"Tidak. Tidak. Aku tidak mau di sini. Lepaskan aku. Aku mau pulang. Aku mau ke rumah bapak saja". Seketika aku berteriak dan mencoba berlari keluar. Laki-laki itu mencoba menenangkan diriku meski wajahnya kini nampak beringas dan menakutkan. Tangannya mencoba mengelus rambutku namun aku berusaha menghindar. Begitu ia lihat ada gelagat aku untuk berlari ke arah pintu dicengkramnya erat tubuhku seperti elang mencengkram tubuh mangsanya. Aku masih mencoba berontak.
Kembali ia mencoba menenangkanku dengan berkata lembut. "Jangan takut Siti, kamu aman di sini". Maka aku perhatikan dengan jelas wajah laki-laki itu barulah aku sadar kalau ternyata ia adalah Om Gendut. Laki-laki yang dulu sering membentak Emak. Yang sering mengamuk kalau sehabis kalah berjudi atau mabuk. Aku semakin takut. Tubuhku tiba-tiba gemetar. Aku ingat saat ia menunjuk mukaku seraya berkata kasar kepadaku.Â
"Dasar anak jadah".
Namun perubahan tubuhnya, potongan rambutnya, aku benar-benar tak mengenalinya sebab kini ia begitu kurus. Wajahnya tirus. Dulu rambutnya yang panjang sebahu tidak lagi. Entah apakah ia masih menyimpan dendam kepadaku. Karena kehadiranku saat itu membuat orang tuanya tak lagi memperhatikan dirinya. Aku pasrah namun ketakutan dalam hatiku bertambah besar saat ia mulai mencoba meraba dadaku. Menciumi rambutku. Bergerak ke leherku.
Suara-suara bisikan yang begitu sering di telingaku tak muncul lagi selain dengus nafasnya yang memburu. Seperti nafas serigala yang tengah memangsa kelinci di hutan salju. Ku rasakan detak jantungnya berdebar kencang. Giginya yang kuning menyeringai. Tangannya yang terus menggerayang.
Tak berapa lama aku dengar sesuatu seperti menumbuk atap rumah ini. Berisik terdengar. Sepertinya hujan. Tiba-tiba aku dengar suara halilintar. Lamat-lamat hidungku mencium aroma lembut debu yang telah lama tidak disiram. Begitu tenang menghanyutkan. Oh akhirnya hujan datang juga setelah sekian lama tanah ini kering kerontang. Suara rintik hujan terasa lamban terdengar di telingaku meski ia tetap berebut berjatuhan. Sementara itu diriku terus digulung nafsu. Di hujani cium. Semakin tak bisa berontak. Ia begitu kuat. Laki-laki jahanam itu berusaha menyumpal mulutku. Di luar hujan turun semakin deras menyamarkan suaraku yang keras berteriak.Â
****************
"Sakir, coba tengok tuh kardus yang di pojokan dekat rumput penuh dengan lalat jangan-jangan dalamnya mayat".
"Ah elu aja sono yang ngeliat, gua takut ketiban sial. Hanyutin aja ke kali, ribet amat sih lu".
Handy Pranowo
10 Januari 2025