Umurku tujuh tahun saat itu. Ketika aku mulai belajar membaca dan berhitung sekaligus belajar membantu memilah benda-benda yang berserakan di sekelilingku seperti kardus, botol plastik, majalah serta koran bekas untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung, diikat lalu ditimbang. Aku perhatikan hampir semua anak-anak seusiaku yang tinggal di tempat ini melakukan hal yang sama mungkin semenjak mereka dapat berjalan dan berbicara. Seperti sebuah kewajiban atau kegiatan sampingan selain mereka bermain. Tetapi bagi anak-anak yang tinggal di kampung rongsokan ini melakukan hal tersebut sudah biasa demi meringankan pekerjaan orang tuanya.
Sedangkan bagiku pekerjaan memilah barang-barang bekas ini belum lama aku jalani mungkin setahun belakangan setelah emak meninggal akibat serangan jantung. Emak. Perempuan tua yang begitu teguh dalam prinsip, keras bersemangat namun berhati lembut dan penyayang. Ia yang mati-matian menabung dari hasil pendapatan rongsokan barang bekas demi niatnya membiayai aku masuk sekolah. Meski harapannya tersebut tinggal rencana karena seluruh tabungannya raib dicuri oleh seseorang yang belakangan diketahui kalau yang mencuri uang tersebut adalah anak kandungnya sendiri.
"Emak kalau sama anak sendiri pelitnya minta ampun tapi sama anak pungut ini, anak yang tidak jelas juntrungannya mungkin juga anak jadah. Emak bela-belain mengurus dan membiayai hidupnya". Laki-laki tambun berkulit hitam dengan rambut acak-acakan itu terus nyerocos sambil mengamuk, melempar segala barang-barang yang ada di dekatnya bahkan ia sempat membentak emak dengan kata-kata kasar. Dan yang membuat bulu kudukku merinding saat ia menunjuk mukaku dengan geram, gemas. Rasa-rasanya hendak ia tinju wajahku lalu ia lemparkan aku keluar dari dalam rumah ini.
"Kalau kau berani menyentuh anak ini akan ku lakukan apa saja agar kau jera dalam penjara. Sungguh aku tahu duit yang kau minta dariku ini untuk bermain judi dan mabuk-mabukan. Kau pikir aku buta. Aku tahu hampir semua orang di sini melakukan hal tersebut dengan dalih pelepas penat dan kejenuhan. Aku masa bodoh kalau mereka yang berbuat. Tetapi lebih dari sekali aku peringati kamu tolong jauhi hal tersebut sebab kita ini orang miskin, susah cari duit jangan dipakai kesenangan untuk semacam itu. Sudah tak ingat Tuhan, maksiat pula."
Laki-laki tambun dengan wajah sangar tersebut tanpa berkata lagi terus keluar dan pergi entah kemana. Sambil menerobos gerimis di kesunyian malam ia pergi membawa kekesalan, marah sekaligus dendam di hatinya. Semenjak itu aku tak pernah lagi melihat dirinya kembali pulang. Sepertinya emak juga tak pernah menunggu kehadirannya datang. Begitu juga bapak tak pernah bertanya kemana anak lelakinya pergi menghilang.Â
Dan setelah Emak meninggal semua terasa jauh berbeda tak ada lagi tempat aku bermanja, bercerita. Tak ada lagi dongeng malam dari Emak sebelum lelap tertidur. Meski bukan dongeng kancil dan buaya atau dongeng tentang putri malam. Yang didongengkan emak hanya kisah masa kecilnya di kampung bersama teman-teman sebayanya dulu. Hanya ia seorang yang begitu sayang dan sangat memperhatikanku beda dengan bapak yang lebih banyak diam seolah acuh tak acuh.
Tetapi akhir-akhir ini bila datang rasa bosan setelah melakukan pekerjaan membantu bapak memilah-milah barang rongsokan aku ingin sekali mengetahui di mana rumah badut. Namun entah kenapa juga aku memilih berkunjung ke rumah badut yang tidak aku tahu siapa dia sebenarnya. Bisa jadi di balik topeng atau make up tebal berwarna di wajahnya itu ia adalah sosok penjahat atau pencuri atau mungkin juga penculik anak.
Lagi pula bila aku berkunjung ke rumah badut entah ia mau menerima kedatanganku atau tidak. Yang pasti ada sesuatu yang membisikkan telingaku agar aku dapat berkunjung ke rumah badut. Entah badut yang mana. Padahal ada banyak badut di kota ini. Tersebar di mana-mana. Ada badut mall, badut pasar malam, badut lampu merah, badut-badut yang suka ceramah juga badut-badut yang pintar berkhianat. Entah rumah badut mana yang mesti aku datangi. Yang jelas bisikkan itu begitu kuat. Bisikan itu menceritakan bahwa di dalam rumah badut pasti banyak mainan, banyak sesuatu yang menyenangkan.
Di tambah lagi dalam keyakinanku kalau badut mempunyai nomor telepon dan bisa dihubungi sudah pasti ia juga mempunyai tempat tinggal. Terlintas dalam pikiranku kalau rumah badut pasti begitu menarik dan unik serta pantas dikunjungi bagi anak kecil sepertiku. Bagi anak kecil yang ingin terus berlari dan bermain bersama hal-hal yang menyenangkan, segala yang menarik perhatian. Aku membayangkan halaman rumah badut yang luas penuh tanaman berbunga.Â
Dan di dalam halaman tersebut terdapat beberapa wahana bermain bagi anak-anak. Ada kolam renang, ayunan, perosotan, jungkat jungkit, kolam bola bahkan mungkin kemidi putar seperti di pasar malam. Aku bayangkan rumah badut bak istana berwarna-warni dengan cat berwarna terang namu lembut di mata. Balon-balon berhias berwarna-warni dengan pita merumbai yang mengapung di langit-langit rumah. Sofa yang empuk dengan lapisan beludru. Televisi serta lukisan-lukisan indah pemandangan. Barangkali juga boneka-boneka lucu yang menggemaskan tersusun rapi di tiap-tiap ruangan termasuk juga segala jenis coklat dan permen beraneka rasa tergeletak di mana-mana.
Aku yakin bila ada kesempatan berkunjung ke rumahnya ia pasti akan menyambutku dengan senyum manis dan renyah tawa. Ia akan menari dan beratraksi demi menerima kehadiranku seperti memainkan tiga bola merah dari kedua tangannya atau mengeluarkan kembang dari dalam lengan bajunya. Badut. Baju dan celananya yang kebesaran. Sepatunya yang lonjong dengan tonjolan bulat ke atas namun seolah pas ia kenakan.
Seperti kesan pertama bagiku ketika dua tahun yang lalu bertemu dengan badut-badut di kolong jembatan yang tak jauh dari tempat tinggalku saat acara pergantian tahun. Entah siapa yang menyewa tiga badut tersebut. Tiga badut yang terlihat begitu riang menyenangkan. Menari dan berlompatan sesekali bertepuk tangan. Bermain dan bercanda dengan anak-anak miskin di kolong jembatan.
Salah satu dari tiga badut tersebut memberiku sebatang coklat kecil serta tiga buah permen berwarna merah dan biru. Ia juga memberikan hal yang sama kepada teman-temanku yang lainnya. Itu adalah coklat dan permen pertamaku di malam pergantian tahun. Hatiku begitu senang begitu gembira. Seiring dengan tawa riang orang-orang yang ramai saat itu. Suara kembang api pecah di langit, bersahut-sahutan. Semarak malam penuh warna berkilauan. Bau asap daging panggang dan jagung bakar. Musik yang terus mengalun membelah malam. Badut-badut itu terus melompat-lompat seakan-akan mengajak kami untuk terus bergembira bersama merayakan pergantian tahun.
Tidak disangka salah satu badut yang paling besar menghampiriku kemudian menggenggam tanganku dengan lembut. Seolah-olah ia hendak berbicara kepadaku. Aku sebenarnya takut namun ketika aku menoleh ke arah Emak yang tak jauh dari hadapanku, emak mengangguk seolah mengisyaratkan sesuatu tak akan terjadi apa-apa. Mungkin juga karena umurku masih lima tahun saat itu dan tak paham bicara dengan badut.Â
Nanar tatapan matanya begitu tajam ke arah jantungku. Entah keberanian datang dari mana tiba-tiba tangan kecilku membalas pelukannya dengan lembut. Ku sentuh hidung bulat merahnya dengan gemas. Ia diam saja. Aku beranikan diri meraba seluruh wajahnya ia pun berkedip lalu mengejutkanku. "Ciluuuuuk Baaaa". Aku tertawa untuknya. Iapun tertawa untukku. Maka kami tertawa bagi hidup dan waktu. Kesederhanaan kebahagiaan yang nyatanya cepat berlalu. Namun perayaan tahun baru dua tahun lalu masih tersimpan di jantungku. Selalu ku kenang.
"Tidak perlu kamu ke rumah badut nak, badut bisa datang ke rumahmu bila diundang seperti di acara ulang tahun atau di hari kenaikan kelas. Tapi mengundang ia datang ya mesti pakai uang. Mana mau badut datang ke tempat kita kalau tidak ada uangnya. Badut juga perlu uang, perlu makan." Begitulah kira-kira ucapan laki-laki tua itu kepadaku.Â
Bapak yang seolah acuh tak acuh. Laki-laki tua yang sehari-harinya jarang terlihat memakai baju. Laki-laki dengan wajahnya yang keras seakan telah lama dihajar waktu. Dan semenjak Emak pergi baru aku merasakan getar suaranya yang parau dan dalam itu terasa berat menyiksa di telinga. Sebegitu kerasnya kah hidup yang dijalaninya?
"Tapi apakah bapak tahu di mana rumah badut?" Aku pun bertanya kembali. Laki-laki tua itu tak menjawab hanya matanya saja melirik ke arahku lalu ia meneruskan kembali pekerjaannya menguliti label-label plastik botol-botol bekas. Tapi masalahnya aku tak tahu kapan hari dan tanggal ulang tahunku. Laki-laki dan perempuan tua itu tak pernah memberitahukan kapan pastinya aku lahir. Aku juga tak mungkin naik kelas sebab aku tak bersekolah. Keberadaanku bersamanya juga simpang siur. Tak ada catatan khusus mengenai data pribadiku yang mereka simpan.
Mereka hanya bilang aku lahir saat banjir bandang melumpuhkan kota besar ini antara bulan Desember atau Januari. Tahunnya mereka lupa begitu juga tanggalnya. Sebab kota ini tengah dilanda bencana. Lagi pula kata mereka tak perlu ingat tahun atau tanggal apalagi hari untuk bisa hidup seperti yang mereka lakukan saat ini. Bukan orang kantoran, bukan pegawai pemerintahan cuma pemulung sialan yang tak dapat uang gaji tiap bulan. Untuk apa hari dan tanggal. Untuk apa bulan dan tahun. Toh bencana dan kesenangan tak kenal itu semua. Bersyukurlah. Kamu masih bisa hidup di dunia meski melarat dan menyakitkan.
Seperti biasa badut-badut itu kembali datang pada awal bulan minggu pertama. Badut-badut itu datang bersama anak-anak mahasiswa yang sedang mengadakan sekolah gratis sekaligus kampanye untuk pemberantasan buta huruf bagi anak-anak yang kurang mampu yang tinggal di kota besar.Â
Aku bertanya dalam hati apa mungkin mereka yang mengundang badut-badut itu datang dua tahun lalu di acara pergantin tahun. Entahlah. Tetapi yang jelas kedatangan badut-badut di sini sangat menghibur dan menyemarakan suasana belajar. Aku yang tak bisa mendapatkan pendidikan formal di sekolah nyatanya dapat menimba ilmu. Menulis, membaca serta berhitung dasar di sekolah gratis ini.
Bapak yang pertama kali mengantarkan aku untuk ikut sekolah gratis setelah mendapat informasi dari temannya kalau tiap minggu di hari Sabtu ada kegiatan belajar mengajar dari anak-anak mahasiswa serta komunitas perduli anak-anak kota. Lagi pula katanya sebelum emak pergi menghadap Tuhan emak mewasiatkan agar keinginannya untuk menyekolahkan aku bisa terwujud. Sebenarnya bapak pernah bilang sebulan setelah emak dimakamkan kalau ia tidak akan mampu mencari uang seperti dulu lagi. Tidak akan sanggup menyekolahkanku.
Kami belajar bersama di dalam bangunan sederhana yang tidak besar bentuknya yang sehari-hari digunakan sebagai tempat ibadah bagi para penghuni kolong jembatan. Satu-satunya bangunan semi permanen yang terlihat rapi dan terawat di tempat kumuh ini. Ada kurang lebih dua puluh anak-anak yang belajar dari berbagai klasifikasi umur dengan lima orang staff pengajar. Dan selama kami belajar di sini kami menyebut bangunan ini sebagai kelas.Â
Waktu belajar mengajar dari jam 8 pagi hingga jam 12 siang dengan waktu istirahat setengah jam tepat jam 10 siang. Mereka mengajarkan sesuai dengan kurikulum yang mereka buat meski tetap mengacu dengan kurikulum pendidikan formal yang ada di sekolah. Dan yang membuat kami begitu senang belajar di sini ialah staff pengajarnya yang baik dan sabar. Mereka juga mengajarkan kami untuk berani tampil di depan anak-anak yang lainnya seperti membaca puisi dari para penyair terkenal atau bercerita tentang kegiatan kesehari-harian.
"Coba giliran Siti yang maju ke depan dan bercerita". Aku terkejut saat namaku disebut dan diminta untuk bercerita di depan kelas oleh kakak Wid. Meski ini yang sudah ke dua kalinya aku maju ke depan tetap saja aku ragu-ragu. Aku tidak percaya diri tidak seperti kawan-kawanku yang lainnya yang terlihat senang dan gembira saat mereka bisa tampil di depan. Tetapi aku mencoba melawan keragu-raguan itu. Bukan lantaran karena hadiah yang akan didapatkan untuk mereka yang tampil berani di depan. Tetapi ini sebuah ketakutan yang harus dilawan. Kata emak hidup itu tidak boleh takut atau ragu. Jalani saja dan hadapi segalanya dengan tenang. Tetapi belum juga aku berdiri dari tempat dudukku tiba-tiba salah satu anak dalam ruangan yang ada dalam ruangan tersebut berkata dengan lantang.Â
"Siti anak pungut bu. Siti tidak punya ayah dan ibu. Ia ditemukan dalam kardus di pinggir kali saat masih bayi". Seketika aku menoleh ke belakang ke arah suara menyebalkan itu datang. Seketika hal tersebut membuat telingaku panas dan tubuhku gemetar. Lama aku tatap wajah lelaki kurus dekil itu dengan kesal. Ia membalas tatapanku seakan mencoba melawan. Dalam hatiku berkata aku tak boleh takut kepadanya.
"Hus, tidak boleh berbicara seperti itu kepada teman sendiri. Di sini tidak ada yang boleh saling membuly. Menghina. Mengejek satu sama lain. Kakak-kakak datang ke sini untuk mengajar kalian tentang hal yang baik-baik bukan mendengar perkataan kalian tentang pribadi seseorang. Tidak dibenarkan kalian saling menghina". Kakak Wid tak mau kalah pula ia pun berkata lantang di depan seluruh kelas demi memperingatkan anak-anak yang lainnya agar bisa menghormati dan menghargai teman-teman sekelas.
"Ayo Siti mari maju ke depan. Ceritakan hal apa yang membuat Siti senang atau adakah pelajaran yang paling Siti senangi hingga Siti mahir dalam pelajaran itu atau barangkali ada kakak kelas di sini yang Siti kagumi". Kembali kakak Wid berbicara sambil memintaku kembali untuk segera maju ke depan kelas. Sementara yang lainnya terdiam dan termangu menungguku untuk maju. Saking heningnya kelas saat itu bahkan detik jarum jam terdengar samar-samar dari sudut ruangan.Â
"Ayo sini. Jangan takut. Kita semua di sini adalah teman. Keluarga". Dengan suaranya yang lembut kakak Wid mengulangi permohonannya lagi kepadaku. Aku beranikan diri untuk berjalan ke depan ruangan yang entah mengapa seakan-akan aku hendak diinterogasi ditanyakan segala asal usul diriku dari mana. Seakan ada beban yang menggelayut di punggungku. Seperti ada yang memberatkan langkah kakiku. Sampai akhirnya seorang perempuan cantik berkerudung menuntunku maju ke depan. Dialah kakak Widya atau yang akrab kami panggil kakak Wid.
"Namaku Siti. Usiaku saat ini tujuh tahun. Aku tinggal bersama bapak di kampung pemulung di gubuk rongsok di dekat perlintasan rel kereta api yang tak jauh dari tempat ini. Sesuatu hal yang membuatku senang sudah meninggal. Seseorang yang kepadaku selalu bercerita tentang masa kanak-kanaknya dulu sebelum aku pergi tidur. Namun saat ini emak sudah tiada hanya bapak saja yang ada di rumah tetapi bapak jarang berbicara dan ia juga tak pernah bercerita apa-apa kepadaku. Meski begitu bapak yang membawa aku pertama kali ke tempat sekolah ini. Dan satu hal lagi, bila ada kesempatan aku ingin sekali dapat berkunjung ke rumah badut."
Sontak ruangan yang tadinya hening menyimak kisah hidupku seketika pecah gemuruh oleh tawa anak-anak. Seperti petasan tahun baru yang meledak di langit. Berhamburan. Memercik api dalam hati. Bahkan dua orang staff pengajar ikut pula tertawa meski tidak seheboh anak-anak. Hanya kakak Wid dan badut yang berdiri di belakang kelas tersenyum mendengar pernyataan terakhirku.
"Sssttt diam. Diam. Tenang dulu yang lainnya. Mari kita dengarkan alasan Siti kenapa ia mau datang ke rumah badut. Ada apa di rumah badut. Adakah hal yang menyenangkan bagi Siti di rumah badut tersebut."
Tak berapa lama aku berdiri terdiam di depan kelas setelah kakak Wid kembali berbicara. Tak terasa air mataku mengalir di pipi. Aku menoleh ke samping dan ku lihat pintu kelas terbuka. Aku rasa ini waktunya. Tanpa berkata-kata. Aku berlari berlari ke luar ruangan. Berlari terus dan berlari tanpa menoleh ke belakang. Meninggalkan kelas yang belum selesai waktu jam pulang. Aku terus berlari hingga tak sadar sampai di sebuah pemakaman di mana emak terbaring damai. Ku jatuhkan diriku di atas kuburannya. Aku menangis dan air mataku membasahi tanahnya.
Suatu hari aku melihat badut yang biasa datang ke sekolah gratis itu tengah duduk termenung. Badut yang biasanya terlihat riang itu nampak sekali kelelahan. Kepalanya tertunduk lesu. Ke dua kakinya diluruskan sambil tubuhnya bersandar di salah satu sudut ruangan mushola ketika kami tengah istirahat belajar. Sepertinya ia sedang tertidur. Ku perhatikan wajahnya yang penuh polesan bedak berwarna. Hidungnya yang bagai tomat. Wig rambutnya yang berwarna kuning menyala. Di rasa-rasa aku sepertinya hapal dengan wajah tersebut entah di mana aku pernah melihatnya.
Setelah lagu tanda jam pelajaran selesai kebanyakan anak-anak buru-buru berlarian keluar mushola meski ada juga beberapa anak masih tertinggal di dalam sekedar bercakap atau menanyakan pelajaran yang mereka belum paham. Aku termasuk yang masih berada di dalam saat itu namun niatku tidak segera pulang adalah untuk mencari tahu kemana sebenarnya badut itu pulang. Aku perhatikan badut itu pergi ke belakang hendak ke toilet mushola mungkin berganti kostum pakaian.
Diam-diam dari belakang aku ikuti laki-laki yang berdandan badut tadi melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan raya di ujung sana. Suara kendaraan di atas jembatan tak berhenti-henti lalu lalang. Sejumlah bedeng-bedeng terpal reot berdiri seakan-akan telah habis diserang badai. Sedikit cahaya matahari menembus hingga ke kolong jembatan. Siang itu langit agak mendung meski kelihatannya hujan belum tentu juga turun. Sebenarnya aku takut namun suara dalam telingaku terus berbisik untuk terus mengikutinya.Â
"Bukankah kau ingin ke rumah badut anak manja. Ini kesempatan jangan disia-siakan." Suara itu terus berdengung di telinga. Suara itu terus memaksaku untuk melangkah".
Sesampainya di muka jalan raya laki-laki itu berhenti lalu menoleh ke belakang. Rupa-rupanya ia mengetahui kalau tengah diikuti olehku. Ia menghampiriku dengan berjalan perlahan. Tenang dan penuh senyuman. Saat itu aku tak tahu lagi kemana tempat untuk bersembunyi. Aku tak bisa berlari seperti kejadian di kelas saat itu.
"Kamu Siti bukan? Yang tempo hari bercerita hendak main ke rumah badut". Aku mengangguk seketika tanpa rasa curiga. Lalu laki-laki itu menyambut tanganku. "Mari aku antar ke rumah badut". Ia menggenggam tangan kananku dan mengajakku berjalan bersama tetapi setelah setengah perjalanan perasaanku tiba-tiba tidak enak, ada yang aneh mengganjal. Genggaman tangan laki-laki itu pun semakin kuat serasa menarikku untuk berjalan lebih cepat.Â
Sesampainya di jalan raya kami memberhentikan angkot kami naik dan tak beberapa lama laki-laki itu berkata behenti dan angkot pun berhenti di depan sebuah gang kecil. Setelah membayar ongkos angkot ia pun mengajakku untuk masuk ke dalam gang. Laki-laki itu masih tetap memegang tanganku. Aku seperti dihipnotis aku sama sekali tak berdaya tak mampu berontak. Sedang suara dalam telingaku terus berkata "Terus Sit. Sebentar lagi kamu sampai di rumah badut".
Semakin ke dalam gang ini semakin sempit dilalui orang berjalan kaki. Kami sempat dua kali berbelok ke kiri di dalam gang kecil ini. Gerobak-gerobak jualan serta motor-motor terparkir memenuhi jalanan. Entah hendak dibawa kemana diriku. Genggaman tangan lelaki itu tak juga lemah berkurang bahkan semakin kencang.
Sampai akhirnya kami di depan sebuah rumah petakan yang rapat berjajar. Berhentilah laki-laki tersebut dilepaskan genggaman tangannya. Di ajaknya aku untuk segera masuk ke dalam. Aku berpikir apakah ini benar-benar rumah badut. Rumah badut yang aku bayangkan luas dan besar ternyata salah. Rumah badut yang datangi ini sama persis dengan rumah emak. Tak ada wahana permainan selain tumpuk-tumpukan barang dan baju-baju yang dijemur bergelantungan. Belum lagi ia sempat membuka pintu dari dalam rumah tersebut keluar laki-laki dan perempuan remaja berkostum badut dengan satu anak bayi digendong oleh si perempuan.
"Jalan dulu kami bang". sahut remaja laki-laki tersebut.
Aroma penguk dan pengap langsung menyengat hidung seketika masuk ke dalam rumah tersebut. Seperti sebuah sambutan selamat datang yang tidak menyenangkan. Berbagai macam kostum badut serta topeng-topeng berkarakter tergantung di dinding. Tembok yang penuh coretan. Lantai yang kotor dan beberapa bungkus makanan tergeletak. Begitu kumal dan dekil. Begitu menyeramkan. Begitu ku rasa tak seperti yang aku bayangkan.Â
"Siti, inilah rumah badut, semoga kamu senang berada di sini".
"Tidak. Tidak. Aku tidak mau di sini. Lepaskan aku. Aku mau pulang. Aku mau ke rumah bapak saja". Seketika aku berteriak dan mencoba berlari keluar. Laki-laki itu mencoba menenangkan diriku meski wajahnya kini nampak beringas dan menakutkan. Tangannya mencoba mengelus rambutku namun aku berusaha menghindar. Begitu ia lihat ada gelagat aku untuk berlari ke arah pintu dicengkramnya erat tubuhku seperti elang mencengkram tubuh mangsanya. Aku masih mencoba berontak.
Kembali ia mencoba menenangkanku dengan berkata lembut. "Jangan takut Siti, kamu aman di sini". Maka aku perhatikan dengan jelas wajah laki-laki itu barulah aku sadar kalau ternyata ia adalah Om Gendut. Laki-laki yang dulu sering membentak Emak. Yang sering mengamuk kalau sehabis kalah berjudi atau mabuk. Aku semakin takut. Tubuhku tiba-tiba gemetar. Aku ingat saat ia menunjuk mukaku seraya berkata kasar kepadaku.Â
"Dasar anak jadah".
Namun perubahan tubuhnya, potongan rambutnya, aku benar-benar tak mengenalinya sebab kini ia begitu kurus. Wajahnya tirus. Dulu rambutnya yang panjang sebahu tidak lagi. Entah apakah ia masih menyimpan dendam kepadaku. Karena kehadiranku saat itu membuat orang tuanya tak lagi memperhatikan dirinya. Aku pasrah namun ketakutan dalam hatiku bertambah besar saat ia mulai mencoba meraba dadaku. Menciumi rambutku. Bergerak ke leherku.
Suara-suara bisikan yang begitu sering di telingaku tak muncul lagi selain dengus nafasnya yang memburu. Seperti nafas serigala yang tengah memangsa kelinci di hutan salju. Ku rasakan detak jantungnya berdebar kencang. Giginya yang kuning menyeringai. Tangannya yang terus menggerayang.
Tak berapa lama aku dengar sesuatu seperti menumbuk atap rumah ini. Berisik terdengar. Sepertinya hujan. Tiba-tiba aku dengar suara halilintar. Lamat-lamat hidungku mencium aroma lembut debu yang telah lama tidak disiram. Begitu tenang menghanyutkan. Oh akhirnya hujan datang juga setelah sekian lama tanah ini kering kerontang. Suara rintik hujan terasa lamban terdengar di telingaku meski ia tetap berebut berjatuhan. Sementara itu diriku terus digulung nafsu. Di hujani cium. Semakin tak bisa berontak. Ia begitu kuat. Laki-laki jahanam itu berusaha menyumpal mulutku. Di luar hujan turun semakin deras menyamarkan suaraku yang keras berteriak.Â
****************
"Sakir, coba tengok tuh kardus yang di pojokan dekat rumput penuh dengan lalat jangan-jangan dalamnya mayat".
"Ah elu aja sono yang ngeliat, gua takut ketiban sial. Hanyutin aja ke kali, ribet amat sih lu".
Handy Pranowo
10 Januari 2025
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H