Saya selalu senang mendengar cerita  apapun tentang almarhum anak saya. Baik tentang ia yang datang ke mimpi abinya, ke mimpi kakek-neneknya.  Atau apapun itu, intinya senang sekali. Seperti pengobat rindu bagi saya.Â
Almarhum anak saya meninggal bulan februari tahun 2022. Itu adalah hari dimana titik terendah bagi saya. Tapi saya belum siap untuk menceritakan kejadian yang menyakitkan itu (trauma kehilangan begitu susah dilupakan). Yang ingin saya ceritakan adalah 10 bulan setelah almarhum anak saya meninggal.
Tepatnya 17 Oktober 2022. Ahh itu adalah tanggal kelahiran anak saya, Hanif Fawwaz Hasyim. Dua tahun seharusnya usianya saat itu. Sebagai ibu yang anaknya baru satu (yang kemudian diambil lagi oleh Penciptanya) , ketika hari ulang tahunnya, saya tetap berniat mengenangnya. Saya membuat parcel makanan seperti anak-anak ulang tahun pada umumnya berisi makanan yang almarhum anak saya sukai, dan semua berwarna biru seperti warna kesukaannya (hehe sepertinya ini bisa-bisanya saya saja, mana mungkin anak usia 1,3 tahun sudah mengetahui warna favorit) lalu saya bagikan ke panti asuhan. Saat itu rencananya saya ingin juga bagikan parcel-parcel ini ke anak-anak tetangga dilingkungan saya tinggal. Tapi mengingat akan banyaknya komentar-komentar julid (mungkin hanya perasaan saya saja) akhirnya saya membagikan parcel makanan ke 2 panti asuhan.Â
Saya menyisakan 10 parcel untuk teman-teman yang kebetulan mempunyai anak. Alhamdulillahnya mereka mau datang mengambil parcel-parcel itu walaupun rumah kami berjauhan. Sekalian bersilaturahmi, kata mereka. Kami benar-benar menghabiskan waktu sore itu, sekadar mengobrol ringan-ringan demi menghibur saya.Â
Tibalah saat maghrib, para lelaki sholat di musholla ditemani suami saya, teman saya satu orang perempuan sholat bersama ketiga anaknya. "Sholat di kamar aja, Bu..". Kata saya, walaupun usianya lebih tua empat tahun saya memanggilnya ibu, karena anaknya sudah banyak hehe.. Â Â
"Disini, aja ceu". Kata Bu Ainun. Dia memanggil saya eceu, padahal saya tidak ada darah sunda. "Kamar itu privasi, kita sholat di ruang tamu aja". Katanya lagi.
"Enggak apa-apa. Kayak sama siapa aja, sih". Kata saya. "Emang di kamar ada anakku ya?". Kata saya bercanda. Setahu saya Bu Ainun ini indigo, tapi saya tidak pernah mengobrol apapun perihal 'kelebihannya' ini. Karena saya memang tipe orang yang percaya nggak percaya akan 'kelebihan' orang lain.
"Iya emang ada, ceu..". Katanya.Â
Seperti yang saya bilang, saya paling senang mendengar apapun tentang anak saya. Maka ketika Bu Ainun bilang di kamar saya ada 'anak' saya, saya antusias sekali mendengarnya.Â
"Ahh yang benar, bu?". Kata saya tidak percaya. Saya menangis saat mendengar 'anak' saya ada di rumah. Karena memang serindu itu pada almarhum.