Citra diri positif ini dapat terbentuk ketika lansia aktif terlibat dalam interaksi sosial. Keterlibatan dalam komunitas juga membantu lansia untuk memperkuat rasa optimisme dan citra diri positif, meningkatkan kualitas hubungan sosial, dan membantu mereka untuk tetap aktif dan terlibat dalam masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan lansia dalam komunitas dapat membantu mereka untuk melawan ageisme. Lansia yang memiliki citra diri positif terbukti lebih bahagia dan sehat.
Selain itu, upaya penanganan dari berbagai kalangan seperti pekerja sosial, dokter, petugas kesehatan masyarakat, konselor, dan pendeta agama dapat berperan dalam mengurangi dampak negatif pada stereotip negatif terhadap penuaan (ageism) terhadap kesehatan lansia. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, para profesional ini perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri tentang ageism.Â
Mereka harus bisa mengenali dan menghindari tindakan diskriminasi usia dalam lingkungan kerja mereka (Martinson & Berridge, 2014). Mereka bisa mulai dengan merubah perilaku mereka sendiri dan angkat bicara ketika melihat adanya diskriminasi dan stereotip negatif terhadap lansia. Dengan bersikap proaktif, mereka turut ambil bagian dalam mengurangi ageism, bukannya diam saja dan membiarkan keadaan seperti biasa.Â
Kedua, para profesional penolong bisa menjadi teladan bagi rekan kerja, klien, teman, dan keluarga dalam bersikap dan berperilaku tanpa memandang usia. Ketiga, para profesional ini bisa bekerja sama dengan individu, kelompok, dan organisasi lain untuk membuka diskusi tentang ageism dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lansia.Â
Memfasilitasi diskusi tentang ageism sangat penting, karena lansia mungkin tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pengalaman mereka menghadapi ageism tanpa dicemooh, diabaikan, atau diremehkan oleh orang yang tidak menyadari bahwa ageism adalah bentuk diskriminasi yang berbahaya.
Keempat, para profesional penolong dapat mendukung lansia dalam menuntut kebebasan, rasa hormat, dan pengakuan sebagai anggota masyarakat yang berharga. Mereka bisa mendukung perjuangan hak-hak lansia dengan cara terbuka dan menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan hak-hak tersebut dihormati. Terakhir, para profesional ini dapat mendorong analisis kritis terhadap kebijakan, praktik, dan budaya di organisasi mereka, bidang mereka, dan di tingkat nasional.Â
Selain pemberian intervensi terhadap lansia, penting juga untuk memberikan pemahaman terkait ageism ini kepada generasi muda sebagai bentuk upaya penolakan terhadap ageism. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti edukasi penuaan untuk generasi muda dan program interaksi sosial antargenerasi dapat membantu mengurangi ageism dan meningkatkan kesejahteraan psikologis lansia (Nelson, 2005).
Upaya-upaya di atas perlu dilakukan secara berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga masyarakat luas. Dengan demikian, diharapkan ageisme dapat dikurangi dan lansia dapat hidup sejahtera dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Daftar PustakaÂ
Allen, J. O. (2016). Ageism as a risk factor for chronic disease. The Gerontologist, 56(4), 610-614.
Ayalon, L., & Gum, A. M. (2015). The relationships between major lifetime discrimination, everyday discrimination, and mental health in three racial and ethnic groups of older adults. Aging & mental health. Vol.15