"Maaf bu, aku mohon ibu jangan dulu datang ke Jakarta. Andin sedang banyak tugas ke luar kota. Andin janji sehabis natal dan tahun baru akan pulang ke Jogya".
"Tapi mbak sudah dua kali perayaan natal kita tidak kumpul bersama".
Aku terdiam sejenak. Menundukkan kepala. Menjauhkan telepon genggamku dari telinga. Kalimat terakhir ibu di telepon tadi seperti sebuah permohonan khusus kepada anaknya yang tersisa. Seperti rindu yang lama membeku, ingin di cairkan segera. Tapi aku tahu betul siapa ibu. Aku tahu betul keinginannya kepadaku sekarang ini setelah kepergian adikku.
Tiba-tiba hatiku gelisah. Ku jatuhkan diriku ke dalam sofa. Ku pejamkan mata. Pikiranku merayap jauh melewati dinding kamar yang dingin. Lalu sekejap aku merasa tidak sedang berada di dalam apartemenku sendiri melainkan di dalam kamar ibu. Di remang cahaya lampu aku melihatnya tengah duduk di kursi kayu di depan kaca hiasnya sambil terus mulutnya berbicara.
Suaranya seperti dengung lebah atau kepak nyamuk yang terus berputar-putar di telinga. Di belakang foto besar pernikahan ibu aku melihat seorang anak perempuan tengah menunduk di hadapannya. Wajahnya sendu. Setitik air mengalir dari matanya hampir saja jatuh ke lantai. Anak perempuan itu tetap menunduk dan ketika ku perhatikan ternyata anak perempuan itu adalah aku.
Sejatinya ibu sosok wanita yang sabar dan tekun namun sedikit keras kepala mungkin dengan kata halus ia begitu teguh dengan pendiriannya. Wanita yang umurnya genap 62 di tahun ini tidak serta merta membuatnya merasa uzur. Ia bukan tipe wanita yang mudah menyerah.
Ibu selalu bilang kepada anak-anak gadisnya. "Selama hayat masih di kandung badan jangan sekalipun kalian merasa tak berguna. Teruslah berusaha untuk mencapai derajat tinggi sebagai manusia". Entah dari mana kata mutiara itu ia dapat tapi nyatanya pesan itu seperti pisau tajam yang menancap di jantung tak dapat di goyahkan begitu saja.
Ibu menjadi tulang punggung keluarga setelah ayah meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas 10 tahun yang lalu saat dinas ke luar kota. Kala itu anak-anaknya sedang banyak membutuhkan biaya untuk keperluan kuliah dan sekolah.Â
Wanita yang dulu hobi naik gunung dan bercerita itu tak lama memendam kepedihan selepas di tinggal pergi suaminya. Bak seorang pahlawan ia bangkit. Berjuang sendiri. Ibu tak mempunyai adik atau kakak, ia anak satu-satunya.
Dengan bekal keberanian dan sedikit kepintarannya memasak. Ibu membuka warung makan di depan rumah. Meski sebulan setelah ayah meninggal ia di tawari bekerja sementara di industri batik rumahan oleh sahabat dekatnya sebagai akuntan mengisi kekosongan karyawannya yang tengah cuti hamil. Ibu menolaknya dengan senyuman. Ibu lulusan sarjana Ekonomi dan ia begitu yakin jalan yang dia pilih.Â
Di sulapnya teras rumah yang tidak begitu luas menjadi warung makan sederhana. Ayah tidak meninggalkan uang pensiun namun tabungannya cukup untuk ibu membuka usaha. Tak butuh waktu lama. Dua tahun berjualan Soto Ayam karyawan ibu semakin meningkat. Meski tak lepas pula dari bantuan teman-temannya dan komunitas gereja di Jogya.