Hari ini, sekolah sedang memperingati Hari Bumi sehingga seluruh muridnya berlomba-lomba untuk membuat poster tentang Hari Bumi.
Kevin yang melihat hal ini pun sangat kesal. "Buat apa coba merayakan hari bumi ? Kayak gak ada kerjaan aja, mendingan belajar untuk UN," Gerutu kevin yang masih berada di jenjang SMP.
Kevin dikenal sebagai anak bandel dan manja di sekolahnya. Apalagi sekarang dia sudah menjadi senior, tingkah lakunya semakin tidak karuan. Lihat saja sekarang, setelah bel pulang sekolah berbunyi, kevin menghampiri salah satu adik kelasnya, kemudian dia merebut dan merobek poster yang bertuliskan 'go green' yang digenggam oleh adik kelas tersebut. Sontak, hal itu mengundang kerumunan anak-anak yang penasaran dengan hal yang terjadi.
"Sebagai kakak kelas yang baik, aku cuman ingin bilang kalau semua hal ini tidak ada gunanya. Jadi, tolong berhenti melakukan hal bodoh seperti ini. Memangnya bumi itu orang ? Hari ulang tahunnya dirayakan. Lagian kita juga sedang hidup di masa dimana teknologi sudaah sangat canggih dan memungkinkan untuk menyelesaikan semua permasalahan di bumi. Dasar generasi mecin," bentak Kevin.
Setelah menyelesaikan urusannya di sana, Kevin menghampiri Marsha yang sudah menunggunya di pintu gerbang untuk menuju ke rumah Kevin. Kevin segera mengajaknya pergi ke rumanya.
Marsha adalah anak perempuan sederhana dan lugu. Ia sudah berteman dengan Kevin sejak mereka duduk di bangku SD. Dari pertama kali mereka bertemu mereka sudah sangat lengket, bagaikan amplop dan prangko. Marsha selalu mendukung Kevin, meskipun tindakannya salah.
Hari ini, mereka berencana untuk pergi ke rumah Kevin untuk melihat TV baru milik Kevin. Bapaknya baru saja membelikan Kevin TV baru yang sangat diidamkan anak-anak lain pada masa itu. Orangtua Kevin adalah pengusaha berkantong tebal. Maka dari itu, Kevin tumbuh menjadi anak yang manja.
Sebelum pergi ke rumah kevin, mereka berhenti di sebuah warung untuk membeli camilan. Saat di perjalanan, Kevin menghabiskan camilan tersebut dan membuang sampahnya ke selokan. Marsha yang melihatnya hanya diam saja, lagipula tidak ada hal yang bisa ia lakukan juga.
Setelah sampai di rumah Kevin, mereka langsung menuju ke ruang tamu. Mereka duduk di salah satu sofa panjang yang dapat memuat 5 orang.
Kevin segera mengambil remote TV barunya dan mencoba menyalakannya. Tetapi hasilnya nihil. TVnya tidak mau menyala. Kemudian Kevin membantingnya dan memungutnya kembali, tetap tidak membuahkan hasil. Kali ini, Kevin mencoba menekan semua tombol satu persatu. Sampai akhirnya ia menekan tombol bergambar panah ke atas.
Tiba-tiba terdengar suara yang memekikkan telinga sampai-sampai membuat telinga keduanya terasa sakit. Pandangan mereka mulai memburam, mereka tidak bisa melihat apa-apa lagi, hanya warna hitam saja yang memenuhi pandangan mereka. Kemudian, mereka merasakan tarikan yang sangat keras, mereka seakan-akan tersedot ke dalam lubang hitam besar. Udara di sekitar mereka sangat mencekat dan dingin. Mereka merasa seperti meluncur ke dalam terowongan gelap dan dingin. Mereka berusaha untuk berteriak, tetapi percuma saja karena mereka berkecepatan sangat tinggi, seperti sedang menaiki roket.
Akhirnya semua sensasi tersebut berhenti. Indra penggeliatan mereka mulai bekerja kembali. Mereka masih berada di tempat yang sama, di rumah Kevin tetapi beberapa furnitur rumahnya ada yang berbeda.
"Apa yang sebenarnya terjadi Vin ?" Tanya Marsha.
Belum sempat Kevin menjawab, tiba-tiba datanglah seorang pria berperawakan tinggi dan gagah sambil membawa bayi yang kemungkinan adalah anaknya.
Kevin dan Marsha samakin kebingungan, karena pria tersebut sangat mirip dengan Kevin, tetapi umurnya lebih tua 10 tahun lebih. Jadi, kemungkinan besar mereka saat ini sedang berada di masa depan. Menurut perhitungan mereka dengan melihat wajah Kevin versi masa depan, mereka sedang berada di tahun 2030an.
Anehnya, Kevin versi masa depan tidak bisa melihat mereka, seolah-olah mereka adalah hantu yang tidak nampak.
Marsha dan Kevin mematung di tempat, masih bingung dengan keadaan yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke luar rumah. Mereka terkejut dengan apa yang mereka temukan. Sepanjang mata memandang, mereka hanya menemukan tanaman layu. Dedauan rontok bertebaran dimana-mana. Suhunya pun sangat panas, mungkin sekitar 50* lebih. Udara yang mereka hirup juga sangat menyesakkan.
Kevin bertukar tatapan dengan Marsha dan mendekatkan dirinya dengan Marsha. Lalu, Kevin kembali memnekan tombol yang sama. Sensasi tadi terulang kembali.
Kali ini mereka melihat anak perempuan, mungkin sekitar umur 10 tahunan sedang menonton TV. Kemungkinan anak itu adalah bayi yang sebelumnya mereka lihat, jadi seharusnya sekarang mereka sedang berada di tahun 2040. Anak itu menyalakan salah satu saluran berita lokal. Sang Reporter membawakan beberapa berita. Marsha dan Kevin tercengang karena gambar yang mereka saksikan sangat mengerikan. Kabakaran hutan yang melanda seluruh negeri, demo terhadap pemerintah yang dilakukan oleh seluruh lapisan masyarkat, pembunuhan yang merajalela di setiap tempat, semua itu dilakukan karena bumi ini tengah kekurangan air bersih, sehingga harga air bersih melonjak.
Marsha mulai menitikkan air mata, hal yang mereka tonton sungguh merupakan masalah besar dan tidak bisa diabaikan, apalagi anak yang masih berusia 10 tahun pun sudah menganggapnya biasa. Kevin yang melihat Marsha menangis segera mengelap air matanya dan menggandengnya menuju ke kamar orangtua Kevin. Kevin berharap ia bisa menemukan kedua orangtuanya, tetapi ia malah dihadapkan oleh kenyataan yang pahit. Kamar orangtuanya sudah kosong dan berdebu, ini artinya kedua orangtuanya sudah meninggal.
Marsha yakin Kevin merasa tertekan, maka ia mengencangkan genggaman tangannya dengan Kevin.
Tanpa mereka sadari, matahari sudah tenggelam. Suara pintu depan yang terbuka mengagetkan keduanya. Mereka bisa melihat Kevin versi masa depan yang rambutnya sudah mulai dipenuhi uban memasuki rumah.
"Nii... aku pulang," kata Kevin versi masa depan memanggil istrinya. Mendengar hal itu, Marsha kecewa setengah mati.
Walaupun mungkin Kevin tidak menyadarinya, tetapi Marsha selama ini diam-diam menyimpan perasaan untuk Kevin, tetapi ia berusaha sekuat mungkin agar tidak menunjukkannya karena Marsha yakin Kevin hanya menganggapnya sebatas sahabat. Tapi Marsha selalu berharap agar Kevin tidak menganggapnya sebagai teman. Jadi, setelah mendengar Kevin versi masa depan memanggil istrinya dengan panggilan Ni, pupuslah harapannya, karena nama Marsha sama sekali tidak mengandung unsur Ni. Perasaanya campur aduk. Baru saja ia menangis, tetapi sudah dibuat tambah sedih. Marsha segera melepas genggaman tangan Kevin. Toh mereka akhirnya juga tidak akan menjadi pasangan, jadi untuk apa bergandengan.
Kevin yang menyadari ketidaknyamanan Marsha segera menekan tombol yang sama. Sensasi tadi terulang kembali, tetapi kali ini mereka dihadapkan dengan kenyataan yang lebih pahit.
Rumah Kevin sudah seperti kapal pecah. Jendela rumahnya pecah. Semua furnitur berserakan di lantai. Debu melapisi semua barang, yang menandakan rumah ini sudah tidak dihuni dalam kurun waktu yang cukup lama.
Marsha melihat ke arah jam digital yang menyertakan tahun.
  Sekarang tahun 2060.
  Untuk menghilangkan rasa sesak, mereka memutuskan untuk keluar rumah. Tetapi hal yang mereka lihat malah menambah kadar sesak keduanya.
Di sepanjang jalanan, mereka melihat sekerumunan orang yang saling berteriak, memukul, menginjak, dan menyakiti satu sama lain hanya untuk mendapatkan setetes air yang semakin langka. Jarak pandang mereka mungkin hanya sebatas 1 m, karena tebalnya asap di udara. Keadaan bumi ini sangat kacau.
Hal ini membuat Marsha mundur beberapa langkah, lalu ia merasa menginjak sesuatu yang empuk. Saat ia melihat ke arah pijakan kakinya, ia melihat jasad yang sudah membusuk tergeletak di bawahnya. Sontak Marsha berteriak. Ia mulai menangis tidak karuan.
"Vin, aku mau pulang. Semua ini mebuatku muak. Tolong Vin, bawa aku pulang," kata Marsha diiringi isak tangis.
"Sedang aku usahakan Sha, sabar ya," Kevin yang merasa bertanggung jawab atas semua ini sangat tertekan. Apalagi saat melihat keadaan Marsha yang sangat menderita.
Setelah berpikir selama beberapa menit, akhirnya Kevin menekan tombol start berwarna merah, ia berharap semoga hal ini dapat membuat mereka kembali ke awal.
Keberuntungan berada di pihak mereka. Mereka mulai merasakan sensasi yang sama dan akhirnya mereka kembali berpijak di ubin rumah Kevin.
Ingin rasanya Marsha memeluk Kevin erat-erat, tapi apa boleh buat, Ibu Marsha sudah memanggil Marsha terlebih dahulu sehingga tidak menyisakan waktu di antara mereka berdua.
"Sha... kamu kemana aja ? Dari tadi Ibu cariin. Malu sama Tante Keenan. Sudah yuk, kita pulang. Sudah Maghrib. Pamali keluar maghrib-maghrib," kata Ibu Marsha panjang lebar. Ibu Keenan yang merupakan ibunda dari Kevin hanya bisa tersenyum dan merangkul pundak kevin.
Sebelum menghilang dari pandangan Kevin, Marsha menoleh ke belakang dan menatap Kevin. Kemudian Marsha mengucapkan terimakasih tanpa bersuara.
 Â
***
  Sejak kejadian tersebut, Marsha dan Kevin mulai menjaga lingkungan dan mengikuti beberapa kegiatan dalam rangka untuk melindungi bumi. Semua temannya di sekolah sangat heran dengan tingkah laku keduanya. Dari yang tadinya sangat membenci dan selalu mengotori bumi menjadi sangat peduli dan menyayangi bumi. Marsha dan Kevin tidak terlalu memedulikan semua tatapan aneh orang-orang. Toh, mereka sudah kapok dan tidak ingin melihat hal yang sama dua kali.
  Hal ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi Marsha dan Kevin. Mereka belajar bahwa mau secanggih apa pun teknologi, mereka harus selalu kembali melihat ke diri sendiri karena hanya manusia lah yang dapat memperbaiki bumi dan mencegah kerusakan pada bumi.
***
  Hari ini, setelah Marsha dan Kevin melakukan seluruh kegiatan yang dapat membantu melestarikan bumi, mereka meluangkan waktu untuk melihat tenggelamnya matahari di balkon rumah Kevin. Tidak tahu mengapa, hari ini matahari terlihat tenggelam dengan cara yang lebih anggun dari biasanya. Langit yang berwarna merah keungu-unuguan menemani obrolan ringan keduanya.
  " kita beruntung ya, masih bisa melihat hijaunya pepohonan, menghirup udara segar dan menikmati indahnya bumi ini. Seperti matahari terbenam ini, apalagi kalau ada kamu. Semoga aja anak cucu kita juga bisa ngerasainnya. Iya kan Bunny ?" Kata Kevin sambil menarik bibirnya membentuk sebuah senyuman.
  "Iya, aku setuju sama kamu. Tapi jangan manggil aku Bunny lagi dong. Kesannya kamu seperti memanggil kelinci," balas Marsha dengan cemberut, tetapi berhasil membuat Marsha tersenyum dalam hati.
  "Kamu memang bukan kelinci, tetapi karena imutnya kamu seperti kelinci, mulai sekarang aku akan memanggil kamu Bunny. Lagipula masa aku tidak mempunyai nama panggilan sayang untuk sahabatku sendiri. Oke ya Ni..." kata Kevin yang akhirnya diikuti dengan senyuman dari Marsha. Ya, Kevin baru saja memanggil Marsha dengan panggilan Ni.
 Â
  Pada tahun ini, tahun 2018.
  Dua remaja sedang memandangi indahnya matahari terbenam di sebelah ufuk barat. Berandai-andai memikirkan masa depannya dalam keheningan yang damai.
  Semoga saja mereka dapat melihat ratusan matahari tenggelam lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H