Buat apa memiliki banyak aturan kalau rakyat kita tetap susah naik kelas? Buat apa memiliki banyak aturan kalau satu sama lain akhirnya tumpang tindih dan bertabrakan?Â
Buat apa memiliki banyak aturan kalau tidak bisa diimplementasikan? Buat apa memiliki banyak aturan kalau itu semua justru mempersulit kita bergerak maju sebagai bangsa?
Kebijakan publik bukan masalah berapa banyak undang-undang yang bisa diselesaikan DPR setiap tahun. Bukan berapa banyak regulasi yang diterbitkan Pemerintah setiap tahun.Â
Bukan berapa banyak yang bisa didorong masyarakat sipil untuk menjadi undang-undang atau regulasi. Bukan itu Masalah utamanya ada pada substansi. Bagaimana menghasilkan undang-undang maupun regulasi yang unggul? Kebijakan publik yang benar-benar bermakna buat rakyat.
Kita diingatkan, kebijakan publik adalah turunan berikut dari ideologi bangsa. Ia bukan semata perkara teknis-administratif birokrasi negara dan politisi untuk mengatur rakyat dan hal-ihwal kehidupan bersama.Â
Ia adalah perkara bagaimana menerjemahkan cita-cita dasar negara-bangsa, yang kira-kira bisa didefinisikan secara operasional dengan konsep Trisakti-nya Bung Karno: kedaulatan politik, kemandirian ekonomi dan kepribadian Indonesia. Dasar filosofisnya tentu saja ada dan selaras dengan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks transisi politik Indonesia dari otoritarianisme ke demokrasi, meletakkan kembali kebijakan publik dalam jiwa ideologi negara bangsa adalah hal yang super perlu.Â
Memiliki kegentingan sendiri di tengah kontestasi bangsa-bangsa di dunia dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebagai instrumen utama politik demokrasi, kebijakan publik harus mencerminkan dua cara pandang sekaligus: memperkuat rakyat pada satu sisi, dan memperkuat negara pada sisi yang lain.
Dulu, jaman orde baru, kita mengalami problem besar dehumanisasi karena negara terlalu kuat dan rakyat terlalu lemah. Setelah reformasi 1998, negara dengan seluruh instrumennya kita dekonstruksi habis-habisan. Hasilnya adalah rakyat yang makin kuat dan negara yang makin lemah. Itu tak bisa dipersalahkan karena masa lalu negara yang kejam terhadap rakyat.Â
Namun, setelah reformasi, masihkah kita berpikir begitu? Kita tahu keperluan kita sekarang adalah: rakyat yang kuat dan sekaligus negara yang kuat. Dua sisi mata uang yang sama. Bukan pilihan zero sum game yang saling menegasikan.
Saya percaya, dengan rakyat yang kuat dan sekaligus negara yang kuat, maka kebijakan publik dapat mengemban cita-cita negara-bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur.Â