Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serbuan Anjing

16 Januari 2024   16:05 Diperbarui: 16 Januari 2024   16:26 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ingin bercerita tentang apa yang kulihat dan ku alami dua minggu yang lalu. Kejadian aneh yang tak masuk akal sekaligus mengerikan tapi ini benar-benar nyata. Aku yakin tidak sedang bermimpi apalagi mabuk berat.

Malam itu aku baru saja pulang kerja. Seperti biasa aku harus berjalan kaki dari tempat kerjaanku sejauh tiga ratus meter untuk mencapai halte bus terdekat. Ke ujung perempatan jalan besar. Halte bus yang sejak puluhan tahun telah berdiri itu berada di sudut jalan dekat sebuah taman.

Namun malam itu langit sedang tidak bersahabat halilintar bersahut bagai burung malam riuh mencuat. Angin berhembus kencang menampar pohon-pohon besar sepanjang jalan yang aku lalui. Daun-daun yang tak kuat menahan gempuran angin jatuh melayang berterbangan.

Ku langkahkan kakiku lebih cepat agar sampai di tempat tujuan. Tetapi aku merasa heran kenapa jalan pulang yang biasa ku lewati ini nampak lengang. Tidak seperti biasanya. Tidak banyak orang-orang yang mampir di warung-warung makan kaki lima sepanjang jalan ini. Biasanya di kawasan ini semakin malam semakin banyak pengunjung datang.

Apa karena mendung menggelayut di langit serta halilintar yang terus menerus belingsatan memercik aliran listrik maka orang-orang jadi takut keluar. Takut nanti akan turun hujan deras. Takut kehujanan malam-malam. Sementara itu aku terus berjalan melewati tenda-tenda kaki lima dan ku tak perdulikan lagi soal sepi atau tidaknya tempat ini.

Di dalam hati aku berdoa semoga hujan tidak turun di tengah jalan menuju pulang. Semoga aku bisa cepat naik angkutan umum dan sampai rumah dengan aman. Semoga. Sepuluh menit berjalan kaki akhirnya sampai juga di ujung jalan besar. Sampai juga di halte tempat ku menunggu angkutan umum.

Tetapi aneh. Halte ini justru kelihatan lengang tak ku jumpai seorang pun di sini. Kemana karyawan-karyawan hotel dan cafe yang biasa pulang bersamaku. Kemana barisan mobil angkot yang biasa "ngetem" sambil menahan kantuk. Kemana wanita tua pedagang rokok dan kopi sachet yang setiap malamnya bercerita tentang hidup yang semakin sulit di tempuh.

Kemana orang-orang. Halte ini tak biasanya sepi seperti ini. Apakah aku yang terlambat keluar dari tempat kerja. Atau barangkali angkutan umum itu telah lewat dan semua orang telah di angkut pulang. Tapi tidak mungkin jam pulang kerjaku masih sama dengan hari kemarin. Mungkin ini karena langit yang tengah marah. 

Jam satu kurang lima belas menit. Malam terkurung mendung nan murung. Ku perhatikan jalan raya di depanku bagai menyepi sendiri. Sesekali satu atau dua kendaraan saja yang lewat. Melesat secepat kilat. Malam apa ini? Malam Jumat kliwon kah. Ah, ini ibukota pikirku bukan dusun di lembah gunung.

Angin kencang kini menggerus tubuhku. Menggelitik tulang-tulangku yang semakin rapuh. Aku kedinginan. Astaga, kenapa perasaanku jadi tidak enak seperti ini. Adakah hal buruk akan terjadi. Lebih setengah jam duduk sendiri menunggu di halte dengan perasaan tidak menentu. Sementara angkutan umum belum kunjung datang.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara mesin kendaraan berderu kencang. Sepertinya itu bukan suara angkutan umum yang aku tunggu, itu lebih mirip suara mesin truk. Benar saja. Tak berapa lama kendaraan besar itu pun melintas di depan halte. Dua lampu depannya terang menyala menyilaukan mata.

Aku tak pernah melihat truk sebesar itu sebelumnya. Itu bukan truk milik TNI atau Polisi. Itu juga bukan truk besar macam kontainer pengangkut barang. Truk itu berwarna merah dan hitam di bagian belakangnya dengan gambar kepala anjing. Ban-ban truk itu besarnya dua kali lipat dari ban truk biasa. Knalpotnya ada di bagian depan kepala truk. Satu di kanan satu kiri.

Sepintas yang lebih aneh ku lihat dari jendela samping yang terbuka dua ekor anjing tengah duduk di kabin depan. Pikirku apa anjing itu yang mengendarai truk besar ini. Ah tidak. Aku salah lihat mungkin. Bisa saja penglihatanku jadi terganggu karena lampu truk tadi. Atau karena pikiranku sedari tadi melantur memikirkan banyak hal yang tak biasanya malam ini.

Kira-kira seratus meter berjalan melewati halte truk besar itu pun berhenti seketika. Suara gesekan seluruh bannya dengan aspal jalan membuat suara berderit kencang. Truk berhenti. Diam. Kira-kira lima detik berselang pintu belakang truk itu terbuka lalu tiba-tiba ratusan anjing serentak melompat keluar.

Sontak aku kaget. Handphone yang ku genggam hampir terpelanting jatuh ke tanah. Tak pernah ku lihat anjing sebanyak itu sebelumnya apalagi anjing-anjing tersebut keluar dari dalam truk. Mereka langsung berhamburan ke jalan raya. Bagai ratusan prajurit perang yang sedang mengincar musuh ke setiap penjuru.

Beberapa anjing-anjing berlari kencang ke arah halte dengan tatapan mata yang tajam ke arahku. Anjing-anjing itu seperti akan menerkam dan memangsa diriku sebab hanya aku satu-satunya manusia yang ada di situ. Tanpa pikir panjang aku berlari ke belakang halte ku lihat ada celah gorong-gorong yang terbuka seukuran tubuhku tanpa aba-aba aku melompat masuk ke dalamnya.

Di dalam gorong-gorong yang gelap aku jongkok. Diam. Sampai-sampai bernafas pun aku takut. Takut anjing-anjing itu bisa mendengar nafasku yang berderu kencang. Takut anjing-anjing itu dapat mencium nafasku yang penuh ketakutan. Sungguh, tubuhku gemetar. Kedua kakiku serasa tak berpijak tanah.

Aku tak mau mati konyol di gigit anjing-anjing liar itu namun aku tak tahu mesti bagaimana. Aku takut berteriak minta tolong. Lagi pula di jalanan sama sekali tidak ada orang. Gila. Dari mana ratusan anjing-anjing itu. Siapa yang mempunyai ide untuk mengangkutnya ke dalam truk lalu di lepaskan di tengah kota.

Pasti sinting orang yang melakukan hal ini. Atau ia sedang merencanakan kerusuhan di tengah kota dengan bantuan ratusan anjing-anjing liar. Dari celah gorong-gorong air yang terbuka aku mencoba mengintip keluar. Keringat dingin mengucur dari tubuhku. 

Aku berdoa semoga anjing-anjing itu tidak bisa menemukanku di sini. Ku fokuskan ke dua mataku untuk melihat pergerakkan anjing-anjing tersebut. Ratusan anjing-anjing itu bertubuh kurus dengan lidah merah panjang menjulur. Kedua matanya menyala terang. Air liur menetes deras dari lidahnya. Ku perhatikan tiap tetes air liur yang jatuh mengeluarkan asap putih yang pekat.

Tak lama aroma sangit tercium seperti aroma daging hangus terbakar. Apa mungkin itu bau air lurnya. Atau aroma itu keluar dari tubuh anjing-anjing yang nampak tak terurus itu. Kini udara malam bercampur dengan aroma hangus daging terbakar. Perutku mual. Rasanya ingin muntah. Aku terus meludah. Oh tidak, aku merasakan firasat yang buruk.

Ku perhatikan sebagian anjing-anjing itu melompat masuk ke setiap pagar rumah atau gedung-gedung di sepanjang jalan. Sebagian menggigiti dan merusak fasilitas-fasilitas umum di jalanan. Aroma menjijikkan itu terus mengudara menempel di hidung. Aku terus meludah. Kepalaku pening di buatnya.

Seketika bulu kudukku berdiri saat mendengar anjing-anjing itu melolong di kejauhan. Seperti suara jerit kesakitan yang teramat perih. Pedih. Penuh dendam. Lolongan anjing-anjing itu bagai menyayat batinku. Hampir setengah jam aku sembunyi di dalam gorong-gorong air menghindari terkaman kawanan anjing-anjing liar.

Tetapi entah kenapa tiba-tiba timbul rasa penasaran di dalam hatiku. Ingin mengetahui kemana perginya semua anjing-anjing itu. Dengan hati yang penasaran pelan-pelan aku beranikan diri keluar setelah ku amati kalau di sekeliling ku aman. Di kejauhan aku lihat sebuah sepeda ontel bersandar di pohon besar dekat taman tak jauh dari halte.

Aku berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapatkan sepeda tersebut. Ku berjalan mengendap-endap ke arah taman. Ku perhatikan tak ada satu pun orang terlihat. Lalu dengan cepat ku kayuh sepeda tua berwarna hitam yang entah punya siapa di tinggalkan di taman. Ku cari kemana perginya sebagian anjing-anjing tersebut. Tak lama gerimis pun turun.

Ku arahkan tujuan pencarianku di sepanjang jalan menuju tempatku bekerja. Astaga benar saja. Warung-warung tenda sepanjang jalan itu hancur berantakan seperti kena badai angin topan. Aku yakin anjing-anjing itu yang melakukan ini semua terlihat bekas gigitan dan cakaran di mana-mana.

Ku berhenti sejenak, ku periksa satu-persatu tenda-tenda yang rubuh itu takut-takut ada korban manusia yang tertimpa tiang-tiang tenda atau di gigit anjing-anjing sialan itu. Nihil. Tidak ada korban. Hanya saja barang-barang seperti tas, handphone dan sepatu banyak tertinggal di tempat yang berantakan ini. Kebayang orang-orang yang ada di sini pasti lari pontang-panting di puluhan anjing. Tetapi kemana mereka semua. Di manakah mereka sembunyi.

Ku kayuh kembali sepeda ontel hitam ini ke arah jalan menuju gereja dan ternyata ku lihat beberapa dari anjing-anjing tersebut ada di dalam sana. Mereka tengah mengacak-acak bangku panjang dan mimbar pendeta. Patung-patung Yesus dan lukisan Bunda Maria berserakkan di lantai gereja. Lalu ku kayuh kembali sepedaku ke arah toko obat yang berdiri dekat sudut jalan.

Di dalam toko obat tersebut ku lihat anjing-anjing itu beringas mengobrak-abrik etalase-etalase obat. Mereka melolong. Botol-botol obat berjatuhan ke lantai. Pecah berantakan. Isinya mengalir kemana-mana. Mereka menggigit dan menarik-narik apapun yang di temukan di dalam toko obat tersebut. Toko obat hancur berantakan.

Ya ampun ternyata ada lagi truk besar yang sama persis ku lihat di depan halte tadi. Truk besar yang mengangkut ratusan anjing-anjing. Truk itu berhenti di perempatan jalan menuju ke arah pertokoan besar. Ku perhatikan pintu belakang truk itu telah terbuka dan tak ada satu ekor pun anjing yang berada di sana.

Ku kayuh lagi pedal sepeda ini ke arah gedung pertokoan dan benar saja ratusan anjing-anjing liar itu berada di dalamnya. Mereka berhasil membobol pintu pagar dan rolling door Mall. Kemana seluruh satpam mall tidak adakah perlawanan dari mereka. Sebagian anjing-anjing tersebut terlihat saling berebut menarik baju dan celana yang di dapat dari dalam Mall. Aroma daging hangus terbakar merebak di mana-mana. 

Dari balik kaca Mall ku lihat anjing-anjing itu masuk ke dalam dapur restoran cepat saji. Mereka sibuk kesana kemari ada yang memakai apron dan topi koki. Nampak kompor-kompor dapur tersebut menyala. Mau apa anjing-anjing sialan itu. Bikin hamburger? Goreng kentang?

Layar televisi yang ada di pos satpam menayangkan berita ratusan anjing-anjing yang tiba-tiba menyerang ibu kota. Anjing-anjing tersebut masuk ke dalam pasar, membuat onar, mengacak-acak sayur-sayuran dan mengusir semua para pedagang yang ada di pasar.

Tetapi anehnya tak ada satupun pihak keamanan yang turun terlibat langsung mencegah anjing-anjing itu berbuat lebih brutal. Setidaknya mencari tahu dari mana datangnya anjing-anjing liar tersebut dan siapa yang mengangkutnya ke tengah kota. Tak ada ku dengar suara sirene mobil polisi yang lalu lalang sementara kota telah hancur berantakan oleh serbuan ratusan anjing-anjing liar.

Dari berita di televisi ku lihat anjing-anjing liar itu masuk ke rumah-rumah makan, ke pelosok-pelosok gang dan perumahan. Seorang reporter televisi yang sedang meliput berita tiba-tiba di serang dari belakang oleh anjing-anjing tersebut. Keadaan makin kacau rupanya.

Di seberang jalan ku lihat seorang lelaki tua berlari sambil berteriak minta tolong tak jauh di belakangnya puluhan anjing siap menerkam. Dengan sigap ku kayuh sepedaku ke arah lelaki tua yang mengenakan peci dan sarung tersebut.

"Ayo pak cepat".

"Tidak nak, bapak tidak sanggup lagi".

Kembali ku teriak kepada orang tua tersebut agar segera naik ke jok belakang sepeda.

"Nak, cepat kau selamatkan masjid yang ada di sana. Segala isinya telah hancur berantakan oleh anjing-anjing liar. Jangan hiraukan bapak nak. Cepat nak".

Puluhan anjing-anjing itu semakin mendekat. Gigi dan taringnya siap menerkam dan meremukkan tulang. Aku tak tahu harus bagaimana lagi bila ku tolong orang tua itu pastinya aku juga jadi sasaran anjing-anjing tersebut. Aku tak mau mati konyol. Ku tinggalkan orang tua itu.

Benar saja. Tak tersisa apapun di dalam masjid ini selain kekacauan yang luar biasa. Karpet-karpet rusak berantakan. Mimbar jatuh ke lantai begitupun kitab-kitab suci yang ada di rak pun berhamburan. Kertas-kertas kitab suci sobek karena cakar dan gigitan anjing. Lalu ku masuk ke dalam masjid tersebut mencoba merapikan kitab-kitab suci yang berantakan di lantai namun tiba-tiba dari belakang aku mendengar suara yang menakutkan. 

Tiba-tiba sesuatu yang lebih besar dari tubuhku menerjang dari belakang. Menindihku. Ku rasakan kuku-kuku tajam mencengkeram kemudian berusaha menggigit leherku. Aku berontak memberi perlawanan dengan kaki dan tangan yang terus bergerak memukul badan anjing tersebut. Sia-sia. Tak butuh lama anjing itu pun membuat diriku lumpuh tak berdaya. Aku tak bisa juga berteriak. 

Rasa-rasanya ada benda cair yang keluar mengalir dari belakang leher. Masih dalam keadaan setengah sadar ku lihat anjing-anjing itu tertawa kegirangan. Ku merasa diriku di masukkan ke dalam kantong yang besar mirip dengan karung lalu di pukul kepalaku hingga remuk. Aku berteriak. Terus berteriak. Namun anjing-anjing itu tetap memukul kepalaku.

Sehari setelah kejadian mengerikan itu ku dapati diriku di dalam rumah sakit. Entah siapa yang membawanya kemari. Adakah seseorang  Seorang dokter berkata aku terkena rabies dan mesti di rawat hingga beberapa hari. Samar-samar aku mendengar percakapan dokter di ruangan tempatku di rawat.

"Seharusnya pemerintah kita tegas soal pelarangan daging anjing untuk di konsumsi manusia"

Handy Pranowo

16-Januari-2024

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun