Aku bisa mengerti perasaan ibu. Aku sangat memahami sedih dan pilu di tinggal anak bungsunya yang telah memberinya ia cucu. Tapi yang tak habis pikir entah bagaimana ibu bisa kepikiran untuk menjodohkan aku dengan Ario mantan suami adikku. Â
"Kamu mau mbak ibu jodohkan dengan Ario. Ini sih umpama saja loh. Habis ibu sudah umur begini kamu belum juga dapat pasangan. Mbok ya udah jangan pacaran terus nanti putus".
"Ibu pikir Ario pasti mau sama kamu dan ibu mau kamu yang merawat anak adikmu itu".
Ario teman sekolah waktu aku duduk di bangku SMP. Tetapi mana bisa aku dengan mudahnya sepemikiran dengan ibu. Terlintas pun tidak untuk menikah dengan adik iparku sendiri. Aku tidak banyak kenal dengan lelaki berambut keriting itu.Â
Jujur. Firasatku mengatakan pembicaraan ibu di telepon tadi bukan alasan utamanya untuk datang ke Jakarta menemuiku. Aku yakin ibu akan bersiteguh dengan kemauannya itu untuk menjodohkan aku dengan Ario.Â
Entah kenapa ibu bisa berpikiran semacam itu. Adakah malaikat yang membujuknya atau hanya sekedar keinginannya belaka. Tapi aku tahu betul siapa ibu. Aku tahu betul keinginannya kepadaku sekarang ini setelah kepergian adikku.
Percakapan terakhir melalui video call seminggu yang lalu kerap menghantuiku. Mengganggu tidur malamku. Empat hari lagi aku harus ke Kalimantan. Proyek pemindahan ibu kota semakin di kebut. Aku harus menyelesaikan gambar-gambar sekalian melihat proyek yang sudah berjalan.
*********
Pagi ini aku mendapatkan kembali pesan dari ibu. Isinya begini. "Mbak, ibu besok ke Jakarta dengan kereta pertama dari Jogya. Sebelum kamu pergi ke Kalimantan ibu ingin banyak bicara. Nggak apa-apa kalau natal tahun ini kamu masih sibuk kerja dan tak bisa pulang ke Jogya. Ibu paham proyek Ibu Kota memang merepotkan banyak orang. Butuh banyak tenaga".Â
"Tetapi ibu sangat ingin bertemu kamu mbak. Kini kamu anak ibu satu-satunya. Adikmu telah meninggal. Kamu pewaris tunggal. Kamulah yang ibu bisa harapkan bila nanti ibu tiada". Â
Baru kali ini aku membaca pesan whatsap ibu yang begitu panjang. Begitu melankolis. Pagi-pagi begini hatiku sudah di bikin ibu menangis. Pesan sepanjang itu seperti surat wasiat bagiku. Namun seperti bukan ibu yang mengetiknya. Seperti orang lain. Mungkin malaikat. Mungkin juga wanita tua yang mulai kesepian. Butuh teman bicara. Butuh seseorang di sampingnya setiap waktu. Ibu kini terlihat rapuh.Â