Perutnya seperti di hujani benda-benda tumpul. Di tekan di koyak hingga ke ubun-ubun. Dan dari kejauhan entah di sudut gelap yang mana ia seperti mendengar suara anak kecil memanggilnya. Suara anak kecil yang ia kenali.
"Ibu, kapan pulang". Perempuan itu tak bisa menjawab mulutnya di bekap.Â
Tiba pada lampu jalan sebelum tikungan menuju arah pasar perempuan itu berhenti lalu menundukkan kepalanya. Deru nafasnya terdengar memantul di antara gemuruh hujan. Ada rasa nyeri yang sangat di bagian kiri kepalanya. Ia merabanya pelan-pelan.
Masih di bawah lampu jalan. Masih di tengah hujan deras yang tak dapat ia sumpal dengan mulutnya. Ia tak bisa berkata apa-apa. Cahaya halilintar memecah keheningan. Suaranya menggelegar.
"Aminah, Aminah". Kali ini ia mendengar perempuan tua berteriak memanggil dirinya.
"Oh Tuhan, aku berdosa, aku telah berdosa".
Perempuan muda penjual kopi itu merintih di bawah lampu jalan. Rintihannya perih menyanyat tetes-tetes hujan yang jatuh ke tanah. Hujan pun terluka. Bersimbah darah.Â
Tak lama ia jatuhkan dirinya di atas jalan beraspal. Air matanya mengalir bersama air hujan. Masuk ke dalam selokan. Mengalir. Mengalirlah kepedihan.
Kilat datang lagi menyambar. Kini lebih dekat hingga lubang luka-luka malam terlihat menganga. Perempuan itu tersadar dari pingsannya. Tubuhnya setengah telanjang. Di pergoki satu orang lelaki masih menggaulinya. Ia nampak mabuk berat. Di tendang kemaluannya lelaki tersebut jatuh terjungkal.
"Brak"
Lelaki itu jatuh mengenai meja kecil yang penuh botol-botol arak. Kegaduhan terdengar. Namun siapa yang mau perduli mereka sudah dapat jatah. Mereka sudah memakan isi daging mangga muda. Harum manis. Legit bagai korma arabia.