Mohon tunggu...
Hanifah Tarisa
Hanifah Tarisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gas Melon Kembali Langka, Kemana SDA Kita yang Kaya?

11 Januari 2024   22:07 Diperbarui: 12 Januari 2024   11:04 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gas Melon Kembali Langka, Kemana SDA Kita yang Kaya?

Oleh: Hanifah Tarisa Budiyanti S. Ag

Setelah rakyat disulitkan dengan langkanya BBM bersubsidi dan kenaikan harganya, kini rakyat kembali dipersulit dengan langka dan mahalnya gas LPG 3 kg bersubsidi. Akibat dari kelangkaan gas ini, banyak rakyat khususnya para Ibu Rumah Tangga (IRT) di Berau, yang mengeluhkan sulitnya mendapat gas elpiji. Kalaupun ada, harganya pun melonjak 2x lipat hingga menyentuh angka 32 ribu sampai 40 ribu untuk setiap satu gas 3 kilo.

Salah satu warga di Berau berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah terkait hal ini, karena kondisinya sudah sangat menyusahkan masyarakat dan merupakan kebutuhan pokok untuk saat ini. Wakil Ketua Komisi II, Wendie Lie Jaya, merespon hal ini dengan mengatakan bahwa kondisi ini disebabkan adanya oknum-oknum yang melakukan penyelewengan atau penyalahgunaan barang bersubsidi tersebut. Ia menegaskan bahwa Pemkab harus membentuk tim untuk membuat transparansi penyaluran barang bersubsidi tersebut. "Pemkab Berau harus bertindak tegas karena hal ini sudah berulang kali terjadi. Jangan hanya melakukan operasi pasar, sidak dan sebagainya." Tegas Wendie.

Kabag Ekonomi, Setkab Berau, Kamaruddin mengungkapkan, fenomena kenaikan dan kelangkaan gas elpiji disebabkan karena penyaluran gas yang tidak tepat sasaran. "yang berhak menerima gas melon itu orang yang tidak mampu. Karena memang disubsidi pemerintah untuk orang miskin. Namun nyatanya fenomena terbalik malah terjadi di lapangan. Di mana banyak orang yang memiliki kemampuan ekonomi baik di atas rata-rata penduduk miskin di Berau, malah berebut untuk mendapatkan jatah tabung gas melon. Hal itu yang kerap menjadi penyebab kelangkaan tabung gas di Berau." Ujar Kamaruddin.

Tak cukup di Berau, gas elpiji juga mengalami kenaikan dan kelangkaan di Penajam Paser Utara (PPU). Gas elpiji di PPU, mengalami kenaikan harga hingga menyentuh angka 40-50 ribu per tabungnya. Namun berdasarkan pantauan di lapangan, tidak ada pangkalan yang menjual gas melon di atas HET. Penyebab harga yang mahal tersebut kemungkinan disebabkan oleh para pengecer yang mencoba memanfaatkan situasi dan kondisi.

Oleh sebab itu untuk merespon beberapa peristiwa kelangkaan, mahal dan tidak tepat sasaran dalam penyaluran gas elpiji bersubsidi, kini pemerintah menetapkan pembelian gas elpiji 3 kg wajib menggunakan kartu tanda penduduk (KTP) mulai 1 Januari 2024. Harapannya, penyaluran gas melon menjadi lebih tepat sasaran untuk masyarakat yang kurang mampu (miskin).

Beberapa peristiwa di atas tentu menimbulkan tanda tanya besar. Ada apa sebenarnya penyebab langka dan mahalnya gas elpiji 3 kg yang berulang kali terjadi ini? Bukankah gas adalah kebutuhan pokok rakyat yang wajib disediakan oleh negara? Jika pembelian gas elpiji harus disertai KTP, artinya hanya penduduk yang tercatat saja yang bisa mendapatkan gas elpiji 3 kg. Sedangkan penduduk yang tidak tercatat, tidak akan mendapatkannya. Akhirnya, mereka harus membeli gas elpiji pink yang harganya tentu tidak murah.

Ada Kesalahan Regulasi

Penyebab gas elpiji 3 kg yang mahal dan langka, setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor. 

Pertama, penimbunan. Adanya ketidaksinkronan dari pihak agen dan penyalur menyebabkan gas elpiji 3 kg yang telah disalurkan mengalami penahanan oleh oknum-oknum warga yang memanfaatkan kondisi kelangkaan gas ini dengan menimbun. Akhirnya ketika di lapangan, gas sulit didapat dan baru dimunculkan dengan harga yang jauh lebih mahal. Masyarakat yang sudah putus asa dan sangat membutuhkan gas tersebut untuk kebutuhan memasak, akhirnya mau tidak mau harus membeli walau harganya mencekik. 

Kedua, Keterlambatan pengantaran distribusi. Seperti yang telah disampaikan bahwa adanya kelangkaan gas elpiji 3 kg disebabkan keterlambatan pengiriman ke pangkalan karena adanya hari libur natal 2023 dan tahun baru 2024. Namun anehnya keterlambatan penyaluran gas ini sering kali terjadi di luar hari libur dan ketika disalurkan pun justru malah diselewengkan oleh beberapa oknum.

Akan tetapi, kedua faktor penyebab gas langka tersebut sesungguhnya disebabkan oleh faktor utama yaitu kesalahan regulasi pemerintah dan pengurangan kuota untuk mengurangi subsidi. Jika kita mau mengkritisi, saat ini pemerintah hanya sekedar menjadi regulator yang tugasnya membuat pengaturan pada distribusi gas elpiji 3 kg saja namun tidak cukup berani untuk turun tangan langsung melihat kondisi riil masyarakat yang sering mengeluh akan langka dan mahalnya gas melon.

Pemerintah hanya sekedar membuat kebijakan subsidi gas melon yang hanya ditujukan untuk rakyat kecil atau pelaku UMKM. Sedangkan rakyat yang dinilai mampu tidak diperbolehkan membeli. Padahal mereka juga sama-sama rakyat yang harusnya memiliki hak yang sama dalam mengakses kebutuhan pokok seperti gas. Apalagi kondisi ekonomi hari ini yang serba sulit, tidak menjamin masyarakat akan terus mampu. 

Seharusnya jika pemerintah menyediakan gas dengan jumlah yang cukup dan rata, maka setiap rakyat seharusnya bisa mendapatkan gas dengan mudah dan terjangkau. Namun nampaknya ada kesengajaan dari pemerintah untuk mengurangi kuota gas bersubsidi agar rakyat terbiasa membeli barang non subsidi hingga tidak menutup kemungkinan di masa depan semua barang bersubsidi akan dihilangkan.

Bahkan, selain sekedar menjadi regulator, pemerintah juga menjadi fasilitator yang tugasnya memfasilitasi investor untuk menguasai kekayaan alam seperti minyak dan gas secara serakah dan serampangan. Padahal tercatat bahwa Indonesia adalah negara pengekspor gas alam terbesar di dunia. Potensi cadangan gas di Indonesia lebih besar daripada minyak bumi. Namun saying kekayaan alam yang besar ini justru bukan dimiliki oleh rakyat melainkan pihak asing atau swasta akibat sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan negara hari ini.

Oleh karenanya perlu solusi fundamental dalam mengatasi persoalan gas yang langka dan mahal ini agar rakyat tidak terus menerus hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan. Bagaimana solusi tersebut?

Islam Solusi Fundamental

Sebagai agama yang komperehensif, Islam telah menurunkan seperangkat aturan untuk memuliakan kehidupan manusia agar berjalan seimbang dan tidak menimbulkan kerusakan. Namun jika hari ini justru banyak kerusakan dan kezaliman, artinya Islam tidak digunakan sebagai acuan untuk menyelesaikan persoalan.

Dalam hal pengelolaan sumber daya alam seperti gas, Islam telah memberikan aturan bahwa seluruh SDA adalah harta milik umum yang pemanfaatannya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat semata. Bukan justu diserahkan kepada asing yang akhirnya hasil pengelolaanya hanya berputar di kalangan mereka. Hal ini telah ditegaskan dalam hadis Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:

"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadis di atas telah menunjukkan bahwa SDA haram untuk dimiliki secara pribadi. Negara mesti mengelola sendiri dan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Baik berupa subsidi kebutuhan pokok atau kebutuhan rakyat lainnya. Gas elpiji yang merupakan kebutuhan pokok rakyat, sudah semestinya diberikan oleh negara secara mudah, murah dan tidak perlu dengan administrasi yang sulit. Semua warga negara berhat mendapatkan tanpa terkecuali.

Selain itu negara juga memastikan tidak ada penimbunan yang dilakukan oleh warganya karena semua warga telah tercukupi kebutuhannya. Sebagaimana hadis Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam:

"Siapa saja yang menimbun, dia berbuat kesalahan." (HR Muslim). Al-Muhtakir (orang yang menimbun) adalah orang yang mengumpulkan barang, menunggu harganya mahal, lalu dia jual dengan harga tinggi. Maka solusi mengatasi masalah penimbunan adalah penimbun dijatuhi sanksi ta'zir yang ditentukan oleh Khalifah. Dia dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya kepada konsumen dengan harga pasar, bukan dengan dipatok harganya oleh negara.

Demikianlah solusi fundamental Islam dalam mengatasi persoalan gas yang langka dan mahal. Tentunya paradigma kepemimpinan politik dalam Islam adalah mengurusi umat sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang kapabilitas, bertakwa dan senantiasa menunaikan amanah kepemimpinan dengan maksimal karena takut akan pertanggungjawaban Allah kelak di akhirat. Bukan seperti pempimpin dalam sistem demokrasi kapitalis yang menjadikan paradigma mengurusi umat adalah beban yang akhirnya sulit memenuhi kebutuhan rakyatnya sendiri. Masihkah kita sudi ditipu berulang kali oleh sistem demokrasi yang zalim ini? Wallahu 'alam bis shawab.

Sumber: Koran Swara Kaltim Edisi 11 Januari 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun