Mohon tunggu...
Hanifa Asya Fitri
Hanifa Asya Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Enthusiastic and committed professional with a Bachelor's degree in Psychology and passionate about fostering individual development among children, adolescents, and in the realm of human resource development. Skilled in counseling, psychological assessment, administration, job analysis, organizational support, and data management. Experienced with developing stimulation and psychoeducation programs, also Google Workspace, and Microsoft Office. Strong interpersonal skills with a proven ability to support employee growth and contribute to a positive work environment. Eager to leverage academic knowledge and diverse experiences to interpersonal skills in Human Resources and organizational development.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengaruh Ageism terhadap Keberlangsungan Hidup Lansia

21 Juni 2024   20:21 Diperbarui: 21 Juni 2024   20:35 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam menjalani kehidupan, manusia akan melewati berbagai tahapan, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Lansia atau orang lanjut usia merupakan tahapan terakhir dalam siklus kehidupan manusia. Hampir semua individu akan mencapai tahap ini, menapaki masa hidup terakhir manusia. 

Data Sensus Nasional tahun 2022 menunjukkan bahwa 10.48% penduduk Indonesia adalah lansia. Para ahli sosial yang mempelajari penuaan mengklasifikasikan usia lansia menjadi tiga bagian: lansia muda (65-74 tahun), lansia pertengahan (75-84 tahun), dan lansia tertua (85 tahun ke atas) (Papalia, 2009).

Memasuki masa lansia, individu akan mengalami penurunan fungsi psikologis, fisik, dan sosial secara perlahan seiring berjalannya waktu. Penurunan fungsi tersebut membuat lansia sering kali kehilangan eksistensi diri karena dianggap lemah, tidak mandiri dan dinilai tidak berdaya (Fitri, 2021).

 Hal ini membuat masyarakat meminimalisir keterlibatan lansia dalam lingkup kerja di lingkungan sosial, sehingga memunculkan stereotip dan diskriminasi terhadap orang-orang yang telah lanjut usia. Stereotip dan diskriminasi  ini dikenal juga dengan Ageism (Butler, 1969).

Menurut Iversen (2009), Ageism merupakan suatu bentuk prasangka, diskriminasi, dan stereotip baik dalam bentuk positif maupun negatif yang diberikan kepada orang yang lebih tua berdasarkan usianya, umumnya ditujukkan untuk orang lanjut usia yang dikaitkan dengan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Perilaku dan sikap ageism yang negatif sering kali mengarah pada perlakuan negatif terhadap lansia. 

Meskipun ageisme dapat terjadi pada semua kelompok usia, lansia terbukti berisiko lebih tinggi untuk mengalaminya dan menderita dampak negatifnya (Ayalon, 2015). Iversen (2009) mengklasifikasikan ageism menjadi tiga komponen: stereotip, prasangka, dan diskriminasi.

Yang pertama adalah stereotip. Stereotip adalah stereotip adalah anggapan yang tidak teruji kebenarannya atau pelengkap berlebihan yang dikaitkan dengan sebuah kategori yang umumnya bersifat negatif. Stereotipe ini tersebar luas dan mengakar dalam konteks verbal, tertulis, dan visual di masyarakat. 

Stereotip tentang suatu kelompok tertentu memiliki pengaruh kuat terhadap cara mereka berpikir, berinteraksi dengan orang lain di kelompok tersebut, dan juga bagaimana mereka memandang diri mereka sendiri. Stereotip dalam ageism meliputi asumsi dan generalisasi tentang bagaimana orang tua atau orang di atas usia tertentu seharusnya berperilaku, dan apa yang mungkin mereka alami, tanpa mempertimbangkan perbedaan individu atau keadaan unik mereka. 

Contoh stereotip yang umum diterima oleh lansia seperti lansia yang digambarkan sebagai orang yang sakit-sakitan, kesepian, bergantung pada orang lain, dan memiliki fungsi fisik dan mental yang buruk. Meskipun stereotip umumnya bersifat negatif, ada pula stereotip yang bersifat positif, seperti anggapan bahwa lansia dapat memberikan nasihat karena sudah memiliki pengalaman hidup yang panjang. 

Hal yang perlu diingat adalah bahwa pengalaman yang dilalui oleh setiap orang pada lansia itu berbeda-beda, sehingga semua stereotip yang muncul tentang lansia tidak dapat digeneralisasikan terhadap semua orang lansia.

Lalu komponen kedua dari ageism ialah prasangka. Prasangka merupakan perasaan tidak nyaman saat berinteraksi dengan lansia. Palmore (1999) menjelaskan bahwa prasangka terhadap lansia melahirkan stereotip dan sikap negatif. Stereotip adalah keyakinan kognitif negatif tentang lansia, seperti tinggal di panti, kesepian, miskin, dan menyebalkan. 

Sedangkan sikap adalah perasaan negatif terhadap lansia. Prasangka ini tak hanya terjadi antar individu, tapi juga dari kaum muda terhadap masa depan mereka sendiri. Butler (1969) menyatakan bahwa ageisme mencerminkan kecemasan kaum muda/paruh baya, yaitu takut menjadi tua, sakit, cacat, tak berdaya, dan mati.

Sedangkan diskriminasi adalah tindakan seperti menghindari atau mengucilkan lansia. McNamara (2019) menjelaskan bahwa diskriminasi berdasarkan usia atau ageisme bersumber dari 3 bentuk. Pertama ialah reverse discrimination, di mana kelompok yang sebelumnya didiskriminasi, kini mendapat keuntungan. 

Contohnya, lansia yang mendapatkan perlakuan khusus karena dianggap tidak bekerja lagi. Kedua ialah unintentional discrimination, yang terjadi tanpa disengaja, seperti berbicara kepada lansia seperti anak kecil atau menghubungkan lansia dengan masalah kesehatan dan kebutuhan bantuan. Dan yang ketiga ialah institutional age discrimination, yang terjadi karena aturan, seperti pensiun di usia tertentu atau batasan usia dalam pekerjaan/kelompok tertentu.

Penelitian tentang dampak ageism terhadap kesehatan mental lansia masih sedikit. Padahal lansia, sama seperti kelompok minoritas lainnya, bisa menjadi korban stigma dan berpotensi mengalami stres serta gangguan kesehatan mental. Terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan dampak ageism pada kehidupan lansia secara umum, seperti pelayanan yang kurang baik (Minichiello , 2012), usia subjektif (Hess & Dikken, 2010), dan citra tubuh (Oberg & Tornstam, 2003). 

Hal tersebut tidak semata-mata ada dan muncul begitu saja. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab muncul perilaku ageism tersebut. Salah satunya, disebabkan oleh adanya proses penuaan. Proses penuaan adalah penurunan fungsi organ tubuh dan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri secara perlahan.  

Penuaan merupakan proses alami yang dialami oleh semua orang. Namun, ageism berupa stereotip negatif dan diskriminasi terhadap orang tua masih sering terjadi di masyarakat. Banyak orang tua yang kehilangan kepercayaan diri dan produktivitasnya karena anggapan bahwa penuaan adalah proses yang penuh tantangan (Schafer & Shippee, 2010). 

Hal ini diperparah dengan stereotip negatif tentang lansia yang semakin marak di masyarakat, seperti anggapan bahwa lansia tidak kompeten, tidak produktif, dan menjadi beban bagi generasi muda. 

Ageisme ini dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk, baik secara implisit maupun eksplisit, dan memiliki dampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan orang tua. Penelitian menunjukkan bahwa lansia yang mengalami ageism, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak mengalaminya. 

Hal ini diperparah dengan adanya internalisasi pemikiran ageism pada diri sendiri oleh lansia, di mana mereka mulai mempercayai stereotip tersebut dan membatasi diri mereka sendiri (Streb dkk, 2008). Paparan stereotip negatif tentang usia pada lansia dapat membuat mereka berperilaku sesuai stereotip tersebut, misalnya menjadi kurang percaya diri dan penurunan tingkat kemandirian, kesehatan dan semangat (Levy & Banaji, 2004). 

Hal tersebut menyebabkan, menurunnya semangat hidup, dan bahkan kesehatan fisik yang lebih buruk (Wurm & Benyamini, 2014). Ageism dapat menjadi stressor kronis bagi lansia karena mereka terus menerus dihadapkan dengan pandangan negatif tersebut. Stereotip negatif ini juga memicu menurunnya harga diri dan kesehatan mental lansia (Orth et al., 2010), dan membuat mereka menjadi lebih rentan terhadap stres, depresi, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya (Emile et al., 2014). 

Salah satu contoh bentuk ageism berupa diskriminasi yang terjadi pada lansia ialah pengalaman akan perlakuan tidak adil yang didasari oleh usia (ageism) yang memberikan dampak terhadap kesehatan mental lansia. Ageism mirip dengan diskriminasi lainnya seperti rasisme dan seksisme, yang bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. 

Minority Stress Theory (MST) yang dikemukakan oleh Meyer (2003) menjelaskan bahwa menjadi bagian dari kelompok yang di-stigmatisasi bisa menyebabkan pengalaman negatif seperti diskriminasi dan prasangka. Hal ini kemudian memicu stres dan gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Berbeda dengan rasisme yang dialami sejak lahir, ageism baru dialami pada usia tertentu dan bisa disembunyikan sementara. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pandangan negatif terhadap penuaan pada lansia  dapat berdampak buruk pada kesehatan jangka pendek dan panjang. 

Lansia dengan pandangan negatif terhadap penuaan cenderung memiliki kesehatan fisik yang lebih buruk (Levy, Slade, & Kasl, 2002), pulih dari penyakit lebih lambat (Levy, Slade, May & Caracciolo, 2006), dan memiliki rata-rata rentang hidup yang lebih pendek ( Levy & Myers, 2005; Levy, Slade, Kunkel, & Kasl, 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan hubungan antara pengalaman ageism dengan gejala depresi dan kecemasan (Kessler, Mickelson, & Williams, 1999). Bahkan ada penelitian yang menunjukkan pengalaman ageism bisa memprediksi peningkatan gejala depresi di masa depan (Luo et al., 2013).  Selain itu, diskriminasi lain yang dialami sebelumnya (misalnya seksisme) mungkin membuat lansia lebih siap menghadapi ageism. Namun, mengalami ageism bersamaan dengan diskriminasi lain (misalnya karena orientasi seksual) bisa menimbulkan efek yang lebih buruk (Wight, LeBlanc, De Vries, & Detels, 2012).

Banyak penelitian telah membuktikan bahwa lansia yang mengalami ageism memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalaminya. Hal ini menunjukkan bahwa ageism adalah salah satu faktor risiko yang signifikan bagi kesehatan mental lansia (Pascoe & Richman, 2009). 

Selain mempengaruhi kesehatan mental, perilaku ageism dapat mengganggu fungsi kognitif dan kemampuan fisik lansia (Lamont dkk, 2015). Dampak ageism yang lebih parah termasuk penurunan kesehatan mental, peningkatan morbiditas, kematian dini (Levy dkk, 2006), depresi, kesepian (Wilson dkk, 2019), dan marginalisasi (Vitman dkk, 2014).

Ageisme merupakan masalah yang kompleks dan tidak dapat diatasi hanya pada tingkat individu. Diperlukan upaya kolektif dari semua kelompok umur untuk memerangi ageisme, karena ini adalah bentuk prasangka yang tertanam dalam masyarakat dan berdampak di berbagai bidang kehidupan. 

Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul pada lansia, diperlukan upaya bersama untuk memahami ageisme dan dampaknya untuk meningkatkan kesadaran dan melawan prasangka terhadap lansia. Setiap keluarga perlu untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan ramah bagi semua usia untuk melindungi hak-hak lansia dan meningkatkan kualitas hidup mereka. 

Namun, upaya intervensi melalui keluarga saja belum cukup untuk mengatasi masalah-masalah ini (Kemenkes, 2020). Layanan berbasis komunitas yang melibatkan lansia dalam kegiatan positif seperti kelompok pengajian, kesenian, dan senam lansia dinilai lebih efektif dalam meningkatkan kualitas hidup mereka (Romadlani, 2013). 

Dengan tersedianya layanan komunitas tersebut, diharapkan lansia dapat membangun citra diri yang positif, memiliki rasa harga diri, dan tetap berkontribusi bagi masyarakat. Hal ini dapat membantu melawan stereotip dan diskriminasi usia tua (ageisme). 

Citra diri positif ini dapat terbentuk ketika lansia aktif terlibat dalam interaksi sosial. Keterlibatan dalam komunitas juga membantu lansia untuk memperkuat rasa optimisme dan citra diri positif, meningkatkan kualitas hubungan sosial, dan membantu mereka untuk tetap aktif dan terlibat dalam masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan lansia dalam komunitas dapat membantu mereka untuk melawan ageisme. Lansia yang memiliki citra diri positif terbukti lebih bahagia dan sehat.

Selain itu, upaya penanganan dari berbagai kalangan seperti pekerja sosial, dokter, petugas kesehatan masyarakat, konselor, dan pendeta agama dapat berperan dalam mengurangi dampak negatif pada stereotip negatif terhadap penuaan (ageism) terhadap kesehatan lansia. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan. Pertama, para profesional ini perlu meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri tentang ageism. 

Mereka harus bisa mengenali dan menghindari tindakan diskriminasi usia dalam lingkungan kerja mereka (Martinson & Berridge, 2014). Mereka bisa mulai dengan merubah perilaku mereka sendiri dan angkat bicara ketika melihat adanya diskriminasi dan stereotip negatif terhadap lansia. Dengan bersikap proaktif, mereka turut ambil bagian dalam mengurangi ageism, bukannya diam saja dan membiarkan keadaan seperti biasa. 

Kedua, para profesional penolong bisa menjadi teladan bagi rekan kerja, klien, teman, dan keluarga dalam bersikap dan berperilaku tanpa memandang usia. Ketiga, para profesional ini bisa bekerja sama dengan individu, kelompok, dan organisasi lain untuk membuka diskusi tentang ageism dan dampak negatifnya terhadap kesehatan lansia. 

Memfasilitasi diskusi tentang ageism sangat penting, karena lansia mungkin tidak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pengalaman mereka menghadapi ageism tanpa dicemooh, diabaikan, atau diremehkan oleh orang yang tidak menyadari bahwa ageism adalah bentuk diskriminasi yang berbahaya.

Keempat, para profesional penolong dapat mendukung lansia dalam menuntut kebebasan, rasa hormat, dan pengakuan sebagai anggota masyarakat yang berharga. Mereka bisa mendukung perjuangan hak-hak lansia dengan cara terbuka dan menggunakan pengaruh mereka untuk memastikan hak-hak tersebut dihormati. Terakhir, para profesional ini dapat mendorong analisis kritis terhadap kebijakan, praktik, dan budaya di organisasi mereka, bidang mereka, dan di tingkat nasional. 

Selain pemberian intervensi terhadap lansia, penting juga untuk memberikan pemahaman terkait ageism ini kepada generasi muda sebagai bentuk upaya penolakan terhadap ageism. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi seperti edukasi penuaan untuk generasi muda dan program interaksi sosial antargenerasi dapat membantu mengurangi ageism dan meningkatkan kesejahteraan psikologis lansia (Nelson, 2005).

Upaya-upaya di atas perlu dilakukan secara berkelanjutan dan melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, organisasi masyarakat sipil, hingga masyarakat luas. Dengan demikian, diharapkan ageisme dapat dikurangi dan lansia dapat hidup sejahtera dan berkontribusi positif bagi masyarakat.

Daftar Pustaka 

Allen, J. O. (2016). Ageism as a risk factor for chronic disease. The Gerontologist, 56(4), 610-614.

Ayalon, L., & Gum, A. M. (2015). The relationships between major lifetime discrimination, everyday discrimination, and mental health in three racial and ethnic groups of older adults. Aging & mental health. Vol.15

Butler, R. N. (1969). Age-ism: Another form of bigotry. The gerontologist, 9(4_Part_1), 243-246.

Davis, N. C., & Friedrich, D. (2010). Age stereotypes in middle-aged through old-old adults. The International Journal of Aging and Human Development, 70(3), 199-212.

Dionigi, R. A. (2015). Stereotypes of aging: Their effects on the health of older adults. Journal of geriatrics, 2015(1), 954027.

Fitria, Y. (2021). Ageisme: Diskriminasi Usia, Harga Diri dan Kesejahteraan Psikologis Lansia. Healthy, 10(1), 22-31.

Fitria, Y., & Mawarni, E. E. (2021, December). Senam "Gerontologi": Eksistensi Citra Diri Terhadap Ageisme Pada Lansia. In Prosiding Seminar Nasional Unimus (Vol. 4).

Hess, M., & Dikken, J. (2010). The association between ageism and subjective age of older people in Europe. International Journal of Social Sciences and Humanity Studies, 2(1), 99-109.

Ishaq, R. M., Abidin, Z., & Kurniansyah, D. (2021). Membongkar realitas ageism pada film layar lebar. Kinerja: Jurnal Ekonomi dan Manajemen, 18(4), 572-580.

Iversen, T. N., Larsen, L., & Solem, P. E. (2009). A conceptual analysis of ageism. Nordic psychology, 61(3), 4-22.

Kemenkes Republik Indonesia. 2020. Populasi Lansia Diperkirakan Terus Meningkat Hingga Tahun 2020. http://p2ptm.kemkes.go.id/

Kessler, R. C., Mickelson, K. D., & Williams, D. R. (1999). The prevalence, distribution, and mental health correlates of perceived discrimination in the United States. Journal of health and social behavior, 208-230.

Kotter-Grhn, D., & Hess, T. M. (2012). The impact of age stereotypes on self-perceptions of aging across the adult lifespan. Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 67(5), 563-571.

Lamont, R. A., Swift, H. J., & Abrams, D. (2015). A review and meta-analysis of age-based stereotype threat: negative stereotypes, not facts, do the damage. Psychology and aging, 30(1), 180.

Levy, B. R., & Banaji, M. R. (2002). Implicit ageism.

Levy , B. R. , Slade , M. , May , J. , & Caracciolo , E. ( 2006 ). Physical recovery after acute myocardial infarction: Positive age self-stereotypes as a resource . International Journal of Aging and Human Development , 62 , 285 -- 301 . doi:10.2190/EJK1-1Q0D-LHGE-7A35 

Levy , B. R. , Slade , M. D. , & Kasl , S. V. ( 2002 ). Longitudinal benefi t of positive self-perceptions of aging on functional health . The Journals of Gerontology, Series B: Psychological Sciences and Social Sciences , 57 , 409 -- 417 . doi:10.1093/geronb/57.5.P409 

Levy , B. R. , Slade , M. D. , Kunkel , S. R. , & Kasl , S. V. ( 2002 ). Longevity increased by positive self-perceptions of aging . Journal of Personality and Social Psychology , 83 , 261 -- 270 . doi:10.1037//0022-3514. 83.2.261 

Luo, B., Zhou, K., Jin, E. J., Newman, A., & Liang, J. (2013). Ageism among college students: A comparative study between US and China. Journal of Cross-Cultural Gerontology, 28, 49-63.

Martinson, M., & Berridge, C. (2015). Successful aging and its discontents: A systematic review of the social gerontology literature. The gerontologist, 55(1), 58-69.

McNamara, T., & Williamson, J. (2019). Ageism: Past, present, and future. Routledge.

Nelson, T. D. (2005). Ageism: Prejudice against our feared future self. Journal of social issues, 61(2), 207-221.

berg, P., & Tornstam, L. (2003). Attitudes toward embodied old age among Swedes. The International Journal of Aging and Human Development, 56(2), 133-153.

Pascoe, E. A., & Smart Richman, L. (2009). Perceived discrimination and health: a meta-analytic review. Psychological bulletin, 135(4), 531.

Palmore, E. (1999). Ageism: Negative and positive.

Romadlani, R., Nurhidayati, T., & Syamsianah, A. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga Dan Kemandirian Lansia Dengan Konsep Diri Lansia Di Kelurahan Bambankerep Kecamatan Ngaliyan Kota Semarang. Jurnal Keperawatan Komunitas, 1(1).

Schafer, M. H., & Shippee, T. P. (2010). Age identity, gender, and perceptions of decline: Does feeling older lead to pessimistic dispositions about cognitive aging?. Journals of Gerontology Series B: Psychological Sciences and Social Sciences, 65(1), 91-96.

Streb, C. K., Voelpel, S. C., & Leibold, M. (2008). Managing the aging workforce:: Status quo and implications for the advancement of theory and practice. European management journal, 26(1), 1-10.

Vitman-Schorr, A., Iecovich, E., & Alfasi, N. (2014). Reliability and validity of a Hebrew version of the Kogan's attitudes toward old people scale. Educational Gerontology, 40(5), 315-326.

Wardani, W. K. (2016). Artikel Analisis Faktor Penyebab Lansia Tinggal di Panti Werdha (Panti Werdha Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur). Skripsi. Jakarta: Fakultas Teknik, Universitas Negeri Jakarta.

Wight, R. G., LeBlanc, A. J., De Vries, B., & Detels, R. (2012). Stress and mental health among midlife and older gay-identified men. American journal of public health, 102(3), 503-510.

Wilson, D. M., Errasti-Ibarrondo, B., & Low, G. (2019). Where are we now in relation to determining the prevalence of ageism in this era of escalating population ageing?. Ageing Research Reviews, 51, 78-84.

Wurm, S., & Benyamini, Y. (2014). Optimism buffers the detrimental effect of negative self-perceptions of ageing on physical and mental health. Psychology & Health, 29(7), 832-848.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun