Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjemput Ibu

23 Desember 2022   02:58 Diperbarui: 23 Desember 2022   03:04 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Maaf bu, aku mohon ibu jangan dulu datang ke Jakarta. Andin sedang banyak tugas ke luar kota. Andin janji sehabis natal dan tahun baru akan pulang ke Jogya".

"Tapi mbak sudah dua kali perayaan natal kita tidak kumpul bersama".

Aku terdiam sejenak. Menundukkan kepala. Menjauhkan telepon genggamku dari telinga. Kalimat terakhir ibu di telepon tadi seperti sebuah permohonan khusus kepada anaknya yang tersisa. Seperti rindu yang lama membeku, ingin di cairkan segera. Tapi aku tahu betul siapa ibu. Aku tahu betul keinginannya kepadaku sekarang ini setelah kepergian adikku.

Tiba-tiba hatiku gelisah. Ku jatuhkan diriku ke dalam sofa. Ku pejamkan mata. Pikiranku merayap jauh melewati dinding kamar yang dingin. Lalu sekejap aku merasa tidak sedang berada di dalam apartemenku sendiri melainkan di dalam kamar ibu. Di remang cahaya lampu aku melihatnya tengah duduk di kursi kayu di depan kaca hiasnya sambil terus mulutnya berbicara.

Suaranya seperti dengung lebah atau kepak nyamuk yang terus berputar-putar di telinga. Di belakang foto besar pernikahan ibu aku melihat seorang anak perempuan tengah menunduk di hadapannya. Wajahnya sendu. Setitik air mengalir dari matanya hampir saja jatuh ke lantai. Anak perempuan itu tetap menunduk dan ketika ku perhatikan ternyata anak perempuan itu adalah aku.

Sejatinya ibu sosok wanita yang sabar dan tekun namun sedikit keras kepala mungkin dengan kata halus ia begitu teguh dengan pendiriannya. Wanita yang umurnya genap 62 di tahun ini tidak serta merta membuatnya merasa uzur. Ia bukan tipe wanita yang mudah menyerah.

Ibu selalu bilang kepada anak-anak gadisnya. "Selama hayat masih di kandung badan jangan sekalipun kalian merasa tak berguna. Teruslah berusaha untuk mencapai derajat tinggi sebagai manusia". Entah dari mana kata mutiara itu ia dapat tapi nyatanya pesan itu seperti pisau tajam yang menancap di jantung tak dapat di goyahkan begitu saja.

Ibu menjadi tulang punggung keluarga setelah ayah meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas 10 tahun yang lalu saat dinas ke luar kota. Kala itu anak-anaknya sedang banyak membutuhkan biaya untuk keperluan kuliah dan sekolah. 

Wanita yang dulu hobi naik gunung dan bercerita itu tak lama memendam kepedihan selepas di tinggal pergi suaminya. Bak seorang pahlawan ia bangkit. Berjuang sendiri. Ibu tak mempunyai adik atau kakak, ia anak satu-satunya.

Dengan bekal keberanian dan sedikit kepintarannya memasak. Ibu membuka warung makan di depan rumah. Meski sebulan setelah ayah meninggal ia di tawari bekerja sementara di industri batik rumahan oleh sahabat dekatnya sebagai akuntan mengisi kekosongan karyawannya yang tengah cuti hamil. Ibu menolaknya dengan senyuman. Ibu lulusan sarjana Ekonomi dan ia begitu yakin jalan yang dia pilih. 

Di sulapnya teras rumah yang tidak begitu luas menjadi warung makan sederhana. Ayah tidak meninggalkan uang pensiun namun tabungannya cukup untuk ibu membuka usaha. Tak butuh waktu lama. Dua tahun berjualan Soto Ayam karyawan ibu semakin meningkat. Meski tak lepas pula dari bantuan teman-temannya dan komunitas gereja di Jogya.

Tetapi pandemi tiga tahun lalu membuat pikiran ibu sedikit terganggu. Ia suka merenung di dalam kamarnya sendirian hal yang sebenarnya pantang ibu lakukan sejak dulu. Mbak Asri pegawai pertama yang telah lama membantunya berjualan mengatakan kalau sekarang ibu lebih banyak diam.

Bahkan ketika rumah makannya buka kembali setelah tutup beberapa lama karena pandemi mbak Asri lah yang di serahkan memegang tugas mengelola urusan segalanya. Aku sangat paham apa tengah menimpa hatinya yang keras itu. 

Boleh jadi ia bisa menerima kepergian suaminya dengan hati terbuka namun bila anak kesayangannya yang pergi selamanya boleh jadi hati seorang ibu akan hancur lebur.

Selain mbak Asri adik bungsuku lah yang ikut membesarkan warung makan ibu. Adikku menjadi salah satu konseptor dari rumah makan milik ibu yang akhirnya terkenal seantero Jogyakarta. Mereka satu tipe. Melihat ibu ya persis melihat adikku yang bungsu. 

Ibu hanya mempunyai dua anak dan semuanya perempuan. Yang satu senang memasak. Yang satu senang menggambar. Yang satu tak mau jadi karyawan. Yang satu ingin bekerja di kantoran. 

Di tahun kedua wabah pandemi aku memaksa pulang ke Jogya lantaran ibu dan adikku terpapar covid dan mesti isoman di rumah. Tak banyak yang aku lakukan saat menjenguk mereka di sana. Semuanya terbatas. Aku pun hanya mempunyai waktu tiga hari untuk berjumpa video call meski kami satu rumah.

Ibu di isolasi di kamar bawah sedang adikku dan suaminya ada terpisah di kamar atas. Keponakkanku yang berusia lima tahun di ungsikan ke keluarga besar suami adikku di Surakarta. Selama isoman mereka di bantu para tetangga dan juga mbak Asri serta teman-teman ibu di Gereja.

Namun nasib malang menimpa adikku. Varian delta merenggut nyawanya. Tadinya aku pikir ibu yang tak akan sanggup bertahan di karenakan ibu sempat menggunakan alat bantu oksigen selama lima hari.

Dan akhirnya jiwanya yang ceria dan pantang menyerah itu hancur  juga. Wanita yang hobinya mendaki itu tak juga kuat menahan badai dan kabut kesedihan setelah tahu anaknya harus mendahului di panggil Tuhan.

Aku shock berat. Ibu lama tak mau bicara. Hingga pertengahan tahun ini aku menyempatkan diri menjenguk ibu di Jogya selama dua hari. Sebenarnya aku pernah menawarkan ibu pindah ke Jakarta dan urusan rumah makannya biar mbak Asri yang mengurusnya. Namun ibu menolaknya dengan alasan tak bisa jauh dari cucu. 

"Bagaimana bisa ibu tinggalkan Jogyakarta sedang cucuku dekat dari sini. Ia sekaligus pengobat rindu bila ibu kangen adikmu".

Aku bisa mengerti perasaan ibu. Aku sangat memahami sedih dan pilu di tinggal anak bungsunya yang telah memberinya ia cucu. Tapi yang tak habis pikir entah bagaimana ibu bisa kepikiran untuk menjodohkan aku dengan Ario mantan suami adikku.  

"Kamu mau mbak ibu jodohkan dengan Ario. Ini sih umpama saja loh. Habis ibu sudah umur begini kamu belum juga dapat pasangan. Mbok ya udah jangan pacaran terus nanti putus".

"Ibu pikir Ario pasti mau sama kamu dan ibu mau kamu yang merawat anak adikmu itu".

Ario teman sekolah waktu aku duduk di bangku SMP. Tetapi mana bisa aku dengan mudahnya sepemikiran dengan ibu. Terlintas pun tidak untuk menikah dengan adik iparku sendiri. Aku tidak banyak kenal dengan lelaki berambut keriting itu. 

Jujur. Firasatku mengatakan pembicaraan ibu di telepon tadi bukan alasan utamanya untuk datang ke Jakarta menemuiku. Aku yakin ibu akan bersiteguh dengan kemauannya itu untuk menjodohkan aku dengan Ario. 

Entah kenapa ibu bisa berpikiran semacam itu. Adakah malaikat yang membujuknya atau hanya sekedar keinginannya belaka. Tapi aku tahu betul siapa ibu. Aku tahu betul keinginannya kepadaku sekarang ini setelah kepergian adikku.

Percakapan terakhir melalui video call seminggu yang lalu kerap menghantuiku. Mengganggu tidur malamku. Empat hari lagi aku harus ke Kalimantan. Proyek pemindahan ibu kota semakin di kebut. Aku harus menyelesaikan gambar-gambar sekalian melihat proyek yang sudah berjalan.

*********

Pagi ini aku mendapatkan kembali pesan dari ibu. Isinya begini. "Mbak, ibu besok ke Jakarta dengan kereta pertama dari Jogya. Sebelum kamu pergi ke Kalimantan ibu ingin banyak bicara. Nggak apa-apa kalau natal tahun ini kamu masih sibuk kerja dan tak bisa pulang ke Jogya. Ibu paham proyek Ibu Kota memang merepotkan banyak orang. Butuh banyak tenaga". 

"Tetapi ibu sangat ingin bertemu kamu mbak. Kini kamu anak ibu satu-satunya. Adikmu telah meninggal. Kamu pewaris tunggal. Kamulah yang ibu bisa harapkan bila nanti ibu tiada".  

Baru kali ini aku membaca pesan whatsap ibu yang begitu panjang. Begitu melankolis. Pagi-pagi begini hatiku sudah di bikin ibu menangis. Pesan sepanjang itu seperti surat wasiat bagiku. Namun seperti bukan ibu yang mengetiknya. Seperti orang lain. Mungkin malaikat. Mungkin juga wanita tua yang mulai kesepian. Butuh teman bicara. Butuh seseorang di sampingnya setiap waktu. Ibu kini terlihat rapuh. 

Aku tak bisa mencegahnya. Aku tak bisa berkata apa-apa. Pesan whatsap ibu sepanjang itu hanya ku balas. "Jam berapa sampai di Gambir?"

Tak cukup memakan waktu banyak untuk diriku bergegas menjemput ibu di stasiun Gambir. Kebetulan kantorku tidak jauh dari sana. Mungkin lima menit bila tidak macet dengan kendaraan mobil bisa dengan sekali injak gas. Terbayang sosok ibu dengan wajahnya yang teduh yang sebentar lagi kupeluk. Dapat ku rasa aroma tubuhnya di hidungku. 

Sebelum keluar kantor Ario menelpon memberitahukan bahwa kereta yang di tumpangi ibu sudah sampai di daerah Karawang. Barangkali setengah jam lagi kereta akan sampai di Jakarta.

Namun menjelang sore langit Jakarta sebagian di kelilingi mendung kiranya hujan akan tumpah sebentar lagi. Desember tahun ini hujan memang tak bisa di prediksi tetapi aku berharap hujan tak turun bila nanti ibu sampai di Jakarta. Ibu paling tidak suka hujan di Jakarta katanya bikin banjir dan menyebabkan kemacetan panjang di jalan raya keluhnya.

Sesampainya di stasiun Gambir aku tidak langsung keluar menuju lobby stasiun. Aku memilih menunggu ibu di parkiran sampai kereta benar-benar berhenti di stasiun Gambir.

Di dalam mobil aku coba menghubungi ibu lewat telepon genggam namun tak diangkat. Barangkali ibu tengah tidur tapi pikirku tak mungkin. Ibu sangat jarang tidur di kereta biarpun hawa kantuk menyerangnya. 

Bila aku satu kereta bersama ibu pasti sepanjang jalan ia akan bercerita bagaimana dulu ia sering pulang pergi Jogya-Jakarta begitupun sebaliknya saat masih kuliah di Jakarta. Bahkan sampai aku tertidur pun ibu akan terus bercerita.

Lebih dari tujuh kali teleponku tak diangkat. Timbul rasa khawatir dalam diri. Dalam hatiku bertanya apa benar ibu berangkat ke Jakarta dengan kereta Taksaka pagi. Tapi tadi Ario menelpon bilang kalau kereta yang di tumpangi ibu sudah sampai Karawang.

Apa mungkin ada keterlambatan jadwal kedatangan kereta. Perasaanku tak menentu seperti ada yang mengganjal. Perasaan yang sama saat ibu menjodohkan ku dengan Ario mantan suami adikku. Segera aku keluar dari mobil menuju lobby stasiun.

Ternyata kereta Taksaka baru saja sampai. Telat lima menit dari jadwal kedatangan. Sekarang jam 15.20. Aku mencoba menelpon ibu kembali namun hasilnya tetap sama. Nihil. Dari panggilan telepon whatsap aku ganti dengan panggilan telepon biasa tetap saja ibu tak mengangkatnya. Kalau lowbat baterry, aku rasa tak mungkin. 

Hatiku semakin gundah. Berkecamuk pikiranku. Ada ada gerangan. Aku mencoba telepon Ario tapi tak diangkat mungkin ia sedang sibuk di kantornya atau...

Ah, aku takut sesuatu terjadi dengan ibu. Aku berusaha tenang. Berusaha berpikir positif bahwasanya ia baik-baik saja. Ibu wanita yang kuat. Ibu sang pejuang. Ibu seorang pendaki. Ia tahu apa yang mesti di perbuat di kala terjepit oleh keadaan. Tak ada satu pun yang bisa menghalangi ibu. Meskipun hujan badai akan turun melanda Jakarta. Aku yakin ibu baik-baik saja. Aku pun berdoa.

Sampai seluruh penumpang kereta Taksaka turun melalui pintu keluar stasiun dan berpindah dengan taksi dan mobil pribadi tak juga terlihat ibu di sana. Hatiku semakin kalut. Jantungku berdebar kencang. Aku hampiri seorang petugas stasiun dan bertanya kepadanya perihal salah satu penumpang yang baru saja turun dari kereta.

"Semua penumpang sudah turun bu, keretanya juga sudah berjalan menuju stasiun Kota untuk langsir di sana". sahut sang petugas begitu yakin dan menyuruhku untuk mengecek kembali di pintu keluar stasiun. Aku bergegas ke sana. Aku berlari. Aku mencari sosok ibu. Aku kebingungan di tengah kerumunan orang banyak di stasiun. 

Sebuah mobil ambulance baru saja keluar dari pintu Utara. "Ah tak mungkin". Ibu tak punya riwayat penyakit apapun selain kemarin terpapar covid varian delta. Suara sirene ambulance lenyap sesampainya di jalan raya merangsek kemacetan entah ke arah mana.

Hujan deras pun turun. Air mataku pun tak terasa meluncur di wajahku yang terlihat bingung. Jakarta gelap. Seperti juga perasaanku. Aku menulis pesan di whatsap untuk ibu. Singkat saja. "Ibu dimana?". 

******

Menjelang subuh Ario datang bersama adik dan kedua sepupunya, mengendarai mobil dari Jogya. Aku tak bisa lagi berkata. Aku hanya bisa memeluknya di depan jenazah ibu di ruang pemulasaran rumah sakit Cipto. Air mataku sudah habis. Sudah habis terkuras bersama hujan yang tadi sore turun deras. Hanya sisa lembab di mataku yang sembab. Ibu pulang dengan sangat tenang di dalam kereta setengah jam sebelum sampai di Jakarta. Ibu terkena serangan jantung.

Barangkali ibu terlalu bersemangat bercerita kepada kenangan yang membawanya jauh mengembara. Kepada mimpi dan segala harapan yang tidak sia-sia hingga ibu membesarkan kami berdua setelah ayah tiada. Andai saja aku ada di sana ibu. Aku tak akan tertidur. Tak akan aku biarkan mata ini mengantuk sampai benar-benar ibu selesai bercerita. Sampai kereta berhenti di akhir stasiun di mana keabadian menunggu rindu dan cinta.

Terimakasih Ibu.

Handy Pranowo

23 Desember 2022

fiksi belaka untuk ibu yang tak pernah letih berdoa

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun