Ini dia buku yang sangat berbeda dari buku-buku terjemahan Korea lainnya dan banyak sekali teman-teman yang merekomendasiin buku ini yaitu Berani Tidak Disukai ditulis oleh dua penulis berasal dari Jepang, Fumitake Koga dan Ichiro Kishimi. Semua tulisan dalam buku ini dibuat timbul, ukuran buku 20x13,5 cm dengan tebal 2 cm.
Rilis di Jepang cetakan pertama tahun 2013 sedangkan di Indonesia sendiri cetakan pertama di bulan Oktober tahun 2019 dan cetakan keempat belasnya di bulan November tahun 2021 jumlah halaman 323 diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama atau GPU dari buku gendre self improvement.
Apa yang ada di benak temen-temen saat mendengar kata filsafat dan psikologi?
Pasti pikiran akan langsung tertuju pada dua bidang ilmu yang boleh dibilang biasanya sulit untuk dimengerti dan dipahami, khususnya bagi masyarakat awam seperti kita.
Namun, bagaimana jika kedua bidang ilmu tersebut, filosofi dan psikologi, digabung untuk membentuk sebuah sudut pandang tentang menjalani kehidupan.
Itulah yang dilakukan oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga.
Kedua penulis yang berasal dari Jepang ini menulis sebuah pembahasan mengenai kehidupan melalui teori psikologi Adler yang bisa dibilang tidak setenar teori psikologi Freud dan Jung, tapi bisa membuka mata kita semua akan cara menjalani kehidupan yang sederhana dan bermakna.
Menariknya, buku ini dikemas dengan tampilan dialog antara seorang pemuda dan filsuf yang di mana mereka tampak sedang bercakap-cakap sekaligus berdebat tentang bagaimana cara menjalani hidup yang baik.
Materi yang dikemas melalui bentuk dialog ini tergolong unik sekaligus akan memudahkan pembaca untuk paham akan inti sari yang ingin disampaikan oleh kedua penulis ini tentang teori psikologi Adler yang belum banyak diketahui orang.
Gagasan dari teori psikologi Adler sendiri nyatanya mampu memberikan insight yang mendalam tentang bagaimana caranya kita memperlakukan kehidupan agar bisa lebih bahagia dan bermakna.
Jika biasanya dalam buku-buku non fiksi, setiap pembahasan dibagi dalam beberapa bab, tetapi dalam buku ini diistilahkan malam sebagai pengganti kata bab. Menarik kan? Ditulis dengan gaya naratif, di mana seorang pemuda pada malam hari mendatangi filsuf untuk menyampaikan berbagai pertanyaan yang ada di dalam benaknya, semua tersaji dalam banyak pertanyaan dan jawaban, yang akan memuat lima malam yang terbagi ke dalam:
MALAM PERTAMA: Menyangkal keberadaan trauma
MALAM KEDUA: Semua persoalan adalah tentang hubungan interpersonal
MALAM KETIGA: Menyisihkan tugas-tugas orang lain
MALAM KEEMPAT : Di manakah pusat dunia ini
MALAM KELIMA: Hidup dengan sungguh-sungguh di sini pada saat ini
Kishimi dan Koga banyak memasukkan teori psikologi Adler dalam setiap pembahasannya, di mana nama Adler sendiri masih sangat asing di telinga beberapa orang ketimbang nama Freud dan Jung, dimana Freud dan Jung berpendapat bahwa kejadian atau tindakan seseorang didasari pada teori sebab-akibat atau dikenal dengan istilah aetiologi.
Contoh "Kita yang sekarang merupakan insiden masa lalu."
Sedangkan
Menurut Adler, kehadiran masa lalu dan masa depan tidak berkaitan serta berdampak pada keadaan kita saat ini. Istilah mengenai ini dikenal dengan teleologi.
"Kita tidak memikirkan (sebab) yang sudah terjadi tapi (tujuan) saat ini sehingga menciptakan kondisi tertentu.
Sebab, kita telah mengambil keputusan dan sikap untuk menjalaninya tanpa ada sangkut pautnya dengan masa lalu maupun masa depan.
Pendapat dari Adler ini bisa dibilang teramat sangat kontradiktif dengan teori psikologi Freud yang sudah sangat tertanam kuat di benak kita, yaitu contoh dari teori Freud (di mana trauma yang pernah kita rasakan di masa lalu akan memiliki dampak terhadap kehidupan kita di saat ini). Sedangkan kalau pendapat teori Adler sebaliknya trauma dimasa lalu tidak ada hubungannya dengan kehidupan kita saat ini dan akan datang karena kita sendirilah yang memegang kendali atas hidup kita sendiri.
Mungkin, teori psikologi Adler ini terdengar sangat bertentangan dengan apa yang kita percayai selama ini.
Tapi perlu diingat kembali jika teori yang Adler kemukakan ini memiliki makna yang cukup mendalam terhadap kehidupan kita sebagai seorang manusia.
Semua permasalahan yang kerap kita alami, menurut teori psikologi Adler adalah akibat dari rumitnya hubungan interpersonal antara sesama manusia yang sering kali malah menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran di dalam kehidupan.Â
Biasanya, kita kerap menghindar dari keharusan untuk berinteraksi dengan orang lain karena takut akan tanggapan mereka terhadap diri kita, yang jika dipikirkan kembali sebenarnya bukan tugas kita juga dalam mengendalikan pikiran orang lain.
Ketakutan yang kita rasakan terhadap penilaian orang lain ini mengindikasikan ada rasa kurang percaya diri dan kurang mencintai diri sendiri, padahal sebelum dapat membangun hubungan interpersonal yang kuat, kita harus terlebih dahulu peduli kepada diri sendiri.
Oleh sebabnya, kita akan beranggapan jika orang lain merupakan musuh yang sewaktu-waktu mampu menyakiti atau menghina diri kita yang pada kenyataannya hanya diri kita saja yang mengkhawatirkan itu semua.
Alih-alih menganggap orang lain sebagai musuh, Adler menegaskan untuk menganggap mereka sebagai teman seperjuangan agar rasa takut dan persaingan yang muncul dapat berkurang.
Jika kita kerap memandang orang-orang sebagai musuh dan saingan, hidup tidak akan pernah ada habisnya sebagai sebuah kompetisi yang tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke dalam rasa iri dan benci.
Dengan memandang orang lain sebagai rekan seperjuangan, kita akan merasa lebih berkontribusi dan saling memiliki, sehingga dapat menumbuhkan kenyamanan serta penerimaan.
Kekurangan buku ini, yakni pada beberapa topik disampaikan sekadar lewat, tidak mendalam, dan terlalu cepat, sehingga ada beberapa topik yang harus dibaca ulang agar terserap baik dalam ingatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H