Mohon tunggu...
Hanifa Asya Fitri
Hanifa Asya Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Enthusiastic and committed professional with a Bachelor's degree in Psychology and passionate about fostering individual development among children, adolescents, and in the realm of human resource development. Skilled in counseling, psychological assessment, administration, job analysis, organizational support, and data management. Experienced with developing stimulation and psychoeducation programs, also Google Workspace, and Microsoft Office. Strong interpersonal skills with a proven ability to support employee growth and contribute to a positive work environment. Eager to leverage academic knowledge and diverse experiences to interpersonal skills in Human Resources and organizational development.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengaruh Ageism terhadap Keberlangsungan Hidup Lansia

21 Juni 2024   20:21 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:35 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu contoh bentuk ageism berupa diskriminasi yang terjadi pada lansia ialah pengalaman akan perlakuan tidak adil yang didasari oleh usia (ageism) yang memberikan dampak terhadap kesehatan mental lansia. Ageism mirip dengan diskriminasi lainnya seperti rasisme dan seksisme, yang bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. 

Minority Stress Theory (MST) yang dikemukakan oleh Meyer (2003) menjelaskan bahwa menjadi bagian dari kelompok yang di-stigmatisasi bisa menyebabkan pengalaman negatif seperti diskriminasi dan prasangka. Hal ini kemudian memicu stres dan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Berbeda dengan rasisme yang dialami sejak lahir, ageism baru dialami pada usia tertentu dan bisa disembunyikan sementara. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pandangan negatif terhadap penuaan pada lansia  dapat berdampak buruk pada kesehatan jangka pendek dan panjang. 

Lansia dengan pandangan negatif terhadap penuaan cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih buruk (Levy, Slade, & Kasl, 2002), pulih dari penyakit lebih lambat (Levy, Slade, May & Caracciolo, 2006), dan memiliki rata-rata rentang hidup yang lebih pendek ( Levy & Myers, 2005; Levy, Slade, Kunkel, & Kasl, 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara pengalaman ageism dengan gejala depresi dan kecemasan (Kessler, Mickelson, & Williams, 1999). Bahkan ada penelitian yang menunjukkan pengalaman ageism bisa memprediksi peningkatan gejala depresi di masa depan (Luo et al., 2013).  Selain itu, diskriminasi lain yang dialami sebelumnya (misalnya seksisme) mungkin membuat lansia lebih siap menghadapi ageism. Namun, mengalami ageism bersamaan dengan diskriminasi lain (misalnya karena orientasi seksual) bisa menimbulkan efek yang lebih buruk (Wight, LeBlanc, De Vries, & Detels, 2012).

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa lansia yang mengalami ageism memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalaminya. Hal ini menunjukkan bahwa ageism adalah salah satu faktor risiko yang signifikan bagi kesehatan mental lansia (Pascoe & Richman, 2009). 

Selain mempengaruhi kesehatan mental, perilaku ageism dapat mengganggu fungsi kognitif dan kemampuan fisik lansia (Lamont dkk, 2015). Dampak ageism yang lebih parah termasuk penurunan kesehatan mental, peningkatan morbiditas, kematian dini (Levy dkk, 2006), depresi, kesepian (Wilson dkk, 2019), dan marginalisasi (Vitman dkk, 2014).

Ageisme merupakan masalah yang kompleks dan tidak dapat diatasi hanya pada tingkat individu. Diperlukan upaya kolektif dari semua kelompok umur untuk memerangi ageisme, karena ini adalah bentuk prasangka yang tertanam dalam masyarakat dan berdampak di berbagai bidang kehidupan. 

Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul pada lansia, diperlukan upaya bersama untuk memahami ageisme dan dampaknya untuk meningkatkan kesadaran dan melawan prasangka terhadap lansia. Setiap keluarga perlu untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua usia untuk melindungi hak-hak lansia dan meningkatkan kualitas hidup mereka. 

Namun, upaya intervensi melalui keluarga saja belum cukup untuk mengatasi masalah-masalah ini (Kemenkes, 2020). Layanan berbasis komunitas yang melibatkan lansia dalam kegiatan positif seperti kelompok pengajian, kesenian, dan senam lansia dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kualitas hidup mereka (Romadlani, 2013). 

Dengan tersedianya layanan komunitas tersebut, diharapkan lansia dapat membangun citra diri yang positif, memiliki rasa harga diri, dan tetap berkontribusi bagi masyarakat. Hal ini dapat membantu melawan stereotip dan diskriminasi usia tua (ageisme). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun