Pagi-pagi, seperti biasa, saya nongkrong manis ditemani secangkir kopi, rokok dan buku. Ini tradisi personal yang menyenangkan.Â
Jika aku bangun kesiangan, atau terpaksa harus tidur lagi setelah sholat subuh karena malamnya begadang, selalu timbul penyesalan karena kehilangan tradisi NGOROBU itu: ngopi, rokok dan buku. Jarum jam serasa ingin kita putar kembali.
Kali ini saya tertarik menyegarkan kembali perkara kebijakan publik. Bukan semata karena pekerjaan saya sebagai anggota DPR berurusan dengan hal itu, tapi lebih karena resah melihat kebijakan publik yang acap tidak jelas. Seolah semua mau diatur, dan pada akhirnya ngejiret kaki sendiri.Â
Tumpang tindih dan tabrakan aturan tak terhindarkan lagi. Endingnya: kita sebagai bangsa lalu sama-sama mengeluh. Lha, ini salah siapa? Kenapa maksud baik kok malah jadi merepotkan dan bikin ruwet?
Melalui skip reading saya bolak balik sejumlah buku seputar kebijakan publik. Ada yang pendekatanya teoritik, praktik, dan ada juga yang mengkombinasikan keduanya dalam pembahasan.Â
Ternyata pokok soal kebijakan publik kita cuma satu, yakni bagaimana menghasilkan undang-undang yang unggul. Undang-undang yang bukan saja dibutuhkan rakyat, tetapi memang memenuhi tujuan bersama untuk menjaga kebebasan dan keadilan, meningkatkan kesejahteraan serta memperata kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Meminjam bahasa al-Quran, tolok ukur kebijakan publik dua saja: ath'amahum min al-ju' (memberi makan orang yang lapar) dan amanahum min al-khauf (mencegah orang dari memiliki rasa takut).Â
Yang pertama boleh kita sebut politik kesejahteraan. Dan yang kedua bisa kita sebut politik perlindungan. Baik dalam arti perlindungan terhadap hak individu maupun hak komunitas/kelompok.Â
Jika undang-undang atau regulasi berdampak positif pada dua hal tersebut (kesejahteraan dan perlindungan), berarti baik adanya. Itu yang oleh seorang pakar kebijakan publik disebut unggul. Jika sebaliknya, berarti kebijakan publiknya tidak baik alias tidak unggul. Bahasa kampungnya semprul!
Kenyataan menunjukkan kita memiliki begitu banyak undang-undang dan bejibun peraturan perundang-undangan lain, tetapi miskin substansi. Buat apa kita punya undang-undang kalau pada akhirnya hanya menyerahkan kepala kita menjadi budak-budak negeri asing?Â
Buat apa memiliki banyak undang-undang kalau hanya mengikat leher kita pada tiang pancang gantungan negara-negara maju yang kerap mengumbar keserakahan?Â