Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah Badut

10 Januari 2025   02:28 Diperbarui: 10 Januari 2025   02:28 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu hari aku melihat badut yang biasa datang ke sekolah gratis itu tengah duduk termenung. Badut yang biasanya terlihat riang itu nampak sekali kelelahan. Kepalanya tertunduk lesu. Ke dua kakinya diluruskan sambil tubuhnya bersandar di salah satu sudut ruangan mushola ketika kami tengah istirahat belajar. Sepertinya ia sedang tertidur. Ku perhatikan wajahnya yang penuh polesan bedak berwarna. Hidungnya yang bagai tomat. Wig rambutnya yang berwarna kuning menyala. Di rasa-rasa aku sepertinya hapal dengan wajah tersebut entah di mana aku pernah melihatnya.

Setelah lagu tanda jam pelajaran selesai kebanyakan anak-anak buru-buru berlarian keluar mushola meski ada juga beberapa anak masih tertinggal di dalam sekedar bercakap atau menanyakan pelajaran yang mereka belum paham. Aku termasuk yang masih berada di dalam saat itu namun niatku tidak segera pulang adalah untuk mencari tahu kemana sebenarnya badut itu pulang. Aku perhatikan badut itu pergi ke belakang hendak ke toilet mushola mungkin berganti kostum pakaian.

Diam-diam dari belakang aku ikuti laki-laki yang berdandan badut tadi melangkah menyusuri jalan setapak menuju jalan raya di ujung sana. Suara kendaraan di atas jembatan tak berhenti-henti lalu lalang. Sejumlah bedeng-bedeng terpal reot berdiri seakan-akan telah habis diserang badai. Sedikit cahaya matahari menembus hingga ke kolong jembatan. Siang itu langit agak mendung meski kelihatannya hujan belum tentu juga turun. Sebenarnya aku takut namun suara dalam telingaku terus berbisik untuk terus mengikutinya. 

"Bukankah kau ingin ke rumah badut anak manja. Ini kesempatan jangan disia-siakan." Suara itu terus berdengung di telinga. Suara itu terus memaksaku untuk melangkah".
Sesampainya di muka jalan raya laki-laki itu berhenti lalu menoleh ke belakang. Rupa-rupanya ia mengetahui kalau tengah diikuti olehku. Ia menghampiriku dengan berjalan perlahan. Tenang dan penuh senyuman. Saat itu aku tak tahu lagi kemana tempat untuk bersembunyi. Aku tak bisa berlari seperti kejadian di kelas saat itu.

"Kamu Siti bukan? Yang tempo hari bercerita hendak main ke rumah badut". Aku mengangguk seketika tanpa rasa curiga. Lalu laki-laki itu menyambut tanganku. "Mari aku antar ke rumah badut". Ia menggenggam tangan kananku dan mengajakku berjalan bersama tetapi setelah setengah perjalanan perasaanku tiba-tiba tidak enak, ada yang aneh mengganjal. Genggaman tangan laki-laki itu pun semakin kuat serasa menarikku untuk berjalan lebih cepat. 

Sesampainya di jalan raya kami memberhentikan angkot kami naik dan tak beberapa lama laki-laki itu berkata behenti dan angkot pun berhenti di depan sebuah gang kecil. Setelah membayar ongkos angkot ia pun mengajakku untuk masuk ke dalam gang. Laki-laki itu masih tetap memegang tanganku. Aku seperti dihipnotis aku sama sekali tak berdaya tak mampu berontak. Sedang suara dalam telingaku terus berkata "Terus Sit. Sebentar lagi kamu sampai di rumah badut".

Semakin ke dalam gang ini semakin sempit dilalui orang berjalan kaki. Kami sempat dua kali berbelok ke kiri di dalam gang kecil ini. Gerobak-gerobak jualan serta motor-motor terparkir memenuhi jalanan. Entah hendak dibawa kemana diriku. Genggaman tangan lelaki itu tak juga lemah berkurang bahkan semakin kencang.

Sampai akhirnya kami di depan sebuah rumah petakan yang rapat berjajar. Berhentilah laki-laki tersebut dilepaskan genggaman tangannya. Di ajaknya aku untuk segera masuk ke dalam. Aku berpikir apakah ini benar-benar rumah badut. Rumah badut yang aku bayangkan luas dan besar ternyata salah. Rumah badut yang datangi ini sama persis dengan rumah emak. Tak ada wahana permainan selain tumpuk-tumpukan barang dan baju-baju yang dijemur bergelantungan. Belum lagi ia sempat membuka pintu dari dalam rumah tersebut keluar laki-laki dan perempuan remaja berkostum badut dengan satu anak bayi digendong oleh si perempuan.

"Jalan dulu kami bang". sahut remaja laki-laki tersebut.

Aroma penguk dan pengap langsung menyengat hidung seketika masuk ke dalam rumah tersebut. Seperti sebuah sambutan selamat datang yang tidak menyenangkan. Berbagai macam kostum badut serta topeng-topeng berkarakter tergantung di dinding. Tembok yang penuh coretan. Lantai yang kotor dan beberapa bungkus makanan tergeletak. Begitu kumal dan dekil. Begitu menyeramkan. Begitu ku rasa tak seperti yang aku bayangkan. 

"Siti, inilah rumah badut, semoga kamu senang berada di sini".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun