Anggota Kelompok 4 HPII:
1. Hanifa Putri Auliya (222121010)
2. Alfian Apriansah (222121021)
3. Muhammad Nurul Fahmi (222121022)
4. Aswin Nur Ulinuha (222121037)
A. Maslah yang di hadapi ahli waris ketika pewaris meninggal dunia
1.Pembagian harta warisan: Pembagian harta warisan bisa menjadi rumit terutama jika tidak ada wasiat yang jelas atau jika ada konflik antara ahli waris.
2.Pajak warisan: Ahli waris mungkin harus membayar pajak atas harta warisan yang mereka terima, tergantung pada undang-undang pajak di negara mereka.
3.Utang pewaris: Utang yang ditinggalkan oleh pewaris bisa menjadi tanggungan bagi ahli waris, terutama jika harta warisan tidak mencukupi untuk membayar utang tersebut.
4.Administrasi warisan: Proses administrasi warisan, seperti memperoleh surat-surat dan dokumen-dokumen hukum yang diperlukan, bisa memakan waktu dan memerlukan biaya.
5.Konflik keluarga: Pembagian warisan seringkali menyebabkan konflik di antara ahli waris, baik itu karena perbedaan pendapat tentang pembagian harta atau karena masalah-masalah pribadi yang sudah ada sebelumnya.
B. Penyelesaian sengketa waris bila terjadi penguasaan harta waris pada salah seorang ahli waris
1.Mediasi: Para pihak yang terlibat dalam sengketa dapat mencoba menyelesaikannya melalui mediasi, di mana seorang mediator membantu mereka mencapai kesepakatan tanpa perlu melalui proses pengadilan.
2. Arbitrase: Dalam kasus di mana mediasi tidak berhasil, pihak-pihak yang bersengketa dapat memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, di mana seorang atau sekelompok arbiter akan membuat keputusan yang mengikat bagi semua pihak.
3.Pengadilan: Jika mediasi dan arbitrase tidak menghasilkan penyelesaian yang memuaskan, maka masalah tersebut dapat dibawa ke pengadilan untuk diputuskan oleh hakim berdasarkan hukum yang berlaku.
4.Pembagian secara adil: Dalam beberapa kasus, para ahli waris dapat mencapai kesepakatan untuk membagi harta waris secara adil di antara mereka tanpa melalui proses hukum formal.
5.Penyelesaian di luar pengadilan: Pihak-pihak yang bersengketa juga dapat mencoba menyelesaikan sengketa secara informal di luar pengadilan dengan bantuan penasihat hukum atau mediator.
C. Persoalan warisan sangat menjadi perhatian dalam hukum islam
    Persoalan warisan menjadi sangat penting dalam hukum Islam karena warisan merupakan salah satu aspek yang diatur secara rinci dalam Al-Quran dan Hadis, serta memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan masyarakat Muslim. Secara keseluruhan, persoalan warisan menjadi perhatian yang sangat besar dalam hukum Islam karena hal tersebut tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etika, keadilan, dan keharmonisan dalam masyarakat Muslim. Beberapa alasan mengapa persoalan warisan sangat diperhatikan dalam hukum Islam antara lain:
*Keadilan: Hukum waris Islam dirancang untuk memastikan bahwa harta pusaka dari seorang Muslim dibagikan secara adil di antara ahli warisnya. Prinsip keadilan ini tercermin dalam ketetapan yang jelas dalam Al-Quran dan Hadis tentang bagaimana harta warisan harus dibagi antara ahli waris sesuai dengan hubungan keluarga dan tanggung jawab mereka.
*Perlindungan Hak Ahli Waris: Hukum waris Islam melindungi hak-hak ahli waris, termasuk hak-hak perempuan sebagai ahli waris, yang seringkali tidak terjamin dalam sistem hukum waris tradisional di beberapa masyarakat.
*Pemberdayaan Ekonomi: Melalui pembagian warisan yang adil, hukum Islam berusaha untuk memperkuat ekonomi keluarga dan masyarakat, dengan memberikan akses yang setara terhadap sumber daya ekonomi kepada ahli waris.
*Pemeliharaan Kesejahteraan Sosial: Pembagian warisan yang adil juga berperan dalam memelihara kesejahteraan sosial, karena memastikan bahwa semua anggota keluarga mendapatkan bagian yang pantas dari harta pusaka, sehingga mengurangi potensi konflik dan ketidakadilan di antara mereka.
*Kehormatan dan Kedudukan Keluarga: Hukum waris Islam juga mencerminkan nilai-nilai kehormatan dan kedudukan dalam keluarga, dengan memberikan perhatian khusus terhadap kewajiban dan hak-hak anggota keluarga dalam pembagian harta warisan.
D. Penyelesaian aul dan radd
KHI juga mengatur  pembagian harta warisan Penyelesaian masalah dengan metode 'aul dan radd yang dijelaskan dalam artikel KHI juga demikian
Berikut penjelasan KHI mengenai "aul dan radd" seperti dikutip  Aul dalam KHI
Hukum waris Islam mengenal prinsip keadilan yang seimbang. Prinsip ini  juga dibahas dalam KHI, dan lebih tepatnya pada klausul tentang besarnya warisan yang diterima setiap ahli waris Pasal yang dimaksud adalah Pasal 176 dan  180 KHI Penyesuaian perolehan setelah selesainya pembagian warisan dapat dilakukan dengan menggunakan cara "semua"Â
Dengan kata lain, dengan memberlakukan kelangkaan suatu harta, maka harta itu dibagikan kepada ahli waris yang  berhak menurut bagian warisannya masing-masing Hal ini juga dijelaskan dalam Pasal 192 KHI yang meliputi: Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan secara 'aul menurut angka pembilang."
Selain "aul", Hukum Waris Islam  KHI juga membahas tentang Radd Adanya radd ini turut mewujudkan prinsip keadilan berimbang dalam pembagian akhir harta warisan Sebagaimana telah dijelaskan, ganti kerugian ini timbul dengan  mengembalikan  kelebihan harta kepada ahli waris sesuai dengan proporsi masing-masing ahli waris Seringkali terjadi perbedaan pendapat dalam radd ini tentang siapa yang berhak mendapatkan pengembalian danaÂ
Namun para ulama pada umumnya berpendapat bahwa hanya ahli waris saja yang berhak mendapatkan  pengembalian sisa hartanya Hal ini disebabkan karena pertalian darah, bukan  hubungan perkawinan Pembahasan mengenai Radd dapat ditemukan dalam KHI, dan lebih khusus lagi pada Pasal 193 KHI, yang berbunyi : Apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka."
E. Penyelesaian Sistem Penggantian Tempat dalam Waris
Penggantian Tempat diatur dalam Pasal 841 dan 842 KUH Perdata sebagai berikut:
Pasal 841 KUH Perdata
Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya.
Â
Pasal 842 KUH Perdata
Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hak, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.
Ahli waris karena penggantian tempat adalah ahli waris yang merupakan keturunan/keluarga sedarah dari pewaris,yang muncul sebagai pengganti tempat orang lain, yang seandainya tidak mati lebih dahulu dari pewaris.
Syarat-syarat penggantian tempat yaitu:
1.Orang yang digantikan tempatnya harus sudah meninggal dunia.
2.Penggantian tempat hanya terjadi bagi keturunan yang sah, dalam garis lurus kebawah tidak dibatasi karena penggantian tempat berlangsung bersama-sama atas jumlah harta warisan yang menjadi hak ahli waris yang telah meninggal.
3.Orang yang menggantikan ahli waris tidak dinyatakan tidak patut menerima harta warisan, jika ahli waris pengganti tidak patut dan ternyata menguasai sebagian/seluruh harta peninggalan atau berpura-pura sebagai ahli waris maka diwajibkan untuk mengembalikan harta yang dikuasainya beserta hasil dari harta itu.
Dalam hal penggantian tempat menurut KUHPerdata, ada 3 (tiga) macam penggantian tempat yaitu:
1.Penggantian dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus dengan tiada akhirnya. Tiadalah pergantian terhadap keluarga sedarah dalam garis menyimpang keatas, menyampingkan segala keluarga dalam penderajatan yang lebih jauh. Garis lurus ke bawah adalah keturunan anak, cucu, cicit dan seterusnya, tanpa membedakan melalui laki-laki ataupun perempuan dan tanpa pembatasan sampai derajat keberapapun.
2.KUHPerdata memperbolehkan adanya penggantian tempat dalam kelompok kedua ini terhadap anak-anak dari dua saudara atau lebih, anak-anak dari satu saudara mendapat waris bersama-sama dengan saudara yang lain, dan cucu dari saudara mendapat waris bersama-sama saudara yang lain.
3.Pergantian dalam garis menyimpang diperbolehkan juga bagi pewarisan bagi para keponakan, apabila disamping keponakan masih bertalian keluarga sedarah terdekat dengan si pewaris, masih ada anak-anak dan keturunan saudara laki atau perempuan darinya saudara-saudara mana telah meninggal lebih dahulu. Dalam pasal ini lebih dimungkinkan penggantian tempat- tempat dalam garis menyimpang yang lain, yaitu untuk anak-anak atau keturunan paman atau bibi pewaris.
Dari beberapa hal mengenai penggantian tempat terdapat pembatasan, pembatasan disebut dalam pasal 861 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
"keluarga sedarah, yang dengan si meninggal bertalian keluarga dalam garis menyimpang atau menyamping lebih dari derajat ke 6, tidak mewaris"
Merujuk pada pasal 847 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiada seorang pun diperbolehkan bertindak untuk orang yang masih hidup sebagai penggantinya. Penggantian tempat tetap dapat terjadi jika orang digantikan meninggal dunia terlebih dahulu, tidak dapat digantikan jika orang yang digantikan tersebut masih hidup pada saat warisan terbuka. Orang yang menolak warisan pun menurut pasal 1058 KUHPerdata, apabila seorang menolak warisan maka ia dianggap tidak pernah menjadi ahli waris, dan hak ahli waris tersebut jadi hapus ketika ia menolak warisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H