Kekasihku menunggu di depan pintu.Â
Dan jendela hatinya menganga saat bulan sabit melepuh di angka tujuh.Â
Malam yang kikuk meratap di comberan yang keruh. Wajahnya bopeng penuh kurap dan panu.
Rumah-rumah gubuk melamun pilu sebagian mendengkur memburu mimpi yang semakin ngawur.
Kekasihku seorang biduan dangdut kelas anggur murahan. Ia bernyanyi dan berjoget di pinggir jalan.Â
Di pinggiran kota besar. Di tengah-tengah keramaian pasar tradisional. Â
Supir angkot, tukang parkir serta seluruh gembel dan pengangguran terlihat senang dan terhibur mendengar kekasihku berdendang.
Di balik remang-remang malam lampu Jakarta diam-diam mereka mengintip belahan dada kekasihku yang terbuka.
Duhai sabit. Duhai angin malam.
Keringat kekasihku mengucur dari dahinya yang hitam. Rambutnya lengket. Bajunya kumal.
Aroma tubuhnya sama persis dengan aroma debu jalanan saat angin membawanya terbang.