Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Kyle dan Telinga Babi Panggang

19 Desember 2022   14:15 Diperbarui: 19 Desember 2022   14:39 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini angin laut bergemuruh riuh di atas perairan Mediterania menyapu apa saja yang ada di lautan. Kapal pesiar berkapasitas seribu sembilan ratus penumpang, sebelas tingkat dengan bobot lebih 82 ton meliak-liuk menari mengikuti irama dentuman ombak yang kencang. Lautan tengah bergelombang.

Satu jam yang lalu. Hujan lebat baru saja selesai mengguyur seisi lautan menyisakan beberapa genangan air di lantai kayu bagian belakang dek 9. Tepatnya di Lido deck. Sudah hampir pukul sembilan malam. Meja-meja dan kursi yang tadi sempat diungsikan karena hujan lebat kini kembali ditata dari awal.

Empat orang crew dapur terlihat mondar-mandir sibuk mempersiapkan makanan dan minuman. Mereka menyusunnya di atas meja panjang yang telah ditutupi kain satin berwarna putih. Tiga buah rangkaian bunga di vas kaca ukuran sedang mempercantik tampilan hidangan di atas meja makan.

Musik reggae dari grup lawas UB 40 mengalun beradu kencang dengan suara ombak yang memecah di lambung kapal. Tak di duga, satu persatu bintang-bintang di langit bermunculan dari balik awan hitam. Mereka nampak bersih mengkilat seakan baru saja dimandikan oleh hujan. Sebentar lagi pesta dimulai. Pesta perpisahan beberapa crew kapal yang besok pagi akan pulang.

Tidak ada undangan khusus untuk datang ke pesta perpisahan semacam ini, siapa saja boleh hadir. Pesta kecil seperti ini hampir sering diadakan oleh crew-crew yang telah menuntaskan kontrak kerjanya selama beberapa bulan di kapal. Kadang mereka merayakannya di kafe khusus crew, tempat makan atau di kabin-kabin tempat mereka tinggal.

Walaupun dalam pesta tersebut makanan dan minumannya seringkali terbatas tidak cukup memenuhi kuota orang-orang yang datang. Namun pesta lokal semacam ini keseruannya tidak kalah menarik sebab lebih bebas dan hanya orang-orang saling kenal saja yang mau datang ke acara ini.

Dan di pesta malam ini pertama kali aku melihat kehadirannya begitu cantik dan seksi. Hampir saja aku tak mengenal sosok perempuan yang sudah empat bulan ini menjadi penyemangat diri melewati hari-hari kontrak pertamaku di kapal. Sungguh pangling mata ini dibuatnya hingga berbinar menyala-nyala.

Dengan pakaian hitam ketat sebatas paha melekat di tubuhnya. Rambutnya lurus di biarkan tergerai jatuh di sapu angin laut nan riuh. Membuat jantungku berdegup kencang. Sungguh tak mengira ia bakal secantik ini. Ia laksana putri pesta yang menunggu di pinang sang pangeran. Semua mata melirik kepadanya. Lipstick merah di bibir tipisnya memoles gairah siapa saja. .

Hiasan kalung berwarna perak di lehernya menambah kesan elegan. Tubuhnya ramping berisi. Payudaranya tidak cukup besar namun terlihat proporsional di badan. Sungguh, kehadirannya membuat tubuhku bergetar, jantungku berdetak mengalahkan debur ombak di tengah lautan.

Dari tempat aku berdiri menatapnya aku seperti dapat mencium wangi rambut dan tubuhnya. Menjalar. Merambat pelan. Seperti wangi hujan yang jatuh di tengah lautan. Begitu damai, sejuk dan lembut. Masih dapat ku ingat pertama kali aku berkenalan dengannya. Di suite lounge tempat ia berjaga. Sapanya yang ramah membuatku tertarik kepadanya. Tatapan matanya tajam seakan mengisyaratkan sesuatu. Entah apa. Aku tak dapat menerkanya.

Kyle Carolina warga negara Filipina. Aku menakar umurnya kira-kira 25 tahunan. Ia crew kapal wanita Filipina yang memberi ucapan selamat datang kepadaku dengan bahasa Indonesia. Ia juga wanita Filipina pertama yang aku kenal di kapal sekaligus orang pertama yang memberikan aku satu buah coklat terbungkus kertas hitam berpita merah yang berada di atas meja tempatnya bekerja. Saat itu aku baru seminggu bekerja di kapal.

Kuingat wangi parfumnya mengembang bagai bunga-bunga bermekaran keluar dari tubuhnya. Wangi parfum yang mengendap di hidungku hingga terbawa tidur. Wangi yang selama seminggu tak hilang di hapus mandi dan wudhu. Wangi yang mencegat mimpi-mimpiku.

Entah suka atau nafsu. Diam-diam aku mengaguminya. Aku menyukainya. Karena itu pula aku pernah mengatakan kepadanya bila ia butuh rangkaian bunga untuk memberi pelayanan extra kepada tamunya di suite lounge atau VIP tak usah sungkan juga tak perlu membayar. Aku akan mengirimnya segera kapan pun dibutuhkan seperti itulah janjiku kepadanya.

Tentu saja hal tersebut beberapa kali terjadi selama enam bulan bersamanya. Salah satunya yang ku ingat ialah saat tamunya mengeluh kepadanya saat kapal baru saja meninggalkan pelabuhan Civitavecchia, Roma Italia.

Lelaki yang di ketahui veteran perang itu tak terima dengan pelayanan yang di berikan oleh housekeeping hingga membuat gaduh di tempat Kyle bertugas. Koper milik lelaki tua tersebut telat di kirimkan ke kamar dan itu membuatnya terlambat berangkat menghadiri sebuah jamuan pesta bersama kapten kapal.

Koper yang telat di kirim itu berisi baju seragam dan pernak-pernik militer saat ia menjabat sebagai angkatan laut Italia. Setelah keadaan sedikit reda dan sang manajer housekeeping datang kepadanya untuk meminta maaf atas ketidaknyamanan tersebut. Tak lama si Filipina cantik itu menghubungiku. 

"Hai florist, would you mine to help me, I need a bouquet for my guest"

Suaranya di ujung telepon begitu lembut dan menenangkan. Aku tak bisa mengelak. Ku dahulukan apa yang ia perlukan. Selesai semuanya. Ia memberi kedipan mata. Menempelkan badannya di tubuhku. Lebih dekat dari jantungku. Seketika aku panas dingin. Lautan di hatiku bergemuruh. Hawa suaranya pelan-pelan meraba telingaku. "Florist, I love you".

Aku tahu pernyataan itu hanyalah ucapan belaka bukan sungguh-sungguh lantaran aku telah membuat tamunya bungkam tak lagi mengoceh di depannya.Aku sadar dengan hal itu tapi Kyle telah membunuh imanku.

Di kapal pesiar ini banyak crew kapal wanita yang cantik dan seksi. Tetapi Kyle adalah pengecualian. Ia lebih dari itu bagiku. Seperti bunga yang tumbuh di jantungku. Aku tak berdaya bila di hadapan dirinya. Energinya begitu besar menghisap kelemahanku.

Bahkan tanpa ia meminta, satu tangkai bunga mawar setiap hari aku taruh di vas kecil di atas meja tempatnya bekerja. Dan satu lagi ku taruh di atas meja kabinnya. Apakah aku jatuh cinta kepadanya. Apakah ini yang di namakan cinta pandangan pertama.

Toh ia terlihat biasa-biasa saja kepadaku. Apakah aku terlalu terbawa perasaan. Baper. Terlalu bucin. Bisakah aku menjadikannya sebagai pacar selama kontrak kerjaku di kapal? Pikiran-pikiran itu kerap kali melintas di kepala.

Tapi Kyle adalah kisah yang lain. Ia berdiri sendiri. Ia luapan rindu dan emosi. Mungkin karena wanginya atau suaranya yang lembut menggoda telinga. Oh Kyle adakah sama perasaanmu kepadaku? Begitulah pertanyaan halu yang membentur dinding kabinku sebelum aku tertidur.

Pukul 11 malam. Pesta selasai. Para crew kapal satu persatu pergi meninggalkan Lido. Tak terasa lebih enam botol Corona meluncur bebas di tenggorokan di tambah beberapa "shoot" Jim Beam hingga kepala terasa bagai lambung kapal yang di dorong ombak secara bergantian. Namun pandanganku tetap mematung kepada perempuan resepsionis itu.

Aku tak perduli seberapa banyak orang yang mengincarnya. Seberapa banyak ciuman yang mendarat di pipinya. Kali ini ia menatap lama ke arahku. Aku kikuk. Salah tingkah. Kyle pun berjalan menghampiriku.

"Hai florist, I know you are here, I saw your flower". Bibirnya menyentuh pipiku. Suaranya sedikit berat namun tetap lembut di telinga. Hawa yang keluar dari mulutnya mungkin sama dengan hawa yang keluar dari mulutku. Entah berapa gelas yang ia reguk. Entah berapa pipi pula yang telah ia kecup.

Aku tak perduli. Malam semakin meninggi begitupun kami. Bintang-bintang semakin banyak, bertumpuk di langit. Angin laut tak berhenti bertiup. Kapal berlayar melewati Gibraltar. Lampu-lampu sepanjang pantai terus memancar ke arah lautan. Tubuhku di dekatnya kencang bergetar.

Tidak lagi ku ingat setelah kawanku mengambil beberapa foto kami berdua dengan kamera pocket terbarunya. Setelah itu aku merasa berjalan ke sebuah lorong panjang. Ke sebuah tempat. Di mana aku melihat lagi perempuan Filipina yang aku incar itu tengah mengiris telinga babi panggang lalu memakannya dengan lahap. Kemudia ia menghampiriku dan tanpa basa-basi melumat bibirku. 

Ku sambut ciuman itu. Kuletakan kedua tanganku di pipinya. Aku tak perduli di dalam mulutnya ada serpihan tulang lunak telinga babi panggang. Semoga saja aku menyukai bumbunya. Saat itu ku dengar ia menguik. Suaranya mirip anak babi.

Tak berapa lama dari itu. Mulutnya melumat telingaku, menggigitnya perlahan seperti yang ia lakukan saat memakan telinga babi panggang tadi. Kali ini aku menguik. Mendesak-desak tubuhnya. Bagai moncong anak babi yang tengah mencari puting susu induknya. Menggeliat. Anak babi lucu sekaligus menjijikan.

Kami berkubang di lumpur licin. Saling menggesek-gesekkan badan satu sama lain. Bercengkrama. Berirama. Segala kotoran di lumpur berbau amis melekat bagai keringat nestapa. Kami menguik. "Nguik, nguik, nguik". Kami menguok. "Nguok, nguok, nguok". Kami saling mengunyah telinga, kaki dan kepala.

Berguncang kapal di atas lautan. Angin dan gelombang melesat kencang. Tiba-tiba suara jam weker di kamar menendang keras gendang telinga. Aku kaget, terbangun dengan kondisi setengah telanjang. Jam 7 pagi.

Kepalaku terasa berat bagai di timpa rantai kapal. Perutku mual. "Oh mimpi apa aku semalam" gumamku. Tak lama suara telepon di kabinku berbunyi.

"Hai florist, don't forget my bouquet this morning". Suaranya di ujung telepon sangat ku hapal. Manajer housekeeping. Miss Elina.

Setelah menutup telepon aku bergegas menyambar seragam kerja dan menuju tempatku bekerja. Sambil sedikit gontai sisa mabuk semalam aku masih berpikir apakah kejadian semalam itu mimpi atau kejadian nyata. 

Astaga, aku berharap kejadian aneh malam itu adalah mimpi burukku. Di tengah jalan. Masih di lorong kabin menuju deck 1 aku berpapasan dengan Kyle. Wajahnya sedikit kusut. Sepertinya ia baru saja bangun dari tidur.

"Hai Kyle, good morning"

"Oh thank God I met you in here"

"What is going on Kyle, you need something or..."

"No. I guess I left my shoes in your cabin".

" What?". Aku pun terkejut.

Ia mengangguk. Mengedipkan mata. Lalu merapatkan tubuhnya kepadaku hingga terasa jantungnya berdegup bersamaan dengan jantungku. Tercium wangi tubuh dan rambutnya. Wangi yang sama seperti bumbu babi panggang di mulutnya. Entah apa yang ia katakan lagi aku hanya mendengar suara. Nguik, nguik, nguik. 

Handy Pranowo

19 Desember 2022

Lido Deck : sebuah tempat (outdoor) di kapal pesiar biasanya di lantai 9 dengan fasilitas dua kolam renang besar, beberapa bathtub dan juga restoran bagi para tamu di kapal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun