (Pak Randi guru TIK) karena saya butuh teman cerita.  

"Iya ingat, Pak. Emang kenapa?". Tanya saya penasaran.

"Saat ibu nangis, 'kan ada 'anak' ibu juga di sana. Dia bilang ibu harus ikhlas. Ibu nggak boleh sedih..". Jawab Pak Raldi.

"Masa, Pak?". Tanya saya lagi.  "Dia bilang apa lagi?". Saya semakin penasaran.

"Ibu harus ikhlasin Hanif, kan nanti ibu mau punya anak lagi". Ujarnya. "Udah bu, ikhlasin anak ibu. Biar Hanif tenang". Katanya lagi.

"Beneran Pak?". Saya masih tidak percaya. 

"Iya,Bu.. lihat aja, nanti ibu hamil lagi kok". Katanya lagi.

Saya tidak pernah menceritakan hal yang Bu Ainun sampaikan pada siapapun di sekolah tempat saya mengajar.   Tapi kok ucapan Pak Randi dan Bu Ainun sama. Padahal saya sudah mulai melupakan ucapan Bu Ainun, tapi kembali bersemangat ketika Pak Randi mengucapkan hal yang sama. Saya akan segera hamil kembali dan memberikan almarhum anak saya seorang adik.

Begitu sampai rumah, saya ceritakan lagi apa yang Pak Randi katakan tadi saat di motor menuju stasiun. Lagi-lagi suami saya bilang, "Kita aamiin kan saja sayang, makanya kamu jangan capek-capek ya". Kata suami saya.

Tanggal 8 Februari 2023 malam hari, kami mengadakan haul pertama atau satu tahun meninggalnya  almarhum anak saya. Saya mengundang beberapa ustadz dan bapak-bapak dilingkungan rumah saya. Pagi harinya, entah kebetulan atau memang ucapan teman-teman indigo saya benar apa adanya, saat itu saya telat datang bulan dan saat testpack alhamdulillah ada garis dua disana. Yang artinya adalah saya dipercaya untuk kembali hamil.

Saat tahu saya hamil, suami meminta saya untuk berhenti mengajar, ia ingin saya menjaga kehamilan dengan di rumah saja, tanpa memikirkan urusan sekolah. Namun saya memastikan bahwa mengajar bukan pekerjaan yang melelahkan (tidak melelahkan, tapi di rumahpun tetap dikerjakan, hehehe) Saat itu jadwal sekolah padat sekali. Karena beberapa kegiatan dilakukan hampir tanpa jeda. Ada field trip untuk pertama kalinya setelah covid, ada market day, Penilaian Tengah Semenster (PTS), Perkemahan Jum'at Sabtu (perjusa), Akreditasi Sekolah, dan acara keagamaan lainnya.

Saat itu bulan april, hari terakhir masuk libur lebaran, pulang dari buka puasa bersama dengan anak-anak murid di sekolah, saya ngeflek. Saya menangis dan menelepon suami saya yang sedang sholat tarawih. Saya katakan padanya kondisi saya, ada bercak darah sedikit di (maaf) underwear saya. Akhirnya agar tenang, saya pergi ke Bidan langganan saya untuk memeriksakan kondisi saya ini. Karena di bidan tidak ada jadwal USG, saya memutuskan untuk ke dokter esok harinya. Saya agak tenang ketika bidan mengatakan ini hal yang wajar, saya hanya disuruh bed rest saja.

Setelah ke dokter dan hasil USG menunjukan janin saya masih baik-baik saja,  saya cukup tenang.  Saya diresepi obat penguat kandungan dan dianjurkan untuk bedrest. Untungnya, sekolah sudah libur jadi saya bisa benar-benar bedrest di rumah. Di sela-sela masa istirahat saya, suatu malam saya bermimpi melihat makam anak kami dibongkar. Saya mengafirmasi diri saya, bahwa mimpi hanyalah bunga tidur, dan berusaha tidak memikirkan dan mencari tahu apa arti mimpi tersebut.

Ternyata Allah punya rencana lain dalam hidup saya. Qadarullah sehari menjelang lebaran alias malam takbiran, saya keguguran dan harus menjalani operasi kuretase (Nanti kapan-kapan saya ceritakan pengalaman saya yang nyaris saja kehilangan nyawa karena keguguran ini).

Setelah pulih dan dibolehkan pulang, saya dan suami deeptalk ceritanya,hehe.. Saya cocoklogi mimpi  dan ucapan teman-teman indigo saya. Mungkin ini yang dibilang 'Tapi adik aku gak kayak aku..',  Adiknya tidak seperti almarhum, karena memang adiknya masih berbentuk janin kecil berusia empat bulan, belum menjadi manusia. 'Nanti adik aku yang jaga' , Dan memang benar, karena janin adiknya saya kubur dalam satu makam bareng almarhum, dijaga oleh abangnya. Dan arti mimpi makam anak saya dibongkar, karena memang dibongkar atau digali untuk tempat adiknya dimakamkan..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun