Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Kyle dan Telinga Babi Panggang

19 Desember 2022   14:15 Diperbarui: 19 Desember 2022   14:39 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tapi Kyle adalah kisah yang lain. Ia berdiri sendiri. Ia luapan rindu dan emosi. Mungkin karena wanginya atau suaranya yang lembut menggoda telinga. Oh Kyle adakah sama perasaanmu kepadaku? Begitulah pertanyaan halu yang membentur dinding kabinku sebelum aku tertidur.

Pukul 11 malam. Pesta selasai. Para crew kapal satu persatu pergi meninggalkan Lido. Tak terasa lebih enam botol Corona meluncur bebas di tenggorokan di tambah beberapa "shoot" Jim Beam hingga kepala terasa bagai lambung kapal yang di dorong ombak secara bergantian. Namun pandanganku tetap mematung kepada perempuan resepsionis itu.

Aku tak perduli seberapa banyak orang yang mengincarnya. Seberapa banyak ciuman yang mendarat di pipinya. Kali ini ia menatap lama ke arahku. Aku kikuk. Salah tingkah. Kyle pun berjalan menghampiriku.

"Hai florist, I know you are here, I saw your flower". Bibirnya menyentuh pipiku. Suaranya sedikit berat namun tetap lembut di telinga. Hawa yang keluar dari mulutnya mungkin sama dengan hawa yang keluar dari mulutku. Entah berapa gelas yang ia reguk. Entah berapa pipi pula yang telah ia kecup.

Aku tak perduli. Malam semakin meninggi begitupun kami. Bintang-bintang semakin banyak, bertumpuk di langit. Angin laut tak berhenti bertiup. Kapal berlayar melewati Gibraltar. Lampu-lampu sepanjang pantai terus memancar ke arah lautan. Tubuhku di dekatnya kencang bergetar.

Tidak lagi ku ingat setelah kawanku mengambil beberapa foto kami berdua dengan kamera pocket terbarunya. Setelah itu aku merasa berjalan ke sebuah lorong panjang. Ke sebuah tempat. Di mana aku melihat lagi perempuan Filipina yang aku incar itu tengah mengiris telinga babi panggang lalu memakannya dengan lahap. Kemudia ia menghampiriku dan tanpa basa-basi melumat bibirku. 

Ku sambut ciuman itu. Kuletakan kedua tanganku di pipinya. Aku tak perduli di dalam mulutnya ada serpihan tulang lunak telinga babi panggang. Semoga saja aku menyukai bumbunya. Saat itu ku dengar ia menguik. Suaranya mirip anak babi.

Tak berapa lama dari itu. Mulutnya melumat telingaku, menggigitnya perlahan seperti yang ia lakukan saat memakan telinga babi panggang tadi. Kali ini aku menguik. Mendesak-desak tubuhnya. Bagai moncong anak babi yang tengah mencari puting susu induknya. Menggeliat. Anak babi lucu sekaligus menjijikan.

Kami berkubang di lumpur licin. Saling menggesek-gesekkan badan satu sama lain. Bercengkrama. Berirama. Segala kotoran di lumpur berbau amis melekat bagai keringat nestapa. Kami menguik. "Nguik, nguik, nguik". Kami menguok. "Nguok, nguok, nguok". Kami saling mengunyah telinga, kaki dan kepala.

Berguncang kapal di atas lautan. Angin dan gelombang melesat kencang. Tiba-tiba suara jam weker di kamar menendang keras gendang telinga. Aku kaget, terbangun dengan kondisi setengah telanjang. Jam 7 pagi.

Kepalaku terasa berat bagai di timpa rantai kapal. Perutku mual. "Oh mimpi apa aku semalam" gumamku. Tak lama suara telepon di kabinku berbunyi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun