Kekasihku menunggu di depan pintu.Â
Dan jendela hatinya menganga saat bulan sabit melepuh di angka tujuh.Â
Malam yang kikuk meratap di comberan yang keruh. Wajahnya bopeng penuh kurap dan panu.
Rumah-rumah gubuk melamun pilu sebagian mendengkur memburu mimpi yang semakin ngawur.
Kekasihku seorang biduan dangdut kelas anggur murahan. Ia bernyanyi dan berjoget di pinggir jalan.Â
Di pinggiran kota besar. Di tengah-tengah keramaian pasar tradisional. Â
Supir angkot, tukang parkir serta seluruh gembel dan pengangguran terlihat senang dan terhibur mendengar kekasihku berdendang.
Di balik remang-remang malam lampu Jakarta diam-diam mereka mengintip belahan dada kekasihku yang terbuka.
Duhai sabit. Duhai angin malam.
Keringat kekasihku mengucur dari dahinya yang hitam. Rambutnya lengket. Bajunya kumal.
Aroma tubuhnya sama persis dengan aroma debu jalanan saat angin membawanya terbang.
Selalu ia sibakkan segala gelisah, dirajutnya segala mimpi dan harapan agar tak mudah patah.
Kekasihku tak pernah menyerah. Ku seru namanya di dalam doa yang panjang.
Ku seru namanya hingga pecah suaraku di dingin dinding penjara yang hitam.
Ku kutuk takdirku. Ku kutuk hidupku.
Ku tusuk perut lelaki itu dengan belati miliknya hingga buyar ususnya jatuh ke tanah saat ia nekat menggerayangi tubuh kekasihku.
Handy Pranowo
28 Desember 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI